Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Ketika Surga Turun ke Bumi: Kelahiran Sayyidah Fathimah as

“Fatimah adalah bagian dari diriku. Ia cahaya mataku, buah hatiku, dan belahan jiwaku. Ia adalah bidadari yang tampak dalam rupa manusia.” — Rasulullah saw

Pada tahun kelima setelah bi‘tsah—masa ketika risalah Islam baru saja bersemi—Rasulullah saw menghadapi tekanan yang tiada henti. Kota Mekah berada dalam pusaran kegelapan: kemusyrikan merajalela, penyembahan berhala menjadi norma, kebodohan dan takhayul mengisi ruang pikir masyarakat, serta perang antar kabilah merusak hubungan sosial. Dalam suasana seperti itu, kaum muslimin adalah kelompok kecil yang terpinggirkan dan ditekan dari segala arah.

Namun di tengah gelapnya langit Mekah, Rasulullah saw membawa harapan akan masa depan Islam yang terang, meski cahaya itu terasa masih jauh dan tertutup mendung pekat. Dalam tahun yang penuh kesulitan itu, terjadi sebuah peristiwa besar: Isra’ dan Mi’raj. Allah memperjalankan Rasulullah saw menuju langit, di mana beliau menyaksikan keagungan alam malakut dengan mata kepala sendiri. Peristiwa spiritual ini meneguhkan ruh beliau, menjadikannya semakin siap menanggung beban risalah yang lebih berat.

Sebuah riwayat yang disepakati Ahlusunah dan Syiah menyebutkan bahwa pada malam Mi’raj, Malaikat Jibril as memberikan kepada Rasulullah saw buah dari pohon Thuba, salah satu pohon surga. Ketika beliau kembali ke bumi, buah itu berubah menjadi bahan penciptaan ruhani bagi kelahiran seorang wanita suci: Sayyidah Fatimah al-Zahra as. Karena itu pula Rasulullah saw sering mencium putrinya. Ketika Aisyah bertanya mengapa beliau melakukan itu, Rasulullah menjawab, “Setiap kali aku merindukan surga, aku mencium Fatimah.”

Kelahiran Sang Cahaya

Bayi penuh keberkahan itu lahir pada tanggal 20 Jumada al-Tsaniyah. Ia lahir dari ayah yang paling mulia, Rasulullah saw, dan ibu yang paling agung, Sayyidah Khadijah al-Kubra—wanita dermawan yang selalu mendahulukan orang lain meski dirinya kekurangan. Kelahiran ini langsung meruntuhkan fitnah kaum musyrik yang menuduh Nabi mandul dan tidak memiliki keturunan. Tetapi Allah membantah mereka melalui surat al-Kautsar, menjelaskan bahwa keturunan Rasulullah akan berlanjut melalui Fatimah, dan bahwa pihak yang sesungguhnya terputus adalah musuh-musuh beliau.

Dari rahim suci Khadijah dan cahaya buah surga, Fatimah lahir sebagai sumber keberlanjutan kenabian dan mata air para imam petunjuk hingga akhir zaman.

Sayyidah Fatimah dikenal memiliki sembilan nama penuh makna:
Fatimah, al-Shiddiqah, al-Thahirah, al-Mubarakah, al-Zakiyyah, al-Radhiyyah, al-Mardhiyyah, al-Muhaddatsah, dan al-Zahra. Setiap nama merupakan cermin sifat-sifat luhur yang menghiasi diri sang penghulu wanita semesta.

Nama “Fatimah” sendiri mengandung kabar gembira. Rasulullah saw bersabda kepada Amirul Mukminin Ali as bahwa putri beliau dinamakan Fatimah karena Allah memutuskan Fatimah, keturunannya, dan para pecinta mereka dari api neraka. Sementara nama “al-Zahra” memiliki makna cahaya. Imam Jafar al-Shadiq as menjelaskan bahwa setiap kali Fatimah berdiri dalam mihrab ibadah, cahaya dari dirinya memancar hingga menerangi penghuni langit, sebagaimana bintang-bintang menerangi penduduk bumi.

Kesepian Khadijah dan Pengkhianatan Kaum Wanita Mekah

Pernikahan Sayyidah Khadijah dengan Rasulullah saw, yang saat itu masih dianggap yatim dan miskin, membuat wanita-wanita Mekah menjauhinya. Mereka memutuskan hubungan sosial, mencemoohnya, dan memandangnya telah “menurunkan martabat” dengan menikahi seorang pemuda yang tidak memiliki kekayaan. Ujian itu berlangsung lama, bahkan hingga Khadijah mengandung Fatimah.

Tidak ada yang dapat menghibur hati Khadijah kecuali janin suci di rahimnya. Riwayat menyebutkan bahwa Fatimah kecil—sebelum dilahirkan—telah menjadi penawar kesedihan ibunya dengan cara yang hanya dipahami para wanita suci.

Ketika waktu kelahiran tiba, Khadijah meminta bantuan wanita-wanita Quraisy untuk menemaninya dalam proses bersalin. Tetapi mereka menolak dengan kata-kata kasar:
“Engkau tidak mendengarkan kami dan tetap menikahi pemuda yatim itu. Maka kami tidak akan membantumu.”

Khadijah pun menangis. Ia menghadapi kesakitan tanpa pendamping, tanpa kerabat, tanpa seorang pun yang peduli. Namun cahaya keimanan yang menetap di hatinya tidak padam. Ia yakin Allah tidak akan meninggalkan orang yang tulus mengabdi.

Empat Wanita dari Surga

Ketika rasa sakit mencapai puncaknya dan kesedihan menyelimuti dirinya, tiba-tiba Khadijah melihat empat wanita bercahaya mengelilinginya. Mereka bukan wanita biasa.

Salah satu dari mereka berkata:
“Aku adalah Sarah, isteri Nabi Ibrahim. Ini Asiyah binti Muzahim, isteri Firaun, yang kelak menjadi temanmu di surga. Ini Maryam binti Imran, ibu Nabi Isa. Dan yang keempat adalah Kultsum, putri Nabi Musa bin Imran. Kami datang atas perintah Allah untuk membantumu.”

Dalam kehadiran cahaya-cahaya agung itu, Khadijah melahirkan Fatimah. Riwayat menyebutkan bahwa bayi itu langsung bersujud dan mengangkat jemarinya, sebagai tanda kesucian fitrah dan keberkahan ilahiah.

Peristiwa ini merupakan manifestasi dari firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian, maka turunlah malaikat kepada mereka (seraya berkata), ‘Jangan takut dan jangan bersedih, bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepadamu.'” (Fushshilat: 30)

Fatimah lahir di tengah kegelapan jahiliah, tetapi kelahirannya justru menjadi cahaya yang menandai datangnya era baru bagi umat manusia.

Fatimah: Nikmat yang Berkelanjutan

Kelahiran Fatimah tidak hanya menghapus tuduhan musyrikin bahwa Nabi tidak memiliki keturunan; ia menjadi sumber keberlanjutan spiritual Rasulullah saw hingga hari kiamat. Melalui dirinyalah lahir para imam suci: Ali, Hasan, Husein, Zainal Abidin, dan seterusnya hingga Imam Mahdi afs.

Dalam surat al-Kautsar, Allah meneguhkan nikmat besar ini:

“Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus.”

Nikmat itu adalah Fatimah. Dan dari Fatimah lahir keturunan Nabi yang dijaga, disucikan, dan menjadi penuntun bagi umat.

Cahaya yang Menghidupkan

Kelahiran Sayyidah Fatimah al-Zahra bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi titik balik spiritual bagi semesta. Ia lahir pada masa ketika kegelapan merajalela, namun justru menjadi obor yang mengikis kejahiliahan. Ia adalah buah surga yang menghadirkan kedamaian bagi Nabi, penghibur bagi ibunya, dan kelak menjadi induk para imam.

Di tengah dunia yang masih berkutat dengan tirani, ketidakadilan, dan kezaliman, kelahiran Fatimah mengingatkan kita bahwa cahaya selalu turun dari langit pada saat dunia berada dalam malam yang paling pekat. Cahaya itu dapat membelah kegelapan, menyalakan harapan, dan membimbing manusia menuju Allah.

Inilah kisah tentang “Cahaya yang Lahir di Masa Jahiliah”—sebuah hikmah abadi bagi setiap pecinta Ahlulbait.


Disadur dari buku karya Ayatullah Makarim Syirazy – Biografi Wanita Agung Fatimah Zahra

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT