Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang diinterpretasikan oleh Mazhab Syi’ah sebagai berkaitan dengan konsep Imamah. Salah satunya adalah ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka ruku”. (QS. Al-Ma’idah: 55)
Kata “wali” dalam ayat ini diartikan sebagai pelindung, yang mana Wilayah berarti perlindungan. Menurut ajaran Islam, zakat tidak biasanya dikeluarkan saat sedang ruku’ dalam shalat. Kejadian ini dianggap unik dan spesifik, merujuk pada peristiwa di mana Imam Ali as memberikan sedekah saat sedang ruku’ dalam shalatnya. Hal ini diriwayatkan baik oleh sumber Syi’ah maupun Sunni.
Pada peristiwa tersebut, dikisahkan bahwa Imam Ali as sedang ruku’ dalam shalat ketika seorang pengemis meminta sedekah. Imam Ali as kemudian memberi isyarat dengan jarinya, sehingga pengemis tersebut dapat mengambil cincin dari jarinya dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhannya. Kejadian ini dianggap sangat khusus, menunjukkan kedermawanan Imam Ali as bahkan dalam momen ibadah yang khusyuk.
Kedua mazhab, Syi’ah dan Sunni, sepakat bahwa peristiwa ini melibatkan Imam Ali as, dan ayat ini turun dalam konteks tersebut. Memberi sedekah saat ruku’ dalam shalat bukanlah perintah umum dalam Islam, melainkan sebuah kejadian yang sangat spesifik yang merujuk kepada tindakan Imam Ali as.
Ayat lain yang dianggap berhubungan dengan pengangkatan Imam Ali as sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah saw adalah QS. Al-Ma’idah: 67, yang berbunyi: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, (berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”
Ayat ini menunjukkan pentingnya penyampaian pesan tersebut, hingga dikatakan bahwa jika Nabi saw tidak menyampaikannya, maka beliau dianggap tidak menunaikan amanat Allah Swt.
Mazhab Syi’ah dan Sunni sepakat bahwa surah Al-Ma’idah adalah salah satu surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi saw. Ayat ini dianggap sebagai salah satu perintah terakhir yang harus disampaikan oleh Nabi saw setelah menyelesaikan misi kerasulannya selama 23 tahun di Mekkah dan Madinah. Syi’ah menganggap bahwa perintah ini terkait dengan penetapan Imamah, yang menurut mereka, merupakan elemen kunci dalam struktur Islam yang, jika hilang, akan menyebabkan keruntuhan keseluruhan struktur tersebut.
Selain itu, terdapat riwayat dan hadits Sunni yang mendukung pandangan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum, di mana Nabi saw secara resmi mengangkat Imam Ali as sebagai penerusnya.
Dalam surah Al-Ma’idah, terdapat juga ayat yang berbunyi: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Ayat ini menandakan bahwa pada hari itu terjadi sesuatu yang sangat penting, yaitu penyempurnaan agama Islam, pemberian nikmat Allah yang mencukupi umat manusia, dan penetapan Islam sebagai agama yang diridhai Allah.
Mazhab Syi’ah berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan pentingnya suatu peristiwa yang menjadi penentu keberadaan Islam sebagai agama yang benar dan sempurna. Mereka berargumen bahwa inti dari ayat ini berkaitan dengan penetapan Imamah. Menurut Syi’ah, tanpa penetapan Imamah, Islam tidak dapat mencapai kesempurnaan dan keridhaan Allah sebagaimana yang dikehendaki.
Pertanyaan yang muncul adalah, apa sebenarnya peristiwa tersebut? Mazhab Syi’ah mengklaim bahwa peristiwa itu adalah penetapan Imam Ali as sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw. Syiah menyatakan bahwa hal ini ditunjukkan melalui berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pengangkatan Imam Ali as pada peristiwa Ghadir Khum.
Dalam pandangan Syi’ah, keberadaan Imamah merupakan elemen kunci dalam struktur Islam yang tanpanya agama ini tidak akan sempurna. Dengan demikian, ketiga ayat yang telah dipaparkan, yaitu QS. Al-Ma’idah: 55, QS. Al-Ma’idah: 67, dan QS. Al-Ma’idah: 3, menjadi dasar argumen Syi’ah mengenai pentingnya Imamah dalam Islam.
*Disarikan dari buku Imamah dan Khilafah – Syahid Muthahhari