Di tengah hiruk-pikuk dunia modern ini, di mana sains dan teknologi berada di puncak kejayaannya, agama sering kali dianggap sebagai relikui masa lalu yang tak relevan. Namun, di balik fasad materialisme yang manusia merindukan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang melampaui batas-batas duniawi. Agama, dengan segala kekayaan tradisi dan ajarannya, hadir sebagai oase spiritual di tengah gurun materialisme yang kering.
Bukan sekadar kumpulan dogma dan ritual yang usang, agama adalah ekspresi kerinduan manusia akan Yang Transenden. Ia adalah protes eksistensial terhadap absurditas dunia. Di sini, di jantung agama yang hidup, logika, filsafat, dan realitas bertemu dalam harmoni yang menakjubkan. Kebenaran dan keadilan bukanlah sekadar konsep abstrak, melainkan denyut jantung semesta yang berdetak berhenti. Sementara kepalsuan dan kezaliman, meskipun tampak berkuasa, hanyalah bayang-bayang fatamorgana.
Setiap manusia dilahirkan dengan kompas ilahiah yang tertanam dalam jiwanya – kunci untuk membedakan antara yang hak dan yang batil. Inilah gen spiritual yang membuat kita resisten terhadap ketidakadilan, yang membangkitkan amarah kita terhadap kepalsuan, dan yang menolak kita untuk tunduk pada nihilisme.
Sejarah telah mencatat banyak contoh manusia-manusia yang memilih jalan kebenaran, maka ketika harus menghadapi penganiayaan dan kejahatan. Mereka adalah simbol keberanian yang tak pernah lekang oleh waktu,
Agama bukanlah sekadar ritual yang hambar, melainkan bahan bakar peradaban yang menyulut semangat perubahan. Ia adalah api harapan yang tak pernah padam, yang membakar keyakinan bahwa kejahatan tidak akan pernah menang pada akhirnya.
Ketika determinisme mencoba meracuni pikiran kita dengan dogma “semua sudah ditakdirkan”, iman hadir sebagai bisikan yang menenangkan: “Takdir adalah kanvas, dan tangan kita memegang kuas.”
Para penguasa yang korup mungkin mencoba menyebarkan keputusasaan, mereduksi harapan menjadi fatalisme yang melumpuhkan. Namun, di tengah kegelapan, selalu ada lilin-lilin kecil yang dinyalakan oleh para pencari kebenaran. Inilah élan vital yang didengungkan oleh Bergson – bukan sekadar optimisme yang naif, melainkan energi kreatif yang mampu mengubah takdir, kekuatan metafisik yang menulis ulang sejarah.
Agama akan mati jika harapan terkubur dalam hati manusia. Namun, selama masih ada suara yang berani berkata, “Ini salah!” di hadapan ketidakadilan; selama masih ada jiwa yang meradang, “Ini bukan takdir!” ketika menghadapi penindasan – di sanalah agama hidup sebagai napas pemberontakan. Bukan untuk mengutuk kegelapan, melainkan untuk menyalakan obor-obor kebenaran yang membakar habis kepalsuan, hingga yang tersisa hanyalah kebenaran yang telanjang: bahwa keadilan adalah bahasa ibu semesta, dan harapan adalah aksara suci yang mengalir dalam nadi kehidupan.
Namun, harapan ini hanyalah utopia jika tidak disertai dengan pemahaman yang jelas dan komprehensif tentang tujuan hidup manusia. Manusia modern merasa kehilangan arah, mencari-cari makna hidup dalam materialisme yang hampa. Di sinilah agama berperan sebagai penuntun jalan, memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang paling mendalam.
Fenomena Mahdisme dengan janji kemenangan kebenaran dan keadilan di akhir zaman, adalah manifestasi kerinduan manusia akan kemenangan sejati. Namun, mahdisme ini hanya akan menjadi mitos belaka jika tidak diintegrasikan dengan aksioma ketuhanan dan pandangan dunia yang progresif, rasional, dan relevan. Agama harus mampu menjawab tantangan zaman, memberikan solusi atas permasalahan kontemporer, dan menginspirasi manusia untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian, agama tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga kekuatan transformatif yang mampu membangkitkan denyut ilahi dalam diri manusia, mendorong mereka untuk menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan dan keadilan bagi seluruh umat manusia.