Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah SAW menyampaikan petunjuk dan hikmah tentang keutamaan manusia serta sifat-sifat yang menentukan derajat mereka di sisi Allah SWT. Salah satu sabdanya yang diriwayatkan dalam kitab Tuba al-‘Uqil dan al-Kafi menjelaskan ciri-ciri manusia yang paling baik serta manusia yang paling buruk.
Manusia yang Paling Baik
Rasulullah SAW bersabda:
“Segala sesuatu memiliki kemuliaan, dan majelis yang paling mulia adalah yang menghadap kiblat. Barangsiapa yang ingin menjadi manusia yang paling mulia, maka dia harus bertakwa kepada Allah. Barangsiapa yang ingin menjadi manusia yang paling kuat, maka dia harus bertawakal kepada Allah. Dan barangsiapa yang ingin menjadi manusia yang paling kaya, maka dia harus lebih percaya kepada apa yang ada di tangan Allah dibandingkan apa yang ada di tangannya sendiri.”
Suatu hari, Rasulullah SAW berkumpul bersama para sahabat. Beliau bersabda, “Maukah kalian aku beritahu tentang manusia yang paling baik?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang bertakwa, bertawakal kepada Allah, dan lebih mempercayai rezeki yang ada di sisi-Nya dibandingkan harta yang mereka miliki sendiri.”
Selain itu, Rasulullah SAW mengutip pidato Nabi Isa AS kepada Bani Israil:
“Janganlah kalian menyampaikan hikmah kepada orang bodoh, karena itu adalah kezaliman terhadap hikmah. Dan jangan pula kalian menahan hikmah dari mereka yang berhak menerimanya, karena itu adalah kezaliman terhadap mereka. Jangan kalian meladeni orang zalim, karena kalian akan kehilangan keutamaan kalian.”
Pidato ini mengajarkan pentingnya menempatkan ilmu dan kebijaksanaan pada tempat yang tepat serta menjauhi kezaliman dalam bentuk apa pun. Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa manusia harus menggunakan kesempatan hidupnya dengan bijaksana:
“Manusia berada di antara dua rasa takut: rasa takut terhadap apa yang telah terjadi, yakni apa yang akan diperbuat Allah terhadapnya; dan rasa takut terhadap apa yang akan terjadi, yakni bagaimana ketetapan Allah terhadapnya. Maka, seorang hamba harus memanfaatkan keberadaannya untuk dirinya sendiri, dunianya untuk akhiratnya, masa mudanya sebelum tua, dan hidupnya sebelum mati.”
Manusia yang Paling Buruk
Di sisi lain, Rasulullah SAW juga menjelaskan tentang manusia yang paling buruk dalam beberapa tingkatan:
Suatu ketika, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian aku beritahu manusia yang paling buruk?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw bersabda:
- Tingkatan pertama: “Orang yang menahan pemberiannya kepada orang lain, dan mencambuk budaknya.”
Para sahabat terdiam, lalu Rasulullah saw kembali bertanya, “Maukah kalian aku beritahu manusia yang lebih buruk dari itu?” Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
- Tingkatan kedua: “Orang yang tidak dapat diharapkan kebaikannya dan orang lain tidak aman dari keburukannya.”
Rasulullah SAW kembali bertanya, “Maukah kalian aku beritahu manusia yang lebih buruk dari itu?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
- Tingkatan ketiga: “Orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain dan tidak mau menerima permintaan maaf mereka.”
Para sahabat semakin tercengang, namun Rasulullah SAW melanjutkan, “Maukah kalian aku beritahu manusia yang lebih buruk dari itu?” Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
- Tingkatan keempat (paling buruk): “Orang yang membenci masyarakat dan dibenci oleh masyarakat.”
Hadis ini memberikan gambaran yang jelas bahwa keburukan manusia diukur dari interaksinya dengan sesama. Seseorang yang kikir, kasar, dan tidak memiliki belas kasih akan berada pada tingkatan buruk. Lebih buruk lagi adalah mereka yang menebarkan kebencian dan menjadi sumber ketakutan bagi orang lain.
Kesimpulan
Rasulullah SAW dengan bijaksana menggambarkan standar kemuliaan dan kehinaan manusia. Orang yang paling baik adalah mereka yang bertakwa, bertawakal, dan mempercayai rezeki Allah, sementara manusia yang paling buruk adalah mereka yang tidak memiliki manfaat bagi orang lain, bahkan menjadi sumber keburukan di tengah masyarakat.
Pesan dari sabda ini adalah agar setiap manusia berusaha menjadi pribadi yang bermanfaat, penuh kasih sayang, dan mengutamakan akhirat dalam setiap langkah hidupnya. Dengan demikian, ia akan termasuk dalam golongan manusia terbaik yang diridhai Allah SWT dan dicintai oleh sesama.
Sumber: Madinah Balaghah