Dalam lintasan sejarah Islam, Ahlulbait memainkan peran sentral dalam menjaga kemurnian tauhid dan menegakkan keadilan Ilahi. Melalui penjelasan-penjelasan mendalam tentang konsep ketuhanan, qadha’ dan qadar, kebebasan manusia, serta hukum kausalitas, para imam berupaya meluruskan berbagai kekeliruan pemahaman yang dapat menjerumuskan umat kepada fatalisme, penafian tanggung jawab, atau pandangan tidak adil terhadap perbuatan Tuhan. Tulisan ini merangkum salah satu dasar pemikiran penting yang mereka ajarkan, yaitu prinsip qadha’ dan qadar, sebagaimana tercantum dalam riwayat-riwayat primer Ahlulbait.
Sistem Ketetapan dan Takdir dalam Alam
Para imam menegaskan bahwa alam semesta berdiri di atas sebuah sistem yang pasti, teratur, bersifat niscaya, dan terperinci. Tidak ada suatu peristiwa di alam yang terjadi secara acak atau tanpa sebab. Semuanya berlangsung dalam rangkaian hukum kausalitas yang berlaku di seluruh wujud, baik alam materi maupun alam metafisik. Inilah yang mereka jelaskan sebagai qadha’ dan qadr.
Hukum kausalitas mencakup dua aspek:
- Qadha’ — kepastian terjadinya suatu akibat ketika sebabnya ada.
- Qadr — pengukuran, batasan, dan individuasi suatu akibat dalam ukuran, kuantitas, kualitas, dan bentuknya.
Contoh sederhana dapat ditemukan pada gesekan batang korek api. Selama tidak ada penghalang, gesekan pasti menghasilkan panas dan api. Kepastian munculnya api itulah qadha’, sedangkan ukuran panas dan intensitas api—yang bergantung pada karakteristik batang korek, kekuatan gesekan, dan ketebalan geretan—adalah qadr, yaitu pengukuran dan batasan atas akibat yang muncul.
Dalam Al-Kāfī, Al-Kulainī meriwayatkan dialog antara Yunus bin Abdul Rahman dan Imam Ali Ar-Riḍā. Ketika Yunus ditanya apakah ia mengetahui makna takdir, ia menjawab tidak. Imam lalu menjelaskan:
“Takdir adalah rancangan dan penetapan batasan-batasan dari keberadaan dan kefanaan. Adapun qadha’ adalah kepastian.”
— Al-Kāfī, jil. 1, Kitāb al-Tauḥīd, bab “Al-Jabr wa al-Qadr” dan “Al-Amr bayna al-Amrayn”, hlm. 121.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa alam semesta adalah struktur besar yang tersusun dalam urutan, aturan, dan ukuran yang pasti. Semua wujud menjalani proses kemenjadian (qadha’) dan keindividualan (qadr), seperti dijelaskan oleh para ulama Ahlulbait.
Manusia dalam Lingkup Qadha’ dan Qadr
Kehidupan manusia—baik individu maupun sosial—juga berada dalam cakupan hukum ini. Perbuatan, pilihan, gerakan, dan langkah manusia terjadi di dalam kerangka qadha’ dan qadr Allah. Namun, hukum Ilahi tidak berarti paksaan; ia bekerja sesuai hubungan sebab-akibat antara tindakan manusia dan akibatnya.
Al-Qur’an menjelaskan:
“Jika kamu menolong (agama) Allah, Dia akan menolong kalian.”
— QS Muhammad [47]: 7
Artinya, ketika seseorang berusaha, aktif, jujur, dan berjuang, Allah membukakan jalan melalui sunnah-sunnah kausalitas-Nya. Sebaliknya, ketika seseorang malas atau menipu, ia dipasrahkan kepada akibat dari perbuatannya sendiri. Ini adalah manifestasi praktis dari qadha’ dan qadr dalam kehidupan sehari-hari.
Riwayat Amirulmukminin as: Qadha’, Qadr, dan Kebebasan Manusia
Salah satu penjelasan paling penting datang dari riwayat panjang Amirulmukminin Imam Ali bin Abi Thalib setelah perang Shiffin. Al-Kulainī meriwayatkan dengan sanad marfu‘ bahwa seorang tua datang bertanya:
“Wahai Amirulmukminin, apakah perjalanan kami menuju Syam terjadi dengan qadha’ dan takdir Allah?”
Imam Ali menjawab:
“Betul, kalian tidak menaiki bukit dan tidak menuruni lembah kecuali dengan qadha’ dan takdir Allah.”
Mendengar itu, orang tua tersebut mengira bahwa seluruh tindakan manusia adalah paksaan. Maka ia berkata, “Kalau begitu, kami tidak memiliki daya apa pun.”
Imam Ali segera meluruskannya:
“Engkau mengira itu sebagai qadha’ yang pasti dan takdir yang harus? Jika demikian, gugurlah pahala dan hukuman, perintah dan larangan. Batal janji dan ancaman Allah. Tidak ada cela bagi pendosa dan tidak ada pujian bagi pelaku kebaikan… Allah membebankan (kewajiban) sebagai pilihan, dan melarang sebagai peringatan. Ia memberi banyak kepada yang sedikit. Ia tidak didurhakai dalam kondisi hamba terkalahkan, dan tidak ditaati dalam keterpaksaan.”
Imam menegaskan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi secara sia-sia, tidak pula mengutus para nabi dengan sia-sia. Fatalisme adalah cara pandang kaum penyembah berhala dan majusi, bukan ajaran tauhid.
Setelah penjelasan itu, orang tua tersebut berdiri dan menyenandungkan syair:
“Engkaulah imam yang kami taati,
dan denganmu kami berharap keselamatan dari Yang Maha Pengasih.
Engkau menerangkan sesuatu yang samar menjadi jelas.
Semoga Tuhanmu membalasmu dengan kebaikan.”
Qadha’ dan Qadar sebagai Aturan Ilahi atas Semesta
Para imam menjelaskan bahwa qadha’ dan qadr bukan sekadar konsep teologis, tetapi aturan Allah atas seluruh eksistensi. Segala pergerakan, kelahiran, kehancuran, pertumbuhan, kejahatan, dan kebaikan berada dalam lingkup kehendak-Nya.
Kesalahan sebagian teolog klasik adalah berusaha menegakkan argumen tauhid atau kenabian dengan meniadakan keteraturan alam, seolah Allah bekerja dengan membatalkan sistem alam, bukan menciptakan sistem itu. Dalam kritik atas Fakhruddin Ar-Razi, Mulla Shadra menegaskan:
“Mereka berusaha membuktikan kekuasaan Sang Pencipta dengan membatalkan keterkaitan rasional antarwujud, seolah sunnah Allah tidak berlaku. Ini kekeliruan besar.”
Ahlulbait menolak pandangan demikian. Mereka menegaskan bahwa kekuasaan Allah tampak justru dalam ketelitian, kesempurnaan, dan niscayanya sistem sebab-akibat, bukan dalam pembatalannya.
Iman kepada Takdir sebagai Bagian dari Akidah
Riwayat Ahlulbait menekankan bahwa iman tidak sempurna tanpa keyakinan terhadap takdir, baik dan buruknya, manis dan pahitnya.
Dalam At-Tauhid, Ash-Shaduq meriwayatkan sabda Rasulullah Saw:
“Tidak beriman seseorang dari kalian sampai ia beriman kepada takdir, baik dan buruknya, manis dan pahitnya.”
— At-Tauḥīd, hlm. 380/27
Dalam Al-Kafi, Imam Ja‘far Ash-Sadiq as meriwayatkan perkataan Amirulmukminin as:
“Seorang hamba tidak akan merasakan iman hingga ia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset, dan apa yang meleset darinya tidak akan menimpanya.”
— Al-Kafi, jil. 2, bab “Faḍl al-Yaqīn”, 58/7
Dan dalam riwayat lain, Imam Ali Ar-Rida meriwayatkan dari ayah-ayahnya bahwa Rasulullah bersabda:
“Siapa yang tidak rela dengan qadha’-Ku dan tidak beriman pada takdir-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku.”
— At-Tauḥīd, Ash-Shadūq
Penegasan Ahlulbait: Antara Jabr dan Tafwīdh
Seluruh riwayat di atas mengarah pada satu prinsip emas Ahlulbait:
“Lā jabr wa lā tafwīdh, bal amrun baina al-amrain.”
— Tidak ada paksaan total, dan tidak ada penyerahan mutlak; tetapi perkara berada di antara keduanya.
Inilah garis lurus ajaran tauhid yang mereka pertahankan:
- Allah Maha Berkehendak atas seluruh wujud (qadha’).
- Allah menentukan ukuran, batasan, dan hukum yang mengatur segala sesuatu (qadr).
- Manusia tetap memiliki kehendak, pilihan, dan tanggung jawab moral.
- Perbuatan manusia berada dalam lingkup hukum Allah, namun bukan dipaksa oleh-Nya.
Maka, konsep qadha’ dan qadr bukanlah bentuk penafian kebebasan manusia, melainkan penegasan bahwa manusia bebas dalam kerangka kehendak Tuhan—bukan di luar-Nya.
Konsep qadha’ dan qadr adalah salah satu fondasi terpenting dalam pemikiran para Imam Ahlulbait. Dengan penjelasan yang sangat hati-hati, mereka menjaga umat agar tidak terjerumus ke dalam fatalisme yang mematikan usaha, atau ke dalam pandangan yang menafikan keteraturan Ilahi. Melalui riwayat-riwayat yang otentik dan mendalam, mereka menunjukkan bahwa tauhid sejati menuntun manusia untuk memahami:
- Keteraturan alam sebagai bukti keagungan Allah.
- Hukuman dan pahala sebagai konsekuensi pilihan moral manusia.
- Keterhubungan antara usaha hamba dan pertolongan Tuhan.
- Keadilan Ilahi yang tidak bertentangan dengan qadha’ dan qadr-Nya.
Ahlulbait telah menegakkan tauhid bukan sekadar pada level ritual, tetapi pada tingkat pemikiran yang paling tinggi—menjadikan iman sebagai kesadaran, kebebasan sebagai amanah, dan hukum Ilahi sebagai pagar yang membimbing manusia menuju kesempurnaan.
Disarikan dari buku Keadilan Tuhan, Determinisme Sejarah & Kemandirian Tindakan Manusia – Markaz ar-Risalah