Oleh: Farzad Soltani – Peneliti urusan Prancis
Ada pepatah Persia yang mengatakan, “Kāfer hame rā be kīsh-e khod pendārad” — “Orang kafir mengira semua orang sama seperti dia.” Ungkapan ini mencerminkan kekeliruan berpikir yang menganggap bahwa semua orang berpikir dan bertindak seperti dirinya sendiri. Orang kikir mengira orang lain juga kikir, pesimis melihat keburukan dalam setiap tindakan orang lain. Cara pandang ini juga terlihat nyata dalam hubungan antarbangsa.
Amerika Serikat, dengan sejarah kolonialismenya yang panjang serta praktik penggunaan kelompok proxy (perantara) untuk menguasai dunia, menganggap bahwa negara lain pun pasti bersikap serupa. Karena itulah, ketika melihat Iran mendukung kekuatan-kekuatan Perlawanan di kawasan, mereka langsung menyebutnya sebagai proxy, sebab begitulah cara mereka sendiri selama ini menyebar pengaruh.
Perang Proxy dan Cara Pandang Amerika
Perang proxy berarti ketika sebuah kekuatan besar tidak bertempur secara langsung, tapi justru memanfaatkan kelompok lain untuk mengejar kepentingannya. Sejak Perang Dunia II, AS telah berulang kali menggunakan cara ini — dari mendukung pemberontak di Amerika Latin dan Afrika, hingga mempersenjatai kelompok teroris ekstremis di Timur Tengah. Pandangan ini memperlihatkan bahwa AS hanya melihat dunia sebagai ajang perebutan kepentingan, di mana semua pihak bisa dijadikan alat.
Namun yang dilupakan Amerika adalah bahwa tidak semua hubungan internasional dibentuk dari kepentingan pragmatis. Ketika Iran mendukung Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, atau Ansarullah di Yaman, Washington menyangka semua itu demi tawar-menawar politik. Padahal, kekuatan-kekuatan ini digerakkan oleh keyakinan agama yang kuat serta semangat anti-penjajahan — bukan karena menjadi “alat” politik Iran.
Kesalahan Fatal Amerika dalam Menilai Poros Perlawanan
Menyusul berbagai perkembangan terbaru, terutama di Suriah, media Barat sibuk menyebarkan narasi bahwa Iran telah kehilangan pengaruh atas “kelompok proksinya”. Menanggapi hal ini, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menegaskan:
“Dalam propaganda mereka yang berulang-ulang, mereka mengatakan Republik Islam telah kehilangan proksinya di kawasan. Ini sepenuhnya salah. Republik Islam tidak memiliki pasukan proksi. Yaman berjuang karena keyakinannya. Hizbullah turun ke medan tempur karena iman yang kuat mendorong mereka. Hamas dan Jihad Islam berjuang karena akidah mereka menuntut demikian. Mereka tidak bertindak atas nama kami. Jika kami hendak bertindak, kami tidak butuh proksi. Orang-orang beriman dan terhormat ada di Yaman, Irak, Lebanon, Palestina, dan insya Allah segera juga di Suriah. Mereka berjuang melawan kezaliman dan kejahatan atas dasar kesadaran dan kehendak sendiri.”
Pernyataan ini jelas membantah logika kolonialisme yang menganggap semua hubungan haruslah transaksional. Poros Perlawanan dibangun di atas nilai-nilai Islam, semangat kemerdekaan, dan perjuangan melawan arogansi global — bukan sekadar strategi geopolitik.
Contoh paling jelas adalah sikap Ansarullah di Yaman dalam membela Gaza. Jika Yaman disebut sebagai proksi Iran, lalu apakah Gaza adalah proksi Yaman? Atau sebaliknya? Selama hampir sebulan, rakyat Yaman menerima hujan bom hanya karena mereka membela Palestina. Tidak ada bangsa di dunia ini yang rela menanggung penderitaan sedemikian rupa hanya demi perintah dari negara lain. Bahkan sekutu Amerika sendiri tidak akan berkorban sejauh itu demi kepentingan Washington.
Dua Cara Pandang: Untung-Rugi vs Komitmen Moral
Perbedaan paling nyata antara Poros Perlawanan dan blok Barat terletak pada pandangan mereka terhadap aliansi:
Pandangan Barat: Aliansi adalah kontrak sementara, bisa diputus kapan saja bila kepentingan berubah. Contohnya, Amerika mendukung kelompok teroris seperti ISIS di awal, lalu menyerang mereka ketika sudah tak lagi berguna. Mereka juga tak segan menghukum sekutu dekat seperti Turki karena membeli sistem pertahanan Rusia, atau Saudi karena perubahan kebijakan minyak. Bahkan sekutu lama seperti Kanada, Australia, dan Jepang dikenai tarif demi menutupi utang Amerika yang menumpuk.
Pandangan Poros Perlawanan: Aliansi adalah kewajiban moral dan keagamaan. Iran terus mendukung bangsa-bangsa tertindas seperti Palestina dan Yaman, bahkan di tengah tekanan ekonomi dan sanksi internasional. Bagi Poros Perlawanan, dukungan bukanlah transaksi politik, tapi bagian dari amanat agama dan komitmen terhadap keadilan.
Contoh nyata:
- Dukungan tak tergoyahkan untuk Palestina, meski Iran ditekan isu HAM dan nuklir.
- Membantu Muslim Bosnia saat Perang Balkan, baik secara diplomatik maupun militer.
- Mendukung mujahidin Afghanistan saat melawan Uni Soviet, meski Iran sendiri saat itu berperang melawan Saddam.
- Bersama Suriah melawan terorisme, sementara Barat mendukung kelompok radikal.
Pandangan ini sulit dipahami oleh Amerika yang menganggap semua negara pasti mengejar keuntungan semata. Karena itu mereka terus gagal memahami mengapa Poros Perlawanan tetap kukuh meski dihantam sanksi dan tekanan militer.
Mengapa Amerika Gagal Memahami?
Karena cara pandang Amerika terhadap dunia sangat utilitarian — segalanya dihitung untung-rugi — mereka tidak bisa mengerti bahwa gerakan Perlawanan tumbuh bukan karena perintah Teheran, tetapi dari iman, semangat kedaulatan, dan perlawanan terhadap kezaliman.
Poros Perlawanan bukanlah aliansi biasa. Ia dibangun di atas prinsip abadi, bukan strategi sementara. Itulah sebabnya mengapa gerakan ini bukan hanya bertahan, tapi terus menguat. Amerika harus sadar: keimanan dan tekad suatu bangsa lebih kuat dari bom dan sanksi.
Pepatah Persia tadi sangat tepat menggambarkan kegagalan Amerika: “Orang kafir menyangka semua orang seperti dirinya.” Mereka melihat dunia lewat kacamata kekuasaan militer dan ekonomi, sementara bangsa-bangsa Perlawanan melangkah maju dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Dan langkah itu, insya Allah, tak akan pernah padam.
Sumber: Khanenei.ir