Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Mencari Thuma’ninah

Salah satu adab hati yang penting dalam ibadah, terutama dalam zikir (ibadah untuk mengingat Allah), adalah thuma’ninah, yaitu ketenangan dan kedamaian hati. Thuma’ninah yang dimaksud di sini bukan hanya ketenangan fisik seperti yang dijelaskan dalam fikih salat, tetapi lebih kepada usaha seorang salik (orang yang menempuh jalan spiritual) untuk beribadah dengan hati yang hening dan pikiran yang tenang. Sebab, jika ibadah dilakukan dengan hati yang gundah dan pikiran yang kacau, maka penghayatan dan dampak positif dari ibadah tersebut tidak akan dirasakan oleh hati. Akibatnya, bentuk batin yang menjadi inti dari ibadah tidak akan tercipta di dalam hati.

Salah satu tujuan mengulangi ibadah dan memperbanyak zikir serta wirid adalah agar hati dapat menyerap dan merasakan pengaruhnya. Seiring waktu, sisi batin salik akan menyatu dengan hakikat zikir tersebut, dan hati akan berpadu dengan roh ibadahnya.

Selama hati belum mencapai ketenangan dan thuma’ninah, zikir dan ibadah seseorang tidak akan memberikan pengaruh yang mendalam. Ibadah lahiriah tidak akan meresap ke dalam makna batin atau aspek gaibnya, dan amal ibadah tersebut tidak akan memberikan manfaat bagi hati. Hal ini begitu jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan panjang. Dengan sedikit renungan, semua ini akan mudah dipahami.

Jika hati tidak merasakan kesan apa pun dari ibadah, maka ibadah itu tidak akan menjaga tujuan batin yang lebih tinggi. Ibadah yang demikian tidak akan mampu naik dari alam fisik (al-mulk) ke alam gaib (malakût). Bahkan, mungkin saja ibadah semacam itu akan terhapus sama sekali dari catatan amal seseorang—na’udzubillah—ketika ia menghadapi sakaratul maut yang dahsyat atau musibah besar setelah kematiannya. Pada akhirnya, ia akan menghadap Allah dengan tangan hampa.

Sebagai ilustrasi, ketika seseorang mengucapkan zikir mulia Lailaha Illallah Muhammadur Rasulullah dengan ketenangan hati dan jiwa, serta mengajarkan hatinya zikir ini hingga benar-benar memahaminya, lambat laun hatinya akan mulai mengucapkannya sebelum lidah fisiknya bergerak. Hati yang demikian disebut sebagai hati yang berzikir, menjadi “kiblat” bagi lidah. Mengenai hal ini, dalam kitab Mishbah asy-Syari’ah, Imam Ja’far ash-Shadiq AS berkata: “Jadikanlah hatimu kiblat bagi lidahmu. Jangan gerakkan lidahmu kecuali atas perintah hati, persetujuan akal, dan kerelaan imanmu.”

Sebelum lidah hati mampu berzikir, lidah fisik bisa menjadi perantara untuk mengajari hati berzikir dengan ketenangan. Namun, ketika lidah hati sudah mulai berzikir, jadikanlah ia kiblat bagi lidah fisik dan seluruh anggota tubuh. Saat hati mulai berzikir, seluruh diri akan ikut berzikir. Namun, jika lidah fisik mengucapkan zikir tanpa ketenangan hati, atau dengan kegelisahan, zikir itu tidak akan berpengaruh pada hati.

Zikir semacam itu hanya akan sampai pada lidah fisik dan hanya terdengar oleh telinga jasmani, tidak masuk ke dalam batin. Zikir tersebut tidak akan berubah menjadi bentuk batin yang kokoh di dalam hati. Akibatnya, ketika seseorang dihadapkan pada bencana besar, khususnya kematian, ia akan melupakan zikir ini sepenuhnya karena tidak terpatri di dalam hatinya. Bukan hanya zikir ini, bahkan Nama Allah, Rasulullah, agama Islam, Al-Qur’an, dan ajaran Ilahi lainnya pun akan terlupakan. Ketika ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur, ia tidak akan mampu menjawab. Talqin yang dibacakan pun tidak akan membantu, karena tidak ada kesan tentang Ketuhanan, kerasulan, dan ajaran Ilahi yang tertanam dalam hatinya. Apa yang diucapkan oleh lidahnya tidak pernah benar-benar menghunjam ke dalam hati, sehingga semuanya mudah hilang dari ingatan.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa sekelompok umat Rasulullah SAW digiring ke neraka. Ketika mereka melihat malaikat Malik, penjaga neraka, mereka lupa nama Muhammad Rasulullah, meski sebelumnya mereka adalah orang-orang beriman. Inilah pesan yang terkandung dalam hadis tersebut. Dalam kitab Mir’at al-‘Uqul, al-Majlisi mengomentari hadis “Maka Aku akan menjadi telinga dan matanya…” dan menjelaskan bahwa mereka yang tidak menggunakan mata, telinga, dan anggota tubuhnya untuk menaati Allah SWT, tidak akan memiliki mata dan telinga rohani di alam akhirat. Di Alam Kubur dan Hari Kiamat, mereka akan hidup tanpa mata dan telinga, padahal anggota rohani tersebut yang akan menjawab segala pertanyaan.

Hadis-hadis tentang thuma’ninah dan pengaruhnya sangat banyak. Salah satunya adalah tentang membaca Al-Qur’an dengan tartil, di mana Abu Abdillah AS berkata: “Siapa yang melupakan suatu surah dari Al-Qur’an, surah itu akan muncul di hadapannya dalam bentuk yang indah di akhirat. Ketika melihatnya, ia akan bertanya, ‘Siapakah engkau? Engkau sangat indah. Seandainya engkau milikku.’ Surah itu akan menjawab: ‘Aku adalah surah yang pernah engkau lupakan. Seandainya engkau tidak melupakanku, aku akan mengangkatmu ke tempat yang tinggi.'”

Dalam hadis lain disebutkan: “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an di masa mudanya, Al-Qur’an akan menyatu dengan darah dan dagingnya.” Rahasia dari ungkapan ini adalah bahwa pada masa muda, kekeruhan hati masih relatif sedikit, sehingga Al-Qur’an lebih cepat meresap dan membekas di dalam hati.

Hadis lain menyatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah selain amal yang dilakukan secara rutin, meskipun sedikit.” Mungkin rahasia di balik ini adalah bahwa amal yang dilakukan secara konsisten akan menciptakan bentuk batin di dalam hati, seperti yang telah dijelaskan.

*Disadur dari buku Hakikat dan Rahasia Salat – Imam Khomeini

Share Post
Written by
No comments

LEAVE A COMMENT