Di tengah masyarakat Arab pra-Islam yang keras, di mana perempuan sering dipandang rendah dan anak-anak kerap dianggap beban, muncul sosok Nabi Muhammad saw membawa revolusi kasih sayang. Beliau bukan hanya membawa ajaran tauhid, tetapi juga peradaban kemanusiaan yang penuh kelembutan. Salah satu puncaknya terlihat pada bagaimana Rasulullah saw memperlakukan anak-anak dengan penuh cinta, kelembutan, dan penghormatan.
Perilaku Nabi saw ini bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga pedoman etis dan spiritual bagi umat Islam. Ia menegaskan bahwa kasih sayang kepada anak-anak bukan sekadar urusan keluarga, melainkan bagian dari moralitas profetik.
Menyambut Anak-anak dengan Kasih Sayang
Dalam Musnad Ibnu Hanbal diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw menaklukkan Mekah (Fathul Makkah), penduduk Mekah datang membawa anak-anak mereka. Rasulullah saw mengusap kepala anak-anak itu satu per satu sambil mendoakan kebaikan bagi mereka. Peristiwa ini menggambarkan betapa beliau ingin anak-anak merasakan kedamaian di tengah perubahan besar yang sedang terjadi (Musnad Ibnu Hanbal).
Begitu pula dalam Shahih Muslim, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa beliau sering mengunjungi Ibrahim, putra beliau sendiri, yang disusui oleh seorang wanita di daerah ‘Awali. Rumah itu senantiasa diberi wewangian untuk menyambut kedatangan Rasulullah saw. Di sana, beliau menggendong Ibrahim, menciumnya, dan menunjukkan kasih sayang luar biasa. Bahkan ketika Ibrahim wafat di usia masih menyusu, Rasulullah saw bersabda bahwa di surga kelak Ibrahim akan memiliki dua ibu susuan untuk menyempurnakan masa penyusuannya (Shahih Muslim).
Di sini tampak bahwa kasih sayang Rasulullah saw melampaui batas dunia. Beliau bukan hanya ayah, tetapi juga pembawa cinta ilahi yang melihat kehidupan anak-anak dalam dimensi ukhrawi.
Kegembiraan Rasulullah saat Bertemu Anak-anak
Dalam Musnad Ibnu Hanbal dan Shahih Muslim disebutkan bahwa setiap kali pulang dari bepergian, Rasulullah saw pertama kali menjumpai anak-anak keluarganya. Beliau memeluk mereka sebelum melakukan hal lainnya. Bahkan disebutkan bahwa Hasan dan Husain sering menaiki punggung Rasulullah saw, dan beliau tidak hanya membiarkannya tetapi juga bersabda, “Sebaik-baik tunggangan adalah tunggangan kalian berdua, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian berdua” (Musnad Ibnu Hanbal; al-Manaqib Ibnu Syahr Asyub).
Ulama Syiah memandang momen ini bukan sekadar kisah manis keluarga. Ia adalah pesan profetik: bahwa pemimpin umat yang membawa risalah langit tetap meluangkan waktu untuk bermain dan bercanda dengan anak-anak. Dalam tradisi Ahlulbait, kasih sayang ini kemudian diwariskan oleh para Imam, sebagaimana terlihat dalam riwayat Imam Ali Zainal Abidin yang selalu mengajak anak-anak berdoa bersama di setiap kesempatan.
Mengucapkan Salam: Menghormati Anak-anak
Beberapa riwayat dalam Kanz al-‘Ummal dan Sunan Tirmizi menyebutkan bahwa Rasulullah saw terbiasa mengucapkan salam kepada anak-anak di jalan. Dalam budaya Arab ketika itu, memberi salam biasanya hanya ditujukan kepada orang dewasa atau tokoh terhormat. Namun Rasulullah saw mengajarkan revolusi sosial: anak-anak pun layak mendapatkan penghormatan yang sama (Kanz al-‘Ummal; Sunan Tirmizi).
Bahkan beliau bersabda, “Aku tidak pernah meninggalkan lima hal hingga wafatku: makan bersama budak di lantai, menunggang keledai dengan pelana kain, minum susu dengan tangan sendiri, mengenakan pakaian wol, dan mengucapkan salam kepada anak-anak. Hendaklah hal itu menjadi sunah sepeninggalku” (Makarimul Akhlaq).
Dengan memberi salam, Rasulullah saw mengajarkan bahwa harga diri seorang anak harus dihormati. Salam bukan sekadar sapaan, melainkan doa keselamatan dan pengakuan akan eksistensi mereka sebagai bagian penting dari umat.
Bahaya Mengabaikan Kasih Sayang
Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan bahwa sekelompok orang Arab pedalaman pernah berkata, “Kami tidak pernah mencium anak-anak kami.” Rasulullah saw menjawab, “Apa yang dapat kulakukan jika Allah telah mencabut kasih sayang dari hati kalian?” (Shahih Muslim).
Riwayat lain dalam al-Adab al-Mufrad menceritakan seorang lelaki yang mengaku tidak pernah mencium anak-anaknya. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi” (al-Adab al-Mufrad).
Imam Ja’far Shadiq as bahkan menyebutkan bahwa seseorang yang tidak pernah mencium anak-anaknya adalah penghuni neraka (Bihar al-Anwar). Dalam perspektif Syiah, ini bukan hanya ancaman moral, melainkan isyarat bahwa kasih sayang adalah bagian dari fitrah manusia. Menghilangkannya berarti mematikan nurani yang merupakan jalan menuju Allah.
Keadilan dalam Perlakuan
Rasulullah saw juga menekankan keadilan dalam memperlakukan anak-anak. Kisah terkenal dalam Shahih Bukhari menceritakan seorang ayah yang memberi hadiah hanya kepada satu anaknya. Rasulullah saw menolak menjadi saksi dan bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adil kepada anak-anakmu.” Akhirnya, sang ayah membatalkan pemberian yang tidak adil itu (Shahih Bukhari).
Ulama melihat hal ini sebagai fondasi etika keluarga Islam: keadilan adalah hak anak-anak, bukan hadiah dari orang tua. Dalam literatur Ahlulbait, keadilan ini diperluas hingga mencakup hak pendidikan, kasih sayang, dan perhatian yang seimbang di antara semua anak.
Menepati Janji kepada Anak-anak
Rasulullah saw bersabda, “Cintailah anak-anak dan sayangilah mereka. Jika kalian berjanji kepada mereka, tepati janji itu. Mereka meyakini bahwa kalianlah yang memberi mereka rezeki” (Musnad Ahmad).
Imam Musa Kazhim as menambahkan: “Jika kalian berjanji kepada anak-anak, tepatilah. Allah sangat murka kepada orang tua yang mengingkari janji kepada anak-anaknya” (Bihar al-Anwar).
Menepati janji kepada anak-anak bukan hanya soal pendidikan moral, melainkan juga pembentukan kepercayaan. Anak-anak yang tumbuh dengan janji-janji yang ditepati akan belajar tentang kejujuran, sementara mereka yang sering dikhianati bisa kehilangan rasa aman.
Kumpulan riwayat ini menegaskan bahwa Rasulullah saw membawa risalah kasih sayang yang menyentuh semua aspek kehidupan, termasuk dunia anak-anak. Dalam tradisi Syiah, ajaran ini diteruskan oleh para Imam yang memandang pendidikan anak sebagai amanah ilahi.
Di tengah dunia modern yang sering keras dan individualistis, teladan Rasulullah saw ini mengingatkan kita bahwa revolusi terbesar bukanlah penaklukan kota atau kemenangan politik, melainkan penaklukan hati melalui kasih sayang dan keadilan.
Disarikan dari buku Anak di Mata Nabi – Ayatullah Muhammad Reisyahri