Khamenei.ir – Dalam pandangan Islam, perempuan bukan hanya figur domestik atau simbol budaya; ia adalah pribadi multidimensional yang membawa dampak dalam setiap lingkup kehidupan. Secara individual, ia adalah sosok yang memiliki iman, kesucian, dan pertumbuhan intelektual-spiritual.
Dalam keluarga, ia menjadi pusat ketenangan dan pemegang amanah pendidikan manusia. Dalam masyarakat, ia berperan aktif memengaruhi dinamika sosial. Gagasan ini ditegaskan Rasulullah saw dalam banyak sabda ketika menggambarkan pribadi Sayidah Fatimah Zahra sa dan Sayidah Khadijah sa. Uraian beliau tentang Fatimah sa tidak berhenti pada hubungan ayah–anak; ia melampaui itu, memotret hakikat spiritual yang jauh lebih dalam.
Keutamaan Fatimah sa tidak terhitung jumlahnya. Ia hadir sebagai manusia, tetapi hakikat wujudnya melampaui jangkauan pemahaman manusia biasa—sebagaimana mata tidak sanggup menatap pancaran matahari. Kedudukannya yang luhur pada semua dimensi menjadikannya “manusia sempurna”, “manusia langit”, dan teladan paripurna. Untuk memahami kemuliaannya, kita dapat meninjau enam dimensinya.
1. Dimensi Ibadah: Puncak Kerendahan Hati kepada Allah
Meskipun masih muda, tingkat penghambaan Fatimah sa menyerupai para wali tua yang telah lama ditempa perjalanan batin. Munajatnya penuh khusyuk, tulus, dan sarat altruisme spiritual—ia selalu mendahulukan orang lain dalam doa-doanya.
Hassan al-Bashri—seorang zahid terkenal yang bukan pengikut Ahlulbait as—mengakui keunggulan spiritualnya. Ia berkata: “Ia beribadah hingga kedua kakinya membengkak,”[1] dan menegaskan bahwa tidak ada satu pun umat Islam yang menandingi ibadah Fatimah sa [2]. Kesaksian dari luar lingkaran Ahlulbait as ini adalah bukti sejarah yang kokoh.
Riwayat Imam Hasan as menggambarkan bahwa pada suatu malam Jumat, ibunya beribadah hingga fajar tanpa henti, menyebut satu per satu nama kaum mukminin dan mendoakan kemudahan bagi mereka. Ia tidak menyebut dirinya sekali pun. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab: “Wahai putraku, tetangga dulu, kemudian keluarga.”[3] Inilah logika manusia sempurna: bahkan dalam saat paling pribadi bersama Allah, kepentingan orang lain tetap berada di depan.
2. Pengorbanan untuk Umat: Spiritualitas yang Terejawantah dalam Aksi Sosial
Kedalaman spiritual Fatimah sa tidak membuatnya terlepas dari realitas umat. Dua kisah penting menggambarkan kepeduliannya terhadap sesama.
Pada malam pernikahannya, ketika seorang perempuan miskin meminta bantuan, Fatimah sa mengingat firman Allah: “Kamu tidak akan mencapai kebajikan hingga kamu menginfakkan apa yang kamu cintai.” (QS Ali Imran: 92). Ia pun memberikan pakaian terbaik yang ia miliki—gaun pengantinnya.[4]
Puncak pengorbanannya dijelaskan dalam hampir 17 ayat Surah Al-Insan, ketika ia dan keluarganya berpuasa tiga hari berturut-turut dan memberikan makanan berbuka satu-satunya kepada orang-orang yang membutuhkan: fakir, yatim, hingga tawanan yang kemungkinan bukan Muslim. Al-Qur’an menukil perkataan mereka: “Kami memberi makan kalian hanya demi Allah. Kami tidak menginginkan balasan atau ucapan terima kasih.”[5]
Kisah ini terjadi ketika negara Islam telah berdiri. Tetapi Fatimah sa mengirim pesan abadi: tugas negara tidak menghapus tanggung jawab sosial warga. Perhatian terhadap kaum lemah tetap menjadi kewajiban moral setiap individu.
3. Keteguhan dalam Ujian: Ketahanan Spiritual Manusia Langit
Dalam hidupnya yang singkat, Fatimah sa menghadapi krisis besar. Ketika Rasulullah saw dan kaum Muslim diboikot di Syi’b Abi Thalib, tekanan ekonomi dan sosial mencapai puncaknya. Pada masa itulah Sayidah Khadijah sa dan Abu Thalib as wafat. Kekosongan itu sangat besar.
Namun Fatimah sa, yang saat itu masih belia, tidak tenggelam dalam kelemahan. Ia tampil menjadi sumber ketenangan bagi Rasulullah saw. Ia menghapus debu kesedihan dari wajah ayahnya, menguatkannya dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. Dari sinilah Rasulullah saw memberinya gelar “Ummu Abiha”—“Ibu bagi Ayahnya.”
Ketabahannya bukan sekadar kesabaran pasif, tetapi ketahanan aktif yang mencerminkan sambungan ruhani dengan sumber kekuatan Ilahi.
4. Keberanian Membela yang Tertindas: Meletakkan Dasar Jihad Tabyin
Setelah wafatnya Rasulullah saw, situasi politik Madinah sangat kacau hingga banyak tokoh senior Badar dan Hunain tidak mampu menangkap kebenaran yang tersembunyi. Dalam kondisi itulah Fatimah sa menjadi manifestasi hidup firman Allah: “…bangkitlah demi Allah, berdua-dua atau sendiri-sendiri…”[6]
Ia berdiri menghadapi arus kekuasaan dengan keberanian luar biasa. Dengan argumentasi logis dan keteguhan iman, ia melahirkan tradisi jihad penjelasan—jihad tabyin—yang kemudian diteruskan para imam Ahlulbait as melalui khutbah-khutbah besar mereka. Dalam banyak momen sejarah, jihad lisan ini bahkan lebih menentukan daripada pengorbanan jiwa.
5. Keunggulan dalam Mengelola Keluarga: Peran Strategis dan Transformatif
Fatimah sa bukan hanya perempuan salehah; ia adalah pilar rumah tangga yang menghasilkan manusia-manusia agung: Zainab sa, Imam Hasan dan Husain as.
Sebagai istri, perannya melebihi sekadar urusan domestik. Di masa sekitar enam puluh peperangan besar dan kecil di Madinah, Imam Ali as menjadi poros utama pasukan Islam dan sering berada di garis depan. Dalam situasi seperti itu, pengelolaan rumah, dukungan emosional, dan keteguhan spiritual Fatimah sa menjadi fondasi yang menjaga stabilitas keluarga dan umat.
Meskipun derajat spiritualnya lebih tinggi daripada sebagian besar nabi dan pemimpin ilahi, ia tetap menjadikan peran ibu dan pengelola rumah sebagai bagian integral dari identitasnya. Islam melalui dirinya mengajarkan bahwa peran domestik bukan pelecehan bagi perempuan, tetapi salah satu wajah kemuliaan manusia sempurna.
6. Kontribusi Bersejarah yang Kekal: Hadir di Setiap Bab Penting Islam
Sejarah Islam mencatat keterlibatan Fatimah sa dalam seluruh fase krusial risalah: masa Syi’b Abi Thalib, hijrah, sebagian peperangan di Madinah, hingga peristiwa agung Mubahalah.
Ayat Mubahalah menjelaskan secara eksplisit bahwa meski banyak perempuan berada di sekitar Rasulullah saw, istilah “wanita-wanita kami” dalam QS Ali Imran: 61 merujuk hanya kepada Fatimah sa.[7] Ia tampil sebagai representasi perempuan di hadapan front kebenaran dan kebatilan. Kedudukannya menembus batas sejarah dan menjadi simbol kehadiran Ilahi dalam momen penting itu.
Penutup
Keutamaan Fatimah Zahra sa begitu banyak hingga tak mungkin diringkas dalam satu tulisan. Rasulullah saw menggambarkannya sebagai “Pemuka seluruh perempuan alam semesta.”[8] Derajatnya begitu tinggi hingga keridaan dan kemurkaan Allah tercermin dari keridaan dan kemurkaannya.[9] Dalam riwayat yang dikutip al-Khawarizmi, Rasulullah saw berkata kepada Salman: “Cinta kepada Fatimah bermanfaat di seratus tempat; yang paling mudah adalah saat sakaratul maut dan di alam kubur.”[10]
Cinta itu bukan hanya kita kepada beliau, tetapi lebih penting: bagaimana kita pantas dicintai beliau—yakni dengan meneladani akhlak, keberanian, kepedulian sosial, dan kesempurnaan batinnya.
Fatimah Zahra sa adalah puncak model perempuan Muslim, representasi “manusia sempurna”, dan cahaya yang menjadi arah perjalanan bagi setiap pencari kebenaran. Meski mencapai derajatnya sepenuhnya berada di luar kemampuan manusia biasa, mendekati cahayanya adalah kewajiban spiritual sepanjang hayat.
Referensi
- Manaqib Al-Abi Talib, Vol. 3, p. 341.
- Ibid.
- Ilal al-sharayi’, Vol. 1, p. 173; Bihar al-Anwar, Vol. 43, pp. 81–82; Al-Mahajjat al-bayda’, Vol. 4, p. 208.
- Nuzhat al-Majalis wa Muntakhab al-Nafa’is, Al-Saffuri, Vol. 2, p. 175.
- Al-Qur’an, 76:9–10.
- Al-Qur’an, 34:46.
- Al-Qur’an, 3:61.
- Al-Ṣadūq, Al-Amālī, Majlis ke-73, p. 486.
- Usd al-Ghābah, Vol. 6, p. 224.
- Maqtal al-Ḥusayn, Vol. 1, p. 100; Irshād al-Qulūb, Vol. 2, p. 294.