Oleh Hakimeh Saqhaye-Biria, Assistant Professor di Universitas Tehran
Khamenei.ir – Ketika dunia modern menilai perempuan dari tubuh dan penampilan, teladan Fatimah Zahra sa hadir sebagai cahaya yang mengembalikan martabat perempuan: bahwa kekuatan sejati terletak pada spiritualitas, kasih, dan kemampuan membangun manusia.
Di banyak tempat, perempuan tampak tersenyum, bekerja, berkarya, dan menjalani hidup seperti biasa. Namun di balik semua kesibukan itu, ada kegelisahan yang sulit dijelaskan. Banyak perempuan merasakan lelah yang tidak berbentuk, tekanan yang tidak terlihat, dan kehilangan makna yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata.
Krisis ini bukan sekadar persoalan gaji yang tidak seimbang atau angka kekerasan yang meningkat. Ia jauh lebih halus, lebih sunyi, lebih menusuk. Ia berakar pada cara masyarakat modern memandang perempuan—atau tepatnya, cara masyarakat gagal melihat perempuan sebagai manusia utuh.
Ayatullah Khamenei pernah menggambarkan fenomena ini dengan nada yang dalam:
“Krisis perempuan bukan sekadar isu sosial. Ia berada di jantung persoalan kemanusiaan—di wilayah spiritual, etika, dan cara manusia memperlakukan sesamanya.”
Dalam kacamata ini, perempuan bukan sekadar korban dari perilaku buruk. Mereka adalah cermin dari kondisi moral masyarakat. Bila perempuan kehilangan martabatnya, itu pertanda bahwa sesuatu telah rusak dalam peradaban.
Ketika Tubuh Menggantikan Manusia
Budaya global hari ini tanpa henti menampilkan perempuan sebagai sesuatu yang bisa dipandang, dinilai, dibeli, dijual, dikomentari. Televisi, iklan, film, media sosial—semuanya ikut mengikis perlahan martabat perempuan, hingga manusia lebih sering melihat tubuh daripada jiwa.
Para peneliti menyebut fenomena ini sebagai “objektifikasi”. Jean Kilbourne bahkan menyebutnya “killing us softly”—sebuah pembunuhan perlahan-lahan terhadap kemanusiaan perempuan.
Kasus eksploitasi besar di dunia Barat, seperti jaringan Epstein yang memperdagangkan perempuan di lingkaran elit, adalah bukti bahwa masalah ini bukan sekadar teori di ruang kampus. Ia nyata. Ia sistemik. Ia tercipta dari cara pandang materialistik yang mengukur nilai manusia berdasarkan kegunaan, bukan kemuliaan.
Ketika perempuan dipaksa hidup dalam dunia yang menilai mereka dari permukaan, rasa lelah, sunyi, dan sakit hati menjadi keniscayaan. Dan inilah yang disebut sebagai krisis perempuan—sebuah krisis dehumanisasi.
Dalam Gelapnya Jahiliyah, Hadir Cahaya
Menariknya, situasi seperti ini bukan baru terjadi hari ini. Empat belas abad lalu, masyarakat Arab hidup dalam gelapnya jahiliyah: perempuan menjadi simbol status, tubuh menjadi komoditas, dan bayi perempuan bahkan dikubur hidup-hidup hanya karena gendernya dianggap sesuatu yang memalukan.
Di tengah kegelapan moral seperti itu, lahirlah sosok yang kelak menjadi lentera peradaban: Sayidah Fatimah Zahra sa.
Kelahirannya saja sudah menjadi bentuk pembebasan. Rasulullah saw diejek hanya karena memiliki anak perempuan, tetapi beliau justru memuliakan putrinya dengan cara yang tak pernah dilakukan orang Arab sebelumnya.
Fatimah sa tumbuh bersama luka—kehilangan ibunya di usia kecil, melihat ayahnya diintimidasi, merasakan kesepian di tengah masyarakat yang kejam. Namun dari luka-luka itu, tumbuh kehalusan hati dan kebesaran jiwa.
Ketika berhijrah ke Madinah dan menikah dengan Imam Ali as, ia menjalani kehidupan yang sederhana. Tetapi dari kesederhanaan itu, lahirlah warisan yang hingga kini menyalakan semangat jutaan manusia.
Islam: Mengembalikan Perempuan sebagai Manusia Utuh
Apa sebenarnya yang dilakukan Islam? Islam tidak hanya menghapus tradisi mengubur bayi perempuan. Lebih dari itu, Islam merombak cara pandang peradaban terhadap perempuan. Islam tidak menempatkan perempuan sebagai aksesoris dalam keluarga, bukan sebagai pelengkap kehidupan laki-laki, dan bukan pula komoditas sosial.
Islam memandang perempuan sebagai subjek moral yang utuh—pemilik akal, pemilik amanah Ilahi, pemilik peran besar dalam bangunan kehidupan.
Al-Qur’an menegaskan kesetaraan spiritual dalam kata-kata yang sangat kuat: “Bagi laki-laki dan perempuan yang Muslim, mukmin, taat, sabar, dermawan, dan seterusnya… bagi semuanya Allah menyediakan ampunan dan pahala besar.” (QS. Ahzab: 35)
Ayat ini menegaskan bahwa kedudukan spiritual perempuan bukan versi “kedua” setelah laki-laki. Jalan kesempurnaan terbuka sama lebar.
Dan figur yang mewujudkan visi ini secara paling jernih adalah Fatimah Zahra sa.
Fatimah: Puncak Potensi Manusia
Ayatullah Khamenei sering menggambarkan Fatimah sa dengan bahasa yang bahkan membuat laki-laki dan perempuan merasa kecil di hadapan kebesarannya. Beliau berkata:
“Islam menghadirkan Fatimah—makhluk langit yang luar biasa—sebagai model perempuan yang ingin dibangun Islam.”
Fatimah bukan hanya sosok spiritual. Ia:
– seorang istri yang penuh kasih,
– seorang ibu yang mendidik pemimpin peradaban,
– seorang pejuang yang hadir dalam peristiwa-peristiwa sejarah,
– seorang orator yang membela kebenaran,
– seorang manusia yang seluruh hidupnya memantulkan cahaya Ilahi.
Dalam dirinya, kita melihat bagaimana perempuan bukan sekadar ‘pendamping’, tetapi kekuatan ruhani yang membuat sejarah bergerak.
Perempuan: Pembangun Manusia
Imam Khomeini pernah berkata dengan tegas bahwa perempuan adalah “pembuat manusia”. Kalimat sederhana itu menyimpan makna yang dalam: perempuan tidak hanya melahirkan manusia, tetapi membentuknya—jiwanya, akhlaknya, keberaniannya.
Jika perempuan kehilangan kemanusiaannya, maka generasi yang lahir pun kehilangan orientasi.
Sayidah Fatimah sa adalah contoh paling nyata dari “human-maker”. Ia membesarkan al-Hasan dan Husain as—dua manusia yang menjadi poros sejarah. Ia mendidik Zainab as—sang penjaga Karbala dan simbol keberanian perempuan. Ia membangun keluarga yang menjadi rujukan abadi bagi peradaban Islam.
Bahkan hubungan rumah tangganya penuh cahaya. Ketika Rasulullah saw bertanya kepada Imam Ali as tentang bagaimana Sayidah Fatimah, Imam Ali menjawab:
“Ia adalah penolong terbaik dalam ketaatan kepada Allah.”
Jawaban ini menunjukkan bahwa cinta dalam Islam bukan sekadar rasa, tetapi jalan menuju kesempurnaan.
Jalan Batin Seorang Perempuan Sempurna
Salah satu aspek paling memukau dari Sayidah Fatimah adalah kehidupannya yang penuh ibadah dan kasih. Ia pernah berkata:
“Dari dunia kalian, tiga hal yang aku cintai: membaca al-Qur’an, memandang wajah Rasulullah, dan memberi di jalan Allah.”
Imam Hasan as menceritakan bahwa ibunya sering menghabiskan malam penuh dalam doa, memohon untuk umat, tetangga, dan orang lain. Ketika ditanya mengapa ia tidak berdoa untuk dirinya, ia menjawab lembut:
“Anakku, tetangga dulu, baru keluarga.”
Dan sifat dermawan itu tampak dalam peristiwa yang terus dikenang kaum Muslimin:
— memberikan baju pengantin kepada perempuan miskin,
— memberikan makanan berbuka puasa kepada fakir, yatim, dan tawanan,
— selalu mengutamakan orang lain dalam keadaan paling sulit sekalipun.
Ayatullah Khamenei menyebutnya “makhluk langit yang tetap berpijak di bumi”—ia berada di dunia, tetapi tidak terikat oleh dunia.
Jawaban bagi Krisis Perempuan Modern
Krisis perempuan hari ini lahir dari peradaban yang mengukur nilai manusia berdasarkan penampilan, keuntungan, dan konsumsi. Dalam sistem seperti itu, perempuan rentan menjadi komoditas, bukan manusia.
Inilah sebabnya banyak perempuan merasa kosong meski hidup dalam kelimpahan materi.
Fatimah menawarkan paradigma lain—bukan kembali ke masa lalu, tetapi kembali ke martabat manusia. Paradigma itu meliputi:
— kehormatan sebagai fondasi,
— keluarga sebagai pusat pertumbuhan,
— spiritualitas sebagai energi hidup,
— dan keadilan sebagai arah peradaban.
Teladan Sayidah Fatimah menunjukkan bahwa perempuan bukan korban takdir sejarah. Perempuan adalah pembangun masa depan.
Sayidah Fatimah Ada untuk Menjawab Zaman
Fatimah Zahra sa bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah jawaban. Jawaban spiritual, sosial, dan moral atas kondisi perempuan hari ini.
Dalam dirinya, perempuan menemukan martabat. Dalam dirinya, keluarga menemukan cinta. Dalam dirinya, masyarakat menemukan arah. Dan dalam dirinya, dunia menemukan harapan untuk keluar dari krisis kemanusiaan.
Ia bukan hanya putri Nabi. Ia adalah cahaya yang memperbaiki dunia.