“Apakah orang-orang yang berbuat buruk itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh—sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu!”
(QS al-Jatsiyah: 21)
Dalam kacamata dunia, kematian orang baik adalah kehilangan. Tapi dalam pandangan tauhid, syahadah adalah kelahiran baru, kebangkitan nilai, dan kemenangan atas kebatilan. Tak sedikit dari kita yang pernah bertanya dalam hati: Mengapa justru mereka yang paling saleh, paling jujur, dan paling suci, yang justru wafat dalam kekerasan, dalam perang, atau dibunuh secara keji? Jika Tuhan Mahaadil, mengapa orang-orang pilihan ini tidak dibiarkan hidup panjang untuk membimbing umat?
Pertanyaan ini tidak hanya muncul hari ini. Ia telah mengguncang hati para pencari kebenaran sepanjang sejarah. Namun di tangan pemikir besar seperti Syahid Murtadha Muthahhari, pertanyaan itu diubah menjadi jendela perenungan mendalam tentang makna keadilan Tuhan dan peran manusia dalam sejarah perjuangan.
Keadilan Tuhan Tidak Berarti Dunia Tanpa Pengorbanan
Dalam bukunya Keadilan Ilahi, Muthahhari menegaskan bahwa keadilan Tuhan bukan berarti menciptakan dunia yang steril dari penderitaan atau syahadah. Keadilan berarti bahwa segala akibat akan mengikuti hukum sebabnya, dan manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan mereka. Maka ketika orang-orang suci melawan tirani, dan akhirnya gugur di medan juang, itu bukan karena Tuhan lalai atau tidak melindungi mereka, melainkan karena hukum perjuangan memang menuntut risiko.
Muthahhari menulis, “Apakah kita berharap sejarah akan berubah hanya karena kita berdiri di pihak kebenaran? Padahal para nabi dan imam pun tidak diselamatkan dari pengorbanan.” Ia menegaskan bahwa dunia ini adalah arena ujian, bukan surga. Di sinilah tempat perjuangan berlangsung, dan keadilan ilahi terwujud bukan dengan menjauhkan orang baik dari bahaya, tapi dengan menjadikan pengorbanan mereka bermakna.
Syahadah sebagai Kesempurnaan Spiritual
Muthahhari membalik logika konvensional kita. Ia berkata, “Syahadah bukan kegagalan. Ia adalah penyempurna kehidupan. Ia adalah bukti bahwa seseorang telah mencapai puncak keberadaan manusia.” Dalam perspektif ini, kematian bukan akhir, tapi transformasi. Orang-orang baik mati bukan karena dikalahkan, tapi karena mereka telah menang—mereka telah membuktikan bahwa nilai-nilai mereka lebih tinggi dari nyawa mereka sendiri.
Dalam konteks ini, kematian para syuhada menjadi semacam deklarasi publik tentang kebenaran. Mereka tidak hanya mengucapkan kata-kata keadilan, tapi memeteraikannya dengan darah. Imam Husain as tidak hanya menolak baiat kepada Yazid; beliau menumpahkan darahnya agar dunia tahu bahwa kebenaran tidak tunduk pada kekuasaan zalim.
Mengapa Tuhan Tidak Mencegahnya?
Pertanyaan yang menggantung: Mengapa Tuhan tidak menyelamatkan para hamba pilihan-Nya dari pembunuhan dan penganiayaan? Jawaban Muthahhari tajam dan filosofis. Ia mengatakan, “Tuhan bisa saja menyelamatkan mereka, tetapi dengan cara itu, dunia kehilangan makna ujian. Jika tidak ada penderitaan bagi para pejuang, maka tidak ada kemurnian dalam niat. Perjuangan menjadi bisnis, bukan ibadah.”
Dengan kata lain, kalau Tuhan langsung melindungi orang-orang baik dari setiap konsekuensi buruk perjuangan mereka, maka dunia menjadi panggung kepalsuan. Semua orang akan berpura-pura menjadi baik hanya demi keselamatan duniawi. Padahal Islam tidak mencari tentara yang oportunis. Islam mencari para kekasih Tuhan yang bersedia menukar dunia dengan akhirat, dan rela menanggung luka demi membela nilai.
Syahadah Membuka Jalan bagi Generasi Selanjutnya
Seorang syahid bukan hanya pahlawan, tetapi penunjuk jalan. Ketika seorang manusia mengorbankan dirinya demi prinsip, maka prinsip itu menjadi hidup. Imam Husain as telah syahid lebih dari 1300 tahun yang lalu, namun nilai-nilainya masih mengguncang hati jutaan orang. Inilah logika syahadah: darah menghidupkan kesadaran, bukan menghentikannya.
Muthahhari menyebut bahwa kesyahidan memiliki fungsi sosial yang luar biasa. Ia menyatukan umat, membangunkan yang lalai, dan menginspirasi generasi baru. Sebab itu, sejarah umat tidak pernah maju tanpa darah para syuhada. Jika ada revolusi, ada kesadaran, dan ada perubahan, hampir selalu ada darah orang baik di baliknya.
Darah Para Syuhada: Dari Karbala ke Palestina
Syahadah bukan hanya milik masa lalu. Ia hidup hari ini, berdetak dalam nadi Poros Perlawanan. Kita menyaksikan Jenderal Qasem Soleimani, simbol keberanian dan strategi Islam melawan hegemoni Zionis-Amerika, syahid dalam serangan pengecut pesawat tak berawak di Baghdad. Ia bukan korban, tapi penegas kebenaran. Dunia gemetar melihat jutaan manusia mengiringi jenazahnya—bukti bahwa syahadah bukanlah kematian, melainkan kehidupan kolektif umat.
Begitu pula Yahya Sinwar, pemimpin perlawanan Palestina, yang dikabarkan gugur bersama keluarganya dalam salah satu serangan biadab Israel. Seorang pejuang yang sejak muda telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk satu kata: izzah. Dunia mencibirnya, tapi langit menyambutnya.
Para syuhada dari Hizbullah—Lebanon—terus mengisi barisan para penebus tanah suci. Ribuan dari mereka, yang mungkin tak dikenal namanya di bumi, telah menyulam jalan panjang menuju kemenangan dengan darah dan pengorbanan. Sayyid Hassan Nasrallah, yang gugur syahid akibat bombardir brutal Israel dengan bom seberat 20 ton, adalah sosok yang sejak lama telah menyiapkan dirinya untuk saat paling indah dalam hidup seorang pejuang: mati di jalan Allah. Baginya, hidup bukan untuk kenyamanan, tapi untuk pengorbanan.
Jangan kita lupakan pula para jenderal penasihat militer Iran, yang terus menjadi sasaran brutal dan pengecut Zionis. Banyak dari mereka—dari generasi Revolusi Islam hingga pemuda-pemuda masa kini—gugur, namanya mungkin tak dikenal media, tapi namanya dikenal langit. Mereka adalah penjelmaan sabda Al-Quran: “Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberi rezeki dan kegembiraan.”
Kematian Mereka Adalah Kehidupan Kita
Qur’an menyatakan: “Jangan kalian kira orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Tidak! Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, mendapat rezeki dan kegembiraan.” (QS Ali Imran: 169). Ayat ini bukan sekadar hiburan spiritual, tetapi juga kebenaran eksistensial. Kematian orang-orang baik bukan akhir dari hidup mereka, justru awal dari pengaruh mereka yang tak terbendung.
Sebaliknya, mereka yang hidup dalam kehinaan, yang tunduk pada kezaliman demi kenyamanan duniawi, sebenarnya telah mati sebelum jasadnya mati. Di sinilah kita menemukan paradoks ilahi: kadang mereka yang wafat di medan perang justru lebih hidup daripada mereka yang duduk nyaman di istana.
Warisan Syuhada dan Tugas Kita
Tugas kita setelah syahadah bukan sekadar meratapinya, melainkan melanjutkan jalan para syuhada. Syahadah bukan nostalgia emosional, tapi energi moral untuk melawan kezaliman. Muthahhari mengingatkan: jangan sampai kita menangis untuk Imam Husain, namun membiarkan tirani hidup nyaman. Penghormatan sejati pada syuhada adalah meneruskan perjuangan mereka.
Menjadi orang baik memang jalan yang berat, sebab dunia tak selalu ramah pada kebenaran. Tapi iman mengajarkan bahwa setiap pengorbanan akan dibalas, dan darah suci takkan sia-sia. Syahid Muthahhari sendiri membuktikan, bahwa keberanian dan kejujuran adalah jalan menuju keabadian. Dunia mungkin membenci mereka, tapi langit mencatat mereka sebagai bintang.
Catatan Kaki:
- Muthahhari, Murtadha. Keadilan Ilahi. Terj. Bahram Samadi. Penerbit Lentera, 2000.
- Al-Qur’an, Surah al-Jatsiyah: 21.
- Al-Qur’an, Surah Ali Imran: 169.
- Uraian tentang syahadah juga bisa dilihat dalam buku Muthahhari lainnya: Syahadah: Budaya Kehidupan.
- Dokumentasi dan pernyataan seputar syahadah Qasem Soleimani, Yahya Sinwar, dan martir Iran tersedia dalam laporan resmi IRGC dan media Poros Perlawanan seperti Al-Mayadeen dan Al-Manar.