Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Mengapa Rasulullah SAW Lebih Utama dari Nabi-Nabi Terdahulu?

Seorang Yahudi berkata dengan nada menantang kepada Rasulullah SAW, “Nabi Musa AS lebih baik darimu, karena ia menerima empat ribu kata dari Tuhannya, sedangkan Tuhan tidak berbicara sepatah kata pun denganmu!” Rasulullah SAW dengan tenang menjawab, “Aku telah diberi sesuatu yang lebih utama dari itu. Aku diberikan makna yang lebih besar daripada empat ribu kata yang diterima Musa AS.”

Lalu Yahudi itu bertanya, “Apa itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Firman Allah SWT: ‘Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang Kami berkati sekelilingnya.’ (QS. al-Isra: 1)”

Rasulullah SAW menjelaskan, “Saat Isra Mikraj, aku dibawa oleh Jibril AS dan mendengar suara dari Arsy yang berkata, ‘Akulah Allah.’ Pada saat itu, aku melihat Allah, bukan dengan mata lahirku, tetapi dengan mata hati (Fa ra’aytu biqalbi ma ra’aytu bi ayni).”

Lebih lanjut, Rasulullah SAW menegaskan bahwa ia diberi kehormatan untuk bertemu langsung dengan Allah, sebuah pengalaman yang jauh lebih besar dari apa yang diterima oleh Nabi Musa AS. Apa yang diterima Nabi Musa AS hanyalah cabang-cabang (furu’) dari pokok (ushul) yang diterima Rasulullah SAW. Rahasia keutamaan ini terletak pada wajah Rasulullah SAW yang selalu terarah kepada Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat: “Pada hari itu, wajah-wajah berseri-seri memandang kepada Tuhannya” (QS. al-Qiyamah: 22-23).

Ayat ini menunjukkan bahwa bukan mata lahir yang melihat Tuhan, melainkan wajah, yang diartikan sebagai mata batin. Mata fisik manusia hanya dapat melihat benda-benda material, sedangkan Allah adalah Zat yang tidak berbentuk dan tidak dapat ditangkap oleh penglihatan fisik, baik di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Ayat ini, dalam pandangan kelompok Asyariah, menegaskan bahwa sebagian orang di Hari Kiamat dapat melihat Allah, tetapi penglihatan ini tidak melalui mata fisik, melainkan melalui pandangan batin yang didukung oleh iman yang kuat. Allah SWT berfirman, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan; Dia Mahahalus, Mahateliti” (QS. al-An’am: 103).

Hati adalah alat untuk melihat Tuhan, tetapi hati yang tidak terhubung dengan kebenaran bisa menjadi buta. Allah SWT menegaskan bahwa mata orang-orang kafir tidaklah buta, tetapi hati merekalah yang buta (QS. al-Hajj: 46). Imam Ali bin Abi Thalib AS berkata, “Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.” Namun, beliau menekankan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata fisik, melainkan dengan hati yang dipenuhi iman.

Rasulullah SAW juga berkata, “Ketika aku mikraj, aku melihat hakikat Ilahi yang lebih besar dari empat ribu kata yang diterima oleh Musa AS.” Pengalaman ini sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran dan menunjukkan bahwa siapa pun yang telah mencapai Allah (liqa Allah) lebih mudah mencapai kesempurnaan (kamal) yang ada di bawahnya. Orang-orang Yahudi akhirnya mengakui kebenaran dan kekuatan argumen Rasulullah SAW, karena apa yang beliau sampaikan didukung oleh kitab-kitab samawi.

Seorang ulama Yahudi kemudian mencoba menguji Rasulullah SAW lagi, dengan berkata, “Nabi Nuh AS lebih baik darimu karena ia menyelamatkan umatnya dengan bahtera dan berlabuh di Gunung Judi. Engkau tidak memiliki keutamaan seperti itu.” Rasulullah SAW menjawab, “Allah telah memberiku telaga dari kaki Arsy (såq Arsy) yang dijaga oleh malaikat. Telaga ini penuh dengan cahaya dan tanahnya terbuat dari misk (kasturi) putih. Umatku akan mendatanginya, dan mereka tidak akan pernah haus lagi.”

Telaga ini, yang disebut Kautsar, lebih baik dari bahtera Nuh AS karena dapat menyelamatkan manusia dari segala cobaan dunia dan akhirat. Telaga Kautsar adalah sumber ilmu bagi umat manusia. Siapa saja yang ingin mencapai Kautsar ini harus berpegang teguh pada Al-Quran dan itrah Ahlulbait Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang sangat berharga: Kitab Allah dan Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga mereka sampai kepadaku di Telaga Kautsar.”

Al-Quran dan Ahlulbait merupakan dua sumber yang saling melengkapi, seperti sungai yang mengalir menuju telaga yang sama. Siapa pun yang tidak meminum dari telaga ini tidak akan pernah merasa puas. Manusia yang terikat pada dunia seperti orang yang kehausan; meskipun minum, mereka akan terus merasa dahaga. Air segar yang memuaskan hanya bisa didapatkan dari telaga Kautsar, yang dalam perspektif Ilahi merupakan ilmu dan amal saleh.

Dahaga yang sebenarnya berasal dari fitrah manusia yang selalu merindukan kebenaran. Kebutuhan terhadap benda-benda duniawi hanyalah dahaga yang palsu. Mereka yang tidak bisa mencapai Kautsar akan kesulitan masuk ke surga, karena surga adalah tempat ketenangan jiwa. Sebaliknya, penghuni neraka tidak akan pernah merasa tenteram, bahkan mereka berharap kematian bisa mengakhiri penderitaan mereka, sebagaimana difirmankan dalam QS. al-Haqqah: 27 dan QS. az-Zumar: 42.

Rasulullah SAW kemudian menyatakan, “Nabi Nuh AS hanya diikuti oleh sedikit orang, ‘Tidak ada yang beriman kepadanya kecuali hanya sedikit’ (QS. Hud: 40), sedangkan aku akan diikuti oleh umat yang sangat banyak, ‘Mereka masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong’ (QS. an-Nashr: 2). Pada saat Imam Mahdi muncul, Islam akan menguasai seluruh dunia.”

Ibnu Arabi menjelaskan bahwa kegagalan dakwah Nabi Nuh AS disebabkan karena beliau hanya mengajarkan konsep tanzih, yaitu menafikan segala bentuk keserupaan Tuhan dengan makhluk. Kaumnya terperangkap dalam konsep ini dan tidak dapat memahami aspek tasybih, yaitu kemiripan Tuhan dengan ciptaan dalam sifat-sifat tertentu. Rasulullah SAW berhasil karena beliau menggabungkan kedua sifat tersebut, mengajarkan keseimbangan antara keagungan (Jalaliyah) dan keindahan (Jamaliyah) Allah.

Maqam Rasulullah SAW lebih tinggi dari maqam para nabi sebelumnya, karena beliau menyatukan tanzih dan tasybih. Ini adalah bukti bahwa beliau mendapatkan pertolongan dan inayah langsung dari Allah, meskipun tidak semua umat memiliki kematangan untuk menerima pencerahan ini.

Disadur dari buku karya Ayatullah Jawadi Amuli- Nabi SAW dalam Al-Quran

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT