Dunia hari ini tengah berada di titik jenuh. Krisis demi krisis muncul silih berganti: ketidakpastian ekonomi, kehampaan spiritual, jurang ketimpangan yang semakin lebar, runtuhnya kepercayaan pada sistem global, hingga kelelahan kolektif umat manusia yang merasa hidup tanpa arah. Banyak orang merasakan bahwa dunia seolah berputar tanpa tujuan, bahwa peradaban yang dibangun atas nama kemajuan justru membawa manusia menjauh dari kebahagiaan sejati.
Diskursus dominan yang selama ini membentuk wajah dunia modern—yakni materialisme, sekularisme, dan kapitalisme global—gagal menjawab kegelisahan manusia kontemporer. Mereka menawarkan kenyamanan, namun tidak menghadirkan makna. Mereka menjanjikan kebebasan, namun melahirkan keterasingan. Mereka membanggakan kemajuan, tetapi tak mampu menjamin keadilan. Akibatnya, manusia modern seperti kehilangan kompas moral dan spiritual. Di tengah dunia yang gemerlap, ia justru merasa hampa dan terluka.
Dalam situasi seperti ini, sejarah mengajarkan bahwa manusia akan mencari diskursus baru. Ia akan merindukan suara-suara yang menawarkan bukan hanya solusi teknis, tetapi arah hidup yang utuh. Dan di antara suara yang menggugah itu, seruan Imam Khomeini muncul sebagai cahaya yang menembus kabut zaman.
Diskursus Imam Khomeini: Menghidupkan Kembali Martabat Manusia
Imam Khomeini bukan hanya seorang pemimpin revolusi. Ia adalah pelopor sebuah diskursus peradaban yang berbeda dari dunia dominan. Ketika dunia terjebak dalam dikotomi Timur-Barat, Imam Khomeini melangkah ke luar dari kurungan geopolitik dan membentuk jalan ketiga—jalan spiritualitas, perlawanan, dan keadilan. Ia menyuarakan bahwa revolusi bukan semata perubahan politik, tetapi kebangkitan spiritual manusia. Ia menyatukan Islam sebagai agama transenden dengan realitas politik, ekonomi, dan sosial umat manusia.
Apa yang beliau tawarkan bukan sekadar untuk Iran, melainkan untuk semua manusia yang tertindas, tercerabut dari akar maknanya, dan merindukan hidup yang bermartabat. Diskursus Imam Khomeini dapat menjadi titik balik bagi dunia hari ini karena beberapa alasan utama:
1. Perlawanan terhadap Penindasan Global
Dalam dunia yang dikendalikan oleh kekuatan besar yang mengeksploitasi bangsa-bangsa lemah, Imam Khomeini mengajarkan muqawamah—perlawanan sebagai jalan hidup. Perlawanan yang beliau maksud bukan hanya angkat senjata, tetapi sikap tegas dalam menolak dominasi, penindasan, dan ketidakadilan dalam bentuk apa pun. Ia menyerukan agar umat Islam dan seluruh bangsa merdeka menolak ketergantungan politik, budaya, dan ekonomi terhadap kekuatan imperialis.
Baginya, merdeka berarti berdiri di atas kaki sendiri dengan kehormatan, dan menolak tunduk kepada kepentingan asing. Inilah makna kebebasan sejati: bukan bebas untuk menindas, melainkan bebas dari penindasan. Seruan ini tak hanya relevan untuk bangsa tertindas, tetapi juga untuk masyarakat modern yang dikungkung oleh sistem yang menindas secara halus—melalui utang, manipulasi media, hingga ideologi konsumerisme.
2. Keadilan sebagai Fondasi Peradaban
Imam Khomeini menjadikan keadilan sebagai poros perjuangannya. Keadilan, menurutnya, adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya: menolak kezaliman dan membela yang tertindas, menghancurkan korupsi dan menegakkan kebenaran. Ia menolak sistem yang mengistimewakan segelintir elit dan melupakan kaum papa.
Dunia saat ini, yang dikuasai oleh kekuatan pasar dan jaringan oligarki global, justru semakin menjauh dari keadilan. Keadilan dalam pandangan Imam Khomeini tidak bisa dicapai dengan jargon-jargon demokrasi semata, tetapi melalui kesadaran spiritual dan perjuangan nyata untuk membela hak-hak manusia yang diinjak. Ia ingin membangun dunia di mana tidak ada lagi kelas penghisap dan kelas yang terhisap, dunia di mana nilai luhur mengalahkan kepentingan materi.
3. Model Kepemimpinan yang Mengakar pada Rakyat dan Nilai Ilahiah
Berbeda dengan model demokrasi liberal yang sekadar menempatkan rakyat sebagai pemilih pasif dalam sistem yang digerakkan oleh elite, Imam Khomeini mengusulkan model pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pelaku aktif dalam membentuk masyarakat. Melalui konsep Wilayat al-Faqih, beliau menggagas kepemimpinan yang menggabungkan legitimasi rakyat dengan panduan moral dan spiritual Islam.
Ia menolak dikotomi antara agama dan politik. Baginya, agama harus hadir dalam kehidupan nyata, membimbing manusia menuju kesempurnaan, bukan hanya sebagai ritual kosong. Pemerintahan dalam pandangan beliau bukan sekadar alat kekuasaan, tetapi wasilah untuk melayani rakyat dan menegakkan nilai-nilai Tuhan di bumi.
Diskursus bagi Manusia Global yang Terasing
Manusia modern hari ini, yang hidup dalam tekanan sistem kapitalisme global, teknologi yang melenakan, dan kesibukan tanpa arah, sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan rakyat Iran sebelum revolusi. Mereka sama-sama merasa dikhianati oleh sistem yang mereka percaya. Sama-sama mencari arti hidup yang lebih dari sekadar konsumsi dan hiburan. Maka seperti rakyat Iran menemukan jalan dalam diskursus Imam Khomeini, dunia hari ini pun berpeluang besar menemukan pencerahan yang sama.
Pesan Imam Khomeini bukan ajakan untuk kembali ke masa lalu, melainkan ajakan untuk melangkah menuju masa depan yang lebih manusiawi. Diskursus ini tidak berbicara tentang negara tertentu, tetapi tentang manusia universal—manusia yang merindukan keadilan, martabat, dan hubungan sejati dengan Tuhan.
Penutup: Seruan untuk Menyambut Revolusi Spiritual Global
Di tengah kegelapan zaman, Imam Khomeini tidak datang dengan senjata, tetapi dengan visi. Ia tidak menawarkan slogan kosong, tetapi jalan hidup. Dan hari ini, ketika dunia diliputi kebingungan dan kehilangan arah, suara beliau semakin relevan.
Inilah saatnya kita membuka kembali lembaran sejarah, bukan untuk nostalgia, tetapi untuk mengambil pelajaran. Dunia tidak perlu tunduk pada tatanan global yang rapuh. Dunia tidak harus menyerah pada peradaban yang kehilangan jiwanya. Dunia bisa bangkit, dengan menyambut kembali diskursus yang memuliakan manusia sebagai hamba Tuhan dan khalifah di bumi—diskursus Imam Khomeini.
Sumber: Khamenei.ir