Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menghindari Ghaflah dan Meraih Ibrah

Di antara kita, ada yang melihat peristiwa demi peristiwa berlalu seperti arus sungai—mengalir begitu saja tanpa bekas. Namun ada pula yang menatap kejadian demi kejadian itu dengan mata hati yang jernih, menjadikannya pelajaran hidup, bahkan peta perjalanan menuju hakikat. Di sinilah letak perbedaan antara ibrah dan ghaflah.

Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, seorang filsuf dan arif besar dari Qom, menyingkapkan rahasia ini dalam salah satu nasihat abadi beliau: bahwa hidup adalah madrasah, dan setiap peristiwa adalah lembaran yang bisa dibaca oleh hati yang terjaga. Namun, yang menjadi masalah besar bukan kurangnya pelajaran, melainkan tidur panjang kesadaran yang kita kenal sebagai ghaflah.

Ibrah: Ketajaman Mata Batin

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah itu terdapat pelajaran (ibrah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Yusuf: 111). Kata ibrah tidak sekadar berarti mengambil pelajaran, melainkan mengalirkan makna dari satu dimensi ke dimensi lain—dari dunia indrawi ke hakikat batin, dari fenomena ke makna.

Seorang mukmin, kata Ayatullah Misbah, bukanlah sekadar pencatat sejarah. Ia adalah penafsir makna kehidupan. Setiap kematian yang ia saksikan, setiap bencana yang menimpa manusia, setiap aib yang menelanjangi seorang pemimpin zalim, adalah seruan bagi hatinya untuk bertanya: “Apa yang sedang Allah ajarkan padaku?”

Namun, untuk sampai pada tahap itu, hati kita harus bersih dari karat. Ia harus lembut, lapang, dan bebas dari kesombongan. Sebab orang yang sombong tidak belajar dari siapa pun, dan orang yang keras hatinya tidak peka terhadap isyarat Tuhan.

Ghaflah: Lupa yang Membinasakan

Sebaliknya, ghaflah adalah keadaan manusia yang lupa. Tapi bukan lupa biasa—melainkan lupa eksistensial. Lupa akan siapa dirinya, ke mana ia akan kembali, dan untuk apa ia diciptakan. Ini adalah penyakit yang jauh lebih berbahaya dari sekadar tidak tahu, karena orang yang tidak tahu masih mungkin belajar. Tapi orang yang lalai—ia bahkan tak sadar bahwa ia sedang dalam bahaya.

Ghaflah bisa menjangkiti siapa saja: pemuda yang tenggelam dalam hiburan, pebisnis yang terhanyut dalam keuntungan, bahkan penuntut ilmu yang sibuk dengan teks tapi lupa akan maksud spiritualnya. Inilah mengapa Imam Ali as berkata, “Orang yang lalai tidak akan selamat, meski ia tampak alim.”

Ayatullah Misbah memperingatkan bahwa musuh terbesar manusia bukan hanya syahwat, bukan hanya setan luar, tapi juga setan dalam diri yang bernama ghaflah. Ia membungkus maksiat dengan kelalaian, membiarkan hati kehilangan sensitivitas terhadap kebenaran, dan membuat kita tidak lagi tersentuh oleh tangisan anak yatim, kesyahidan para wali, atau azan yang memanggil dengan merdu.

Antara Dua Kutub: Perjuangan Hati

Perjalanan spiritual manusia adalah pergulatan abadi antara ibrah dan ghaflah. Kita bisa duduk dalam majelis pengajian, tetapi hati kita melayang ke dunia luar. Kita bisa menatap jenazah, tetapi pikiran kita sibuk memikirkan warisan. Kita bisa mendengar ayat-ayat Tuhan, tetapi tidak satu pun menyentuh sanubari kita.

Itulah mengapa para arif besar, termasuk Ayatullah Misbah, menekankan pentingnya muhasabah (evaluasi diri). Sebab muhasabah adalah cara menyadarkan diri sebelum disadarkan secara paksa oleh kematian. Ia adalah latihan untuk membangunkan hati dari kelalaiannya.

Pelajaran dari Karbala

Mari kita lihat Karbala—bukankah peristiwa itu seharusnya mengguncang nurani siapa pun? Tapi mengapa ada orang yang melihatnya hanya sebagai kisah tragis sejarah, dan bukan seruan untuk membela kebenaran dalam hidupnya?

Imam Husain as adalah mercusuar ibrah. Darah beliau adalah tinta yang menuliskan pelajaran hidup tentang keberanian, kesetiaan, dan cinta kepada Allah. Namun jika kita tidak menghayatinya, maka kita tidak lebih dari penonton yang lalai—dan itu berarti kita sedang sakit, terkena ghaflah.

Ayatullah Misbah menekankan bahwa mengenang Karbala tanpa mengambil ibrah adalah ironi besar. Sebaliknya, jika setiap air mata kita di majelis asyura mengalirkan makna ke dalam perilaku dan tekad kita, maka itu adalah tanda hati yang hidup.

Menyambut Cahaya

Ada satu rahasia yang jarang disadari: bahwa mengambil ibrah bukan hanya soal kemampuan intelektual, tetapi kesiapan spiritual. Hanya hati yang bersih, jujur, dan rindu kepada Allah yang dapat menangkap makna di balik peristiwa.

Maka, marilah kita bersihkan hati kita dengan istighfar, muhasabah, dan zikir. Mari duduk sejenak dalam diam dan merenungi hari-hari kita: adakah kita hidup dengan kesadaran atau hanya mengikuti arus? Adakah kita menangis karena Allah, atau hanya karena dunia?

Penutup: Jalan Kembali

“Dari ibrah hingga ghaflah” bukan sekadar bab dalam buku, tapi perjalanan nyata kita setiap hari. Kita bisa bangun pagi dengan hati yang peka, tapi tertidur malam dalam kelalaian. Kita bisa tersentuh oleh khutbah Jumat, tapi lupa isinya setelah makan siang.

Namun kabar baiknya: Allah selalu membuka pintu bagi yang ingin kembali. Dan para arif, seperti Ayatullah Misbah Yazdi, adalah cahaya yang menunjukkan jalan itu—jalan menuju kesadaran, dari gelapnya ghaflah menuju terang ibrah.

Semoga setiap peristiwa dalam hidup kita menjadi jembatan menuju Tuhan, bukan tirai yang menutup-Nya. Dan semoga hati kita senantiasa terjaga, hingga saat kita dipanggil pulang, kita benar-benar siap—bukan hanya hidup, tetapi sadar.


Disarikan dari buku “22 Nasihat Abadi Penghalus Budi” karya Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi,

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.