Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menjaga Diri dari Dosa, Bahkan dari Niatnya Sekalipun

Apa yang membuat seseorang terjerumus dalam dosa? Apakah hanya perbuatannya yang nyata? Ataukah juga apa yang ia niatkan dalam hati?

Islam tidak hanya memandang amal lahiriah semata, melainkan juga membina dimensi batin manusia—dari akar segala tindakan: niat. Karena dari niatlah semua kebaikan atau keburukan berawal. Sebuah dosa bisa dimulai dari pikiran kecil yang dibiarkan berkembang tanpa kendali. Sebaliknya, sebuah amal besar bisa tumbuh dari niat yang ikhlas, meski tidak jadi dilaksanakan.

Imam Ali a.s. dalam sebuah riwayat berkata:

“Barang siapa yang berniat melakukan kebaikan namun tidak sempat melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu pahala. Jika ia melakukannya, maka ditulis sepuluh pahala. Tapi barang siapa berniat melakukan kejahatan, lalu tidak melakukannya, maka tidak dicatat dosa atasnya. Namun jika ia melaksanakannya, maka dicatat satu dosa.”
(Nahj al-Balaghah, hikmah 31; juga diriwayatkan dalam al-Kāfī, jilid 2, hlm. 435)

Inilah keadilan dan kemurahan Allah. Kebaikan dilipatgandakan, keburukan dihitung satu. Bahkan niat baik yang gagal dilakukan pun tetap mendapat pahala.

Namun para ulama akhlak memperingatkan bahwa jika niat buruk disertai dorongan kuat, disimpan lama dalam hati, dan dibayangkan dengan kerelaan, maka itu sudah menjadi racun batin. Meski tidak dihukum secara fikih, namun secara akhlaki, ia melemahkan jiwa.

Mengapa? Karena jiwa manusia, jika terlalu sering memelihara niat buruk tanpa perlawanan, akan kehilangan sensitivitas terhadap dosa. Ibarat seseorang yang hidup di dekat tempat pembuangan sampah, lama-lama ia terbiasa dan tak lagi merasa jijik.

Al-Qur’an pun memberi peringatan keras. Firman Allah:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. ar-Rum: 41)

“Apa pun musibah yang menimpa kalian adalah akibat dari apa yang dilakukan oleh tangan kalian sendiri.” (QS. asy-Syūrā: 30)

Lebih berat lagi, Allah memperingatkan bahwa dosa yang dilakukan terus-menerus akan melingkupi hati:

“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan telah menutupi hati mereka.” (QS. al-Muthaffifīn: 14)

Jika hati sudah tertutup, maka hidayah tak akan menembusnya. Inilah awal dari kehancuran. Rasulullah saw pernah bersabda:

“Zina mendatangkan enam bencana: tiga di dunia dan tiga di akhirat. Di dunia: menghilangkan cahaya wajah, membawa kefakiran, dan mempercepat ajal. Di akhirat: mendatangkan murka Tuhan, hisab yang berat, dan kekekalan di neraka.” (Wasā’il al-Syi’ah, jilid 14, hlm. 246)

Dosa-dosa besar seperti zina, kebohongan, pencurian, dan sebagainya, sering kali dimulai dari sebuah niat yang dibiarkan tumbuh. Imam Ali a.s. berkata:

“Buah dari kebohongan adalah kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.” (Ghurar al-Hikam, hadis no. 9445)

Seorang pencuri tidak serta-merta mencuri. Ia lebih dulu menimbang, membayangkan, menakar risiko. Bila saat itu ia punya kesadaran akan pengawasan Allah, mungkin ia akan berhenti. Maka kesadaran batin itu adalah benteng paling kuat.

Islam membangun benteng itu lewat rasa malu dan takut kepada Allah, bukan hanya takut kepada hukuman manusia. Maka seseorang yang menjaga dirinya bukan karena takut kamera CCTV, tapi karena tahu bahwa Allah Maha Melihat, dialah mukmin sejati.

Dalam kisah-kisah orang saleh, kita temukan banyak contoh orang yang menang melawan niat buruk dalam hatinya.

Salah satunya adalah seorang pandai besi. Ia dikenal ahli dalam pekerjaannya, tapi suatu hari, ia tergoda oleh seorang wanita miskin yang meminta bantuannya. Pandai besi itu ingin menyentuh wanita itu dengan maksud hina. Tapi wanita itu berkata dengan tenang:

“Tidakkah kau takut pada Allah?”

Kalimat itu bagai kilat yang menyambar hatinya. Ia terdiam. Nafsu itu lenyap. Ia pun segera menunduk, lalu memberi wanita itu bantuan dengan penuh hormat dan mengantarnya pulang tanpa menyentuhnya.

Malam harinya, ia bermimpi. Dalam mimpi itu, wanita tersebut datang dalam cahaya yang terang, berpakaian indah. Ia berkata:

“Aku adalah keturunan Rasulullah. Karena engkau menahan dirimu demi Allah, maka Allah telah menyelamatkanmu dari api dunia dan api akhirat.”

Sejak saat itu, sang pandai besi tak lagi merasa panas saat menyentuh logam membara. Ia tetap bekerja seperti biasa, tapi tangannya seolah dilindungi dari panas. Ketika ditanya orang, ia menjawab:

“Aku berharap, sebagaimana Allah melindungiku dari api dunia, Dia juga akan melindungiku dari api neraka.”

Kisah ini meski sederhana, menyimpan pelajaran besar: bahwa pertarungan terbesar manusia sering terjadi dalam batin, jauh sebelum perbuatan lahiriah muncul. Menang dalam pertempuran itu adalah kemenangan yang tak terlihat manusia, tapi sangat berharga di sisi Allah.

Lalu bagaimana dengan kita?


Disarikan dari buku “Akibat Dosa: Makna dan Pengaruhnya atas Kehidupan Manusia” – Sayyid Hasyim Ar-Rasuli AI-Mahallati

Apa yang membuat seseorang terjerumus dalam dosa? Apakah hanya perbuatannya yang nyata? Ataukah juga apa yang ia niatkan dalam hati?

Islam tidak hanya memandang amal lahiriah semata, melainkan juga membina dimensi batin manusia—dari akar segala tindakan: niat. Karena dari niatlah semua kebaikan atau keburukan berawal. Sebuah dosa bisa dimulai dari pikiran kecil yang dibiarkan berkembang tanpa kendali. Sebaliknya, sebuah amal besar bisa tumbuh dari niat yang ikhlas, meski tidak jadi dilaksanakan.

Imam Ali a.s. dalam sebuah riwayat berkata:

“Barang siapa yang berniat melakukan kebaikan namun tidak sempat melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu pahala. Jika ia melakukannya, maka ditulis sepuluh pahala. Tapi barang siapa berniat melakukan kejahatan, lalu tidak melakukannya, maka tidak dicatat dosa atasnya. Namun jika ia melaksanakannya, maka dicatat satu dosa.”
(Nahj al-Balaghah, hikmah 31; juga diriwayatkan dalam al-Kāfī, jilid 2, hlm. 435)

Inilah keadilan dan kemurahan Allah. Kebaikan dilipatgandakan, keburukan dihitung satu. Bahkan niat baik yang gagal dilakukan pun tetap mendapat pahala.

Namun para ulama akhlak memperingatkan bahwa jika niat buruk disertai dorongan kuat, disimpan lama dalam hati, dan dibayangkan dengan kerelaan, maka itu sudah menjadi racun batin. Meski tidak dihukum secara fikih, namun secara akhlaki, ia melemahkan jiwa.

Mengapa? Karena jiwa manusia, jika terlalu sering memelihara niat buruk tanpa perlawanan, akan kehilangan sensitivitas terhadap dosa. Ibarat seseorang yang hidup di dekat tempat pembuangan sampah, lama-lama ia terbiasa dan tak lagi merasa jijik.

Al-Qur’an pun memberi peringatan keras. Firman Allah:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. ar-Rum: 41)

“Apa pun musibah yang menimpa kalian adalah akibat dari apa yang dilakukan oleh tangan kalian sendiri.” (QS. asy-Syūrā: 30)

Lebih berat lagi, Allah memperingatkan bahwa dosa yang dilakukan terus-menerus akan melingkupi hati:

“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan telah menutupi hati mereka.” (QS. al-Muthaffifīn: 14)

Jika hati sudah tertutup, maka hidayah tak akan menembusnya. Inilah awal dari kehancuran. Rasulullah saw pernah bersabda:

“Zina mendatangkan enam bencana: tiga di dunia dan tiga di akhirat. Di dunia: menghilangkan cahaya wajah, membawa kefakiran, dan mempercepat ajal. Di akhirat: mendatangkan murka Tuhan, hisab yang berat, dan kekekalan di neraka.” (Wasā’il al-Syi’ah, jilid 14, hlm. 246)

Dosa-dosa besar seperti zina, kebohongan, pencurian, dan sebagainya, sering kali dimulai dari sebuah niat yang dibiarkan tumbuh. Imam Ali a.s. berkata:

“Buah dari kebohongan adalah kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.” (Ghurar al-Hikam, hadis no. 9445)

Seorang pencuri tidak serta-merta mencuri. Ia lebih dulu menimbang, membayangkan, menakar risiko. Bila saat itu ia punya kesadaran akan pengawasan Allah, mungkin ia akan berhenti. Maka kesadaran batin itu adalah benteng paling kuat.

Islam membangun benteng itu lewat rasa malu dan takut kepada Allah, bukan hanya takut kepada hukuman manusia. Maka seseorang yang menjaga dirinya bukan karena takut kamera CCTV, tapi karena tahu bahwa Allah Maha Melihat, dialah mukmin sejati.

Dalam kisah-kisah orang saleh, kita temukan banyak contoh orang yang menang melawan niat buruk dalam hatinya.

Salah satunya adalah seorang pandai besi. Ia dikenal ahli dalam pekerjaannya, tapi suatu hari, ia tergoda oleh seorang wanita miskin yang meminta bantuannya. Pandai besi itu ingin menyentuh wanita itu dengan maksud hina. Tapi wanita itu berkata dengan tenang:

“Tidakkah kau takut pada Allah?”

Kalimat itu bagai kilat yang menyambar hatinya. Ia terdiam. Nafsu itu lenyap. Ia pun segera menunduk, lalu memberi wanita itu bantuan dengan penuh hormat dan mengantarnya pulang tanpa menyentuhnya.

Malam harinya, ia bermimpi. Dalam mimpi itu, wanita tersebut datang dalam cahaya yang terang, berpakaian indah. Ia berkata:

“Aku adalah keturunan Rasulullah. Karena engkau menahan dirimu demi Allah, maka Allah telah menyelamatkanmu dari api dunia dan api akhirat.”

Sejak saat itu, sang pandai besi tak lagi merasa panas saat menyentuh logam membara. Ia tetap bekerja seperti biasa, tapi tangannya seolah dilindungi dari panas. Ketika ditanya orang, ia menjawab:

“Aku berharap, sebagaimana Allah melindungiku dari api dunia, Dia juga akan melindungiku dari api neraka.”

Kisah ini meski sederhana, menyimpan pelajaran besar: bahwa pertarungan terbesar manusia sering terjadi dalam batin, jauh sebelum perbuatan lahiriah muncul. Menang dalam pertempuran itu adalah kemenangan yang tak terlihat manusia, tapi sangat berharga di sisi Allah.

Lalu bagaimana dengan kita?


Disarikan dari buku “Akibat Dosa: Makna dan Pengaruhnya atas Kehidupan Manusia” – Sayyid Hasyim Ar-Rasuli AI-Mahallati

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.