Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menjaga Makna Asyura: Imam Sajjad dan Tugas Berat Pasca Syahadah

Pasca tragedi Karbala yang mengguncang langit dan bumi, yang menyayat hati setiap pencinta kebenaran, dunia menyaksikan satu-satunya lelaki dewasa yang tersisa dari keluarga Rasulullah: Ali bin Husain, Zainul Abidin. Tubuh beliau lemah karena sakit, langkahnya dibebani rantai tawanan, namun hatinya memikul misi seberat langit: menyelamatkan Islam dari kehancuran.

Ayatullah Udzma Sayyid Ali Khamenei menegaskan: “Imam Sajjad berdiri seorang diri untuk mencegah kehancuran agama.” Kalimat ini bukan sekadar penghormatan historis, tetapi penegasan akan makna besar yang harus direnungkan oleh setiap hati yang ingin memahami kelanjutan misi Karbala.

Karbala Tak Selesai di Padang Karbala

Perjalanan Imam Sajjad pasca tragedi Ashura bukanlah pelarian dari kekalahan, melainkan kelanjutan jihad yang lebih panjang dan lebih sunyi. Ia bukan syahid di medan perang seperti ayahnya, tetapi syahid dalam sabar yang membara, syahid dalam luka batin yang terus menganga, dalam tangisan malam yang menyayat dan munajat yang menyala di kegelapan. Ia memikul pesan dari kepala-kepala suci yang tergantung di ujung tombak, dan menjadikan derita sebagai panji perlawanan.”

Dalam sebuah kisah menyentuh, diriwayatkan bahwa setelah kafilah tawanan Ahlulbait kembali ke Madinah, seseorang mendekati Imam Sajjad dan dengan nada menggugat berkata, “Wahai putra Rasul! Lihatlah apa yang terjadi akibat kalian pergi ke sana!” Imam menjawab tegas: “Pikirkanlah apa yang akan terjadi jika kami tidak pergi!”

Seandainya keluarga Nabi tidak melangkah menuju Karbala, mungkin tubuh-tubuh mereka akan selamat, tetapi ruh kebenaran akan sirna. Hati umat akan menjadi beku. Akal sehat akan dibungkam oleh tirani. Dan sejarah tidak akan mengenal Islam sejati. Maka, langkah ke Karbala adalah pertaruhan agung demi mempertahankan esensi agama.

Penjaga Darah Syuhada

Ayatullah Khamenei menyatakan, “Menjaga nilai dan tujuan dari darah para syuhada sama pentingnya dengan syahadah itu sendiri.” Inilah yang dilakukan oleh Imam Sajjad, Sayyidah Zainab, dan para anggota keluarga Nabi yang tersisa. Mereka tidak hanya selamat dari pedang, tetapi memikul amanah darah para syuhada — untuk menjaganya tetap bermakna, tetap hidup, dan tetap berbicara kepada umat.

Selama lebih dari tiga dekade pasca-Karbala, Imam Sajjad tidak pernah berhenti menghidupkan kesadaran umat akan tragedi agung itu. Beliau menanamkan ruh Asyura lewat untaian doa, deraian air mata, dan pendidikan akhlak yang menyentuh batin terdalam. Di bawah tekanan tirani Umawi, Imam menulis Sahifah Sajjadiyah, sebuah mahakarya spiritual yang menjadi jantung hidup Islam hakiki di tengah kegelapan. Doa-doanya bukan sekadar permohonan; ia adalah seruan perlawanan yang tersembunyi dalam bahasa langit.

Imam Sajjad juga mendidik murid-muridnya dengan sabar dan sistematis, membangun jaringan kesadaran yang tak terdeteksi oleh mata-mata rezim. Dalam senyap, beliau menyiapkan masyarakat bawah tanah — barisan ruhani yang kelak menjadi benih kebangkitan dan perlawanan.

Tanpa jihad panjang beliau, darah Imam Husain mungkin telah kering tertelan waktu. Namun, berkat keteguhan Imam Sajjad dan para Imam penerusnya, darah itu justru menjadi cahaya abadi — cahaya yang terus menyinari hati umat, membakar kesadaran, dan menyalakan lentera kebenaran di sepanjang zaman.

Mengemban Warisan Pemerintahan Syahadah

“Pemerintahan kebenaran — yakni pemerintahan syahadah — kini telah berdiri,” kata Ayatullah Khamenei merujuk pada Republik Islam Iran. Artinya, tugas menjaga darah syuhada kini diwariskan kepada kita semua. Tugas itu tidak lagi sesunyi seperti di masa Imam Sajjad, tapi justru lebih kompleks di tengah dunia yang menawarkan tipu daya dan normalisasi terhadap kebatilan.

Kita hidup di zaman ketika syahadah bukan lagi hanya tumpahan darah, tetapi keteguhan melawan arus kesesatan global. Kita adalah penerus mereka yang tidak hanya bersedih di bulan Muharram, tetapi juga bangkit melanjutkan jalan Asyura: jalan menolak kezaliman dan membela kebenaran di setiap medan zaman.

Jika Imam Sajjad Tidak Berdiri…

Renungkanlah peringatan Imam Khamenei: “Jika bukan karena upaya Imam Sajjad, syahadah Imam Husain akan sirna dan tak meninggalkan bekas.” Maka, kita pun bertanya: jika hari ini kita tidak berdiri menjaga nilai Asyura, akankah anak-anak kita masih mengenal Islam yang sejati? Akankah dunia tahu bahwa ada jalan kebenaran yang tak tunduk pada kekuasaan dan harta?

Imam Sajjad tidak memiliki pasukan. Yang beliau punya hanyalah tangisan, untaian doa, dan kesabaran tiada batas. Tapi justru itulah kekuatan sejati: kekuatan ruh yang tak bisa dibungkam oleh kekuasaan.

Menjadi Pewaris Kesunyian Imam

Kini, kesunyian Imam Sajjad berpindah ke hati setiap pencinta Ahlulbait. Kesunyian itu tidak berarti diam, tetapi keberanian untuk berkata benar dalam dunia yang mengagungkan kebohongan. Ia adalah kesetiaan tanpa sorotan, keteguhan tanpa tepuk tangan. Ia adalah air mata yang menjadi pelita.

Maka, menjadi pengikut Imam Sajjad bukan sekadar menangis di Muharram, tetapi juga memikul beban sejarah: menjaga agama agar tidak dikaburkan, membela kebenaran agar tidak ditenggelamkan, dan menghidupkan Asyura di tengah kehidupan yang semakin asing terhadap nilai-nilai ilahi.


Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.