Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menyingkap Dua Wajah Kematian

Kematian, sebuah kata yang sering kita hindari, namun ia hadir di sekitar kita tanpa pernah absen. Ia menghampiri yang muda maupun tua, yang sehat maupun sakit, yang miskin maupun kaya. Tidak ada makhluk hidup yang bisa luput dari detik itu: detik di mana napas terakhir dihembuskan, dan waktu bagi seseorang berhenti selamanya. Dunia ini menyaksikan jutaan kelahiran, namun juga menjadi saksi bagi jutaan perpisahan.

Bagi banyak orang, kematian adalah hantu paling mengerikan. Ia identik dengan kehilangan, kehampaan, dan perpisahan tanpa kepastian. Dalam benak sebagian besar manusia, hidup adalah anugerah terbesar; maka kehilangannya dianggap bencana terbesar. Tapi benarkah demikian?

Hidup yang Sementara, Mati yang Abadi

Dunia ini, seindah apa pun, tetaplah persinggahan. Ia penuh kegaduhan, hiruk-pikuk ambisi, kesenangan yang cepat berlalu, dan luka-luka yang menyakitkan. Tak ada yang tinggal abadi. Daun yang kemarin hijau, hari ini gugur. Wajah yang dulu berseri, kini menjadi keriput. Rumah, jabatan, nama besar—semuanya akan ditinggalkan. Inilah hukum dunia: segala sesuatu tunduk pada kefanaan.

Namun, apakah kehidupan ini benar-benar berhenti saat tubuh kembali menjadi tanah? Ataukah justru kehidupan yang sesungguhnya dimulai di balik tirai kematian? Pertanyaan ini bukan sekadar perenungan filsafat, tetapi panggilan dari fitrah manusia untuk mencari makna yang lebih dalam.

Jika kita percaya bahwa manusia adalah makhluk spiritual, bahwa dalam dada kita bersemayam jiwa yang luhur, maka mustahil hidup ini berhenti hanya pada detak jantung. Ada kelanjutan. Ada perjalanan. Ada kehidupan yang lebih luas, lebih sempurna, dan lebih kekal—yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Pandangan Ilahi: Kematian sebagai Perjalanan

Dalam pandangan Ilahi, manusia adalah musafir. Dunia ini hanyalah halte sementara. Kita dilahirkan, dibekali akal dan hati, lalu diperjalankan menuju tujuan besar: pertemuan dengan Tuhan. Dalam al-Qur’an, kehidupan dunia disebut sebagai “mata’ul ghurur”—kesenangan yang menipu. Artinya, jika kita larut di dalamnya tanpa kesadaran, kita akan terjebak dalam ilusi. Namun, bagi mereka yang sadar, dunia ini adalah ladang amal untuk dipanen di akhirat nanti.

Maka, kematian bukanlah akhir. Ia adalah pintu. Ia adalah jembatan antara keterbatasan dan keabadian. Ia seperti malam sebelum fajar menyingsing. Seperti kelahiran kedua yang membawa jiwa manusia ke alam yang lebih tinggi.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s. memiliki ungkapan yang menakjubkan: “Anak dunia akan lari dari kematian, sementara anak akhirat akan rindu bertemu dengannya.” Beliau sendiri, saat darah mengalir dari kepalanya karena sabetan pedang musuh dalam sujudnya, berseru, “Demi Tuhan Ka‘bah, aku telah menang!” Inilah kemenangan seorang kekasih Tuhan yang melihat kematian bukan sebagai kekalahan, melainkan titik puncak dari pengabdian.

Mengapa Kita Takut Mati?

Jika kematian adalah perjalanan suci, mengapa banyak dari kita merasa takut? Mengapa ia menjadi sumber kecemasan?

Ketakutan itu lahir karena kita hanya mengenal wajah pertama dari kematian: wajah yang dingin dan menakutkan. Kita melihat tubuh yang terbujur, air mata yang tumpah, dan liang lahat yang sunyi. Kita lupa bahwa ada wajah kedua: wajah penuh cahaya dan harapan. Ia adalah tangan kasih Ilahi yang menyambut hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

Ketakutan terhadap kematian bukan karena kematian itu sendiri, tetapi karena ketidaktahuan kita. Seperti anak kecil yang takut tidur karena tidak tahu bahwa tidur adalah istirahat dan ketenangan. Tapi bagi mereka yang berilmu, yang mengenal Tuhan, kematian bukanlah teror, melainkan pelukan hangat dari Kekasih Sejati.

Dr. Carrel, seorang pemikir modern, menyatakan bahwa agama lebih mampu menenangkan manusia dalam menghadapi kematian dibanding ilmu pengetahuan. Sains hanya berbicara tentang detak jantung, gelombang otak, dan degradasi sel. Tapi agama membicarakan jiwa, cahaya, surga, rahmat, dan kehidupan kekal.

Kisah Sahabat Imam Ali Hadi

Dalam sejarah, ada kisah indah dari Imam Ali al-Hadi a.s. Beliau menjenguk seorang sahabat yang tengah terbaring sakit dan dirundung ketakutan menjelang kematiannya. Imam berkata, “Engkau takut mati karena engkau belum mengenalnya.” Lalu beliau menggambarkan kematian seperti kolam pemandian yang membersihkan tubuh dari kotoran. Kematian, katanya, akan menyucikan ruh dari noda dunia dan membawanya ke taman surga. Mendengar penjelasan itu, sang sahabat tersenyum, lalu membungkus dirinya dengan kafan dan menyambut ajal dengan hati yang tenang.

Dimensi Rohani: Jiwa yang Hidup Meski Tubuh Mati

Manusia tidak hanya terdiri dari tubuh. Ada ruh yang membuatnya berpikir, bermimpi, mencinta, dan berkorban. Inilah dimensi kedua kehidupan—dimensi rohani. Ketika tubuh berhenti bergerak, ruh tetap hidup. Ia akan melihat buah dari amal perbuatannya. Ia akan menyaksikan siapa dirinya yang sejati.

Orang-orang yang hanya hidup untuk materi, akan menganggap mati sebagai akhir segalanya. Hidup mereka menjadi seperti mesin: bekerja, makan, tidur, lalu rusak dan dibuang. Namun, mereka yang hidup dengan kesadaran spiritual, akan memaknai hidup ini sebagai kesempatan mulia untuk mendekat kepada Tuhan.

Mereka inilah para syuhada, para pejuang kebenaran yang tidak gentar mati. Karena bagi mereka, hidup tanpa tujuan lebih menakutkan daripada kematian. Mereka mengorbankan diri demi nilai-nilai suci: keadilan, kebenaran, dan cinta kasih. Jiwa mereka tetap hidup dalam sejarah, bahkan setelah tubuh mereka hancur.

Menyambut Kematian dengan Senyuman

Kematian tidak bisa dihindari, tapi cara kita menyambutnya bisa dipilih. Kita bisa menyambutnya dengan ketakutan, atau dengan ketenangan. Kita bisa menyambutnya dengan tangis, atau dengan senyuman.

Semoga kita termasuk golongan yang menyambutnya dengan damai. Mereka yang telah mempersiapkan bekal, membersihkan hati, dan merindukan pertemuan dengan Sang Maha Pengasih. Mereka yang yakin bahwa dunia hanyalah penjara sementara, dan kematian adalah pintu menuju kebebasan abadi.

Sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur’an:

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.”
(QS. Al-Fajr: 27–30)


Disarikan dari buku “Alam Baka dan Hari Kebangkitan” karya Sayid Mujtaba Musawi Lari

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.