Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menyingkap Hikmah Kepemimpinan Ahlulbait dalam Gelombang Fitnah

Di antara halaman sejarah Islam yang paling getir adalah keluhan Imam Ali bin Abi Thalib as terhadap umat yang dipimpinnya. Keluhan itu bukan lahir dari kelemahan, melainkan dari kedalaman hikmah dan kejernihan seorang pemimpin suci yang dipaksa menyaksikan bagaimana umat terperosok ke dalam kepicikan, manipulasi, dan kebutaan politik. Ketika beliau berkata, “Wahai kaum yang menyerupai lelaki tetapi bukan lelaki…”, itu bukan makian, tetapi jeritan seorang Imam yang menampung luka besar peradaban.

Tulisan ini mencoba menghadirkan kembali konteks keluhan itu—bukan sekadar sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai cermin zaman. Kita mengkaji bagaimana keberanian, strategi, dan kepemimpinan Imam Ali diselewengkan oleh propaganda Umawi, serta bagaimana tragedi ini akhirnya mengantarkan Imam Husain menuju Karbala demi membangunkan umat dari tidur panjangnya.


Keluhan Imam Ali: Luka dari Umat Sendiri

Di antara ungkapan paling pedih yang diriwayatkan dari beliau adalah:

“Demi Allah! Kalian telah memenuhi hatiku dengan nanah… dan merusak pandanganku dengan kemaksiatan dan kehinaan.”
Mara’li al-Sibthain, hlm. 66

Imam Ali menggambarkan betapa beratnya memimpin masyarakat yang tidak memahami arah perjuangan. Mereka tampak bertenaga, tetapi lemah jiwa; mereka hadir secara fisik, tetapi mati secara kesadaran.

Sebagian mereka menuduh bahwa Imam Ali tidak memahami strategi perang. Dalam konteks inilah, beliau menjawab dengan tegas:

“Sebelum umur 20 tahun aku telah memimpin peperangan. Hingga kini lebih dari 40 pertempuran kulalui.”
Bihar al-Anwar, hlm. 17

Namun pengalaman perang bukanlah jaminan bahwa para pengikut siap menaati pemimpinnya. Masalah terbesar Imam Ali bukan kurangnya keberanian umat, tetapi kurangnya ketaatan dan kedewasaan politik.


Keberanian dan Kepemimpinan: Dua Hal yang Berbeda

Imam Ali membedakan dengan jelas antara keberanian individu dan kemampuan mengelola pasukan. Dua hal ini tidak selalu dimiliki oleh orang yang sama.

Dalam perang modern sekalipun, kita mengenal pasukan pendobrak yang gagah berani, siap menghantam barisan musuh, tetapi tidak otomatis mampu memimpin strategi besar. Begitu pula pada masa Imam Ali. Beliau berkata bahwa sebagian orang mungkin gagah berani, tetapi tidak memahami susunan organisasi militer dan tidak pantas memimpin.

Di sinilah letak manipulasi kaum Umawi. Mereka tahu tidak mungkin menuduh Imam Ali pengecut. Maka mereka memutar isu: “Ali berani, tetapi tidak cakap mengatur pasukan.”

Narasi ini kemudian disebarkan secara sistematis untuk merusak wibawa kepemimpinan beliau.


Fitnah Umawi dan Politik Pembodohan

Mengapa kaum Umawi begitu terobsesi meruntuhkan reputasi Imam Ali?

Karena keberanian Imam Ali adalah bukti keunggulan moral Ahlulbait. Sementara Dinasti Umawi berdiri di atas tipu daya, suap, dan politik pembodohan. Sebuah contoh klasik manipulasi mereka adalah ketika Mu‘awiyah memerintahkan rakyat Syam mendirikan salat Jumat pada hari Kamis.

Ini adalah simbol propaganda: membuat rakyat terbiasa menerima kebodohan seakan-akan itu adalah kebenaran.

Di tengah arus manipulasi inilah Imam Ali berkata kepada Mu‘awiyah dalam suratnya:

“Anda berbicara tentang Allah dan al-Qur’an, padahal Anda tidak punya hubungan dengan semua itu.”
Nahj al-Balaghah, khutbah 27

Beliau mengibaratkan Mu‘awiyah seperti orang yang mengirim kurma ke kota Hajar—kota penghasil kurma terbesar—sebuah sindiran bagi orang yang tidak sadar akan kebodohannya sendiri.


Imam Hasan dan Husain: Dua Kondisi, Satu Keberanian

Salah satu tema penting dalam sejarah adalah perbedaan tindakan antara Imam Hasan dan Imam Husain. Sebagian orang keliru menilai bahwa Imam Hasan memilih perjanjian damai karena kurang keberanian, sementara Imam Husain memilih perang karena keberaniannya lebih besar.

Padahal kedua Imam ini berasal dari sumber keberanian yang sama. Perbedaannya adalah situasi politik.

  • Pada masa Imam Hasan, kekuatan Umawi masih membungkus dirinya dengan topeng Islam. Maka maslahat umat saat itu adalah meredam fitnah untuk menyelamatkan inti ajaran.
  • Pada masa Imam Husain, topeng itu sudah jatuh. Kekuasaan telah diwariskan secara zalim kepada Yazid, sosok fasiq yang menari di atas mimbar Rasulullah. Maka maslahat saat itu adalah membuka kedok kezaliman dengan darah suci.

Karenanya, Imam Ali pernah berkata:

“Adalah zalim bila aku membiarkan anak-anakku berperang.”

Tetapi Imam Husain berkata:

“Kondisinya mengharuskan anak-anakku berperang.”

Dua keputusan berbeda, tetapi keduanya lahir dari satu cahaya: maslahat ilahi.


Strategi Karbala: Kepemimpinan di Puncak Pengorbanan

Imam Husain as memasuki Karbala dengan kesadaran penuh bahwa tujuannya bukan kemenangan militer, tetapi kemenangan moral. Meski demikian, setiap langkahnya menunjukkan kecermatan strategi. Beliau merapatkan tenda-tenda agar pasukan kecilnya terlindungi, lalu menggali parit di belakang dan menyalakannya malam Asyura untuk mencegah musuh mengepung. Dengan itu, medan tempur dipersempit menjadi satu arah yang lebih mudah dipertahankan.

Pada malam Asyura, Imam memadamkan lampu tenda dan menawarkan para sahabat untuk pergi. Tidak seorang pun meninggalkannya—tanda bahwa kepemimpinan beliau tidak dibangun atas tekanan, tetapi cinta dan keyakinan. Esoknya, beliau menata pasukan kecilnya dalam formasi sederhana namun efektif, menunjukkan bahwa setiap detik menuju syahadah tetap ditempuh dengan perhitungan.

Di balik tenda, Sayyidah Zainab dan Imam Sajjad menjaga keteguhan keluarga Nabi. Ketika api berkobar di belakang tenda, anak-anak berlari kepada Zainab; dan kepada mereka Imam Sajjad berkata, “Jangan menjadi orang yang lari dari medan”—sebuah ajaran untuk menjaga martabat, bukan mengangkat senjata.

Setelah Imam Husain syahid, tampak bahwa seluruh langkahnya—ikhtiar tempur, penguatan moral sahabat, dan persiapan Ahlulbait—adalah satu strategi besar untuk menyelamatkan agama. Kemenangan Karbala bukan di medan pedang, tetapi di hati umat yang tersadar oleh pengorbanannya.


Menghidupkan al-Qur’an dan al-‘Itrah

Setelah Imam Ali dan Imam Hasan syahid, Umawi berusaha menghapus jejak Ahlulbait dari kehidupan umat. Nama al-Qur’an dan al-‘Itrah menjadi asing. Mereka ingin agama tinggal sebagai simbol kosong, sementara kekuasaan berada di tangan mereka.

Karena itu, Imam Husain berkata:

“Aku keluar bukan untuk membuat kerusakan, tetapi untuk menghidupkan agama kakekku.”

Dan inilah inti kata-kata Imam Khomeini:

“Untuk menghidupkan al-Qur’an dan al-‘Itrah, kita harus memahami al-Qur’an secara bersama-sama.”

Persatuan, dalam perspektif ulama Syiah, bukan hanya berkumpul secara fisik, tetapi memahami al-Qur’an secara bersama. Tanpa pemahaman bersama, umat akan terpecah oleh perbedaan kecil, sebagaimana diperingatkan dalam QS. al-Anfal: 46:

“Janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian gentar dan hilang kekuatan.”

Majelis-majelis ‘aza, shalat berjamaah, dan interaksi masjid adalah inti persatuan. Ibadah individual tidak mampu menghadang propaganda musuh. Imam Ali sendiri pernah ditekan oleh orang-orang yang salah memahami hadis tentang shalat berjamaah, padahal beliau memiliki uzur yang jelas.


 Disarikan dari buku Jejak Ruhani – Ayatullah Jawad Amuli

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT