Di antara ribuan nama yang berhamburan dalam sejarah Karbala, satu nama muncul bukan karena ia lahir dalam barisan para pembela kebenaran, tetapi karena keberaniannya dalam berpindah dari gelap kepada cahaya. Ia bukanlah sahabat Ahlulbait sejak awal, melainkan seorang yang berada dalam pasukan musuh. Namun ia berani mengambil keputusan paling besar dalam hidupnya—berpihak kepada al-Husain.
Dialah al-Hurr bin Yazid al-Riyahi, komandan pasukan yang awalnya ditugaskan untuk menghadang Imam Husain as dan mencegahnya menuju Kufah. Ketika ia pertama kali bertemu dengan cucu Rasulullah, ia belum tahu bahwa takdir sedang mengetuk pintu hatinya. Ia menjalankan perintah atasannya, namun hati nuraninya gelisah sejak mendengar ucapan-ucapan Imam Husain. Hatinya goyah saat menyaksikan ketulusan dan kelurusan pribadi Imam Husain as yang jelas bukan pemberontak atau haus kekuasaan seperti yang dituduhkan.
Dalam salah satu momen paling menentukan dalam sejarah umat manusia, al-Hurr bergulat dengan batinnya. Ia menyadari bahwa ia sedang berdiri di antara dua pilihan besar—surga dan neraka.
Muhajir bin Qays, seorang saksi mata, meriwayatkan: “Ketika pertempuran sudah mulai pecah antara dua pasukan—pasukan Imam Husain dan pasukan Ibn Ziyad—aku melihat al-Hurr bergerak meninggalkan barisannya menuju ke arah Imam Husain. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai anak Yazid, apakah engkau hendak menyerang?’ Ia tidak menjawabku. Aku melihat tubuhnya gemetar, bulu kuduknya berdiri. Aku heran dan berkata, ‘Demi Allah, aku tak pernah melihatmu seperti ini sebelumnya! Jika aku harus menyebut orang Kufah paling berani, namamulah yang pertama kusebut. Lalu apa yang menimpamu kini?’”
Dengan suara yang berat namun yakin, al-Hurr menjawab, “Aku berada di antara dua jalan: surga atau neraka. Demi Allah, aku tidak akan memilih selain surga, meskipun itu berarti aku harus kehilangan nyawa dan tubuhku dibakar.”
Keputusan itu bukan hanya perubahan strategi militer. Itu adalah kemenangan ruhani, kemenangan atas ego dan ambisi duniawi. Ia segera menunggang kudanya, memacu menuju kemah Imam Husain, dan menyatakan tobatnya. Bukan dengan lisan saja, tetapi dengan darah dan nyawa. Ia berperang membela al-Husain dan gugur sebagai syahid.
Kisah al-Hurr bukan sekadar satu episode heroik. Ia adalah representasi dari manusia yang sadar, bangkit, dan menang atas dirinya sendiri. Ini adalah kisah tentang “kemenangan pada saat-saat yang menentukan”, ketika manusia berada di ambang jurang, namun memilih naik menuju puncak keimanan.
Ujian seperti ini bukan hanya milik al-Hurr. Ia dialami oleh setiap manusia, dalam bentuk dan kadar yang berbeda. Dalam hidup ini, manusia selalu berada di persimpangan: antara kejujuran dan kepalsuan, antara keberanian dan penakutan, antara keadilan dan kezaliman. Setiap keputusan yang kita ambil pada titik-titik krusial itu adalah penentu masa depan kita, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Allah SWT telah menjadikan sejarah sebagai cermin agar manusia belajar dan mengenali dirinya. Dalam Al-Qur’an, kisah-kisah para nabi dan orang saleh dipaparkan sebagai bukti bahwa ujian adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup menuju Allah.
Imam Ja’far al-Shadiq as, meriwayatkan sebuah hadis tentang hari kiamat yang menggambarkan makna dari ujian-ujian kehidupan:
“Pada hari kiamat kelak, akan dihadapkan seorang perempuan yang dahulu diuji dengan kecantikannya. Ia mengadu, ‘Ya Tuhanku, Engkau menciptakanku dengan rupa yang cantik sehingga aku tergelincir karenanya.’ Maka Allah mendatangkan Maryam binti ‘Imran. Dikatakan kepadanya: ‘Siapakah yang lebih cantik, engkau atau Maryam? Kami menciptakannya cantik, tapi dia lulus ujian.’
Kemudian dihadapkan seorang lelaki yang tampan, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, ketampananku membuatku tersesat.’ Maka didatangkanlah Nabi Yusuf as dan dikatakan: ‘Siapakah yang lebih tampan, engkau atau Yusuf? Kami menciptakannya dengan ketampanan luar biasa, tapi ia tetap bertahan dan lulus ujian.’
Setelah itu, datang seseorang yang mengeluh karena derita dan musibah yang membuatnya tergelincir. Maka Allah mendatangkan Nabi Ayyub as dan berkata: ‘Apakah deritamu lebih berat dari Ayyub? Ia sabar, dan ia berhasil melewati ujian.'”
Hadis ini menegaskan bahwa apa pun bentuk ujian kita—harta, rupa, kedudukan, bahkan musibah—semuanya dapat kita lalui jika kita memiliki keteguhan jiwa dan kesadaran akan tujuan hidup.
Kembali kepada al-Hurr. Namanya berarti “yang merdeka.” Betapa tepat nama itu bagi seseorang yang memerdekakan dirinya dari belenggu kesesatan dan tekanan kekuasaan demi kebenaran yang sejati. Ia tidak menunggu wahyu turun, tidak menunggu orang lain memberi izin. Ia sendiri yang memutuskan jalan yang benar dan memikul risikonya.
Ada yang berkata, “Tapi al-Hurr tadinya adalah musuh, kenapa ia dimuliakan?” Jawabannya: karena Islam memuliakan perubahan. Karena kebenaran bukan hak eksklusif mereka yang lahir dalam lingkungan suci, tapi juga milik siapa saja yang ingin memperjuangkannya, meski sebelumnya tersesat.
Imam Husain pun menerima tobat al-Hurr dengan penuh kelembutan. Ia tidak mengungkit masa lalunya. Tidak mencela pilihannya di masa silam. Ia hanya memeluk dan mendoakan. Ini adalah pelajaran penting: bahwa pintu ampunan selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin kembali. Bahkan di hari Asyura, bahkan di detik terakhir sebelum ajal.
Kemenangan yang sejati bukan hanya soal menaklukkan musuh dari luar, tetapi juga musuh dari dalam: hawa nafsu, rasa takut, ambisi, dan ego. Al-Hurr menunjukkan kepada kita semua bahwa kemenangan paling gemilang adalah kemenangan yang terjadi di medan batin. Ia tidak menunggu malaikat menuntunnya. Ia hanya mendengar suara kebenaran yang keluar dari lisan cucu Nabi dan mengikutinya.
Kita, yang hidup jauh dari Karbala, mungkin tak akan pernah berhadapan dengan pilihan seberat al-Hurr. Tapi kita memiliki versi kita sendiri: memilih diam atau berbicara saat kezaliman terjadi; memilih hidup dalam kompromi atau berjalan dalam kebenaran; memilih kenikmatan dunia sesaat atau kemuliaan abadi. Dan seperti al-Hurr, kita pun selalu berada di antara dua jalan: surga dan neraka.
Kisah al-Hurr adalah undangan bagi kita semua untuk merefleksikan jalan hidup kita. Jika seseorang yang awalnya memusuhi Imam Husain bisa berbalik arah dan syahid di barisan kebenaran, maka tidak ada alasan bagi kita untuk terus bertahan dalam keburukan. Kemenangan sejati, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Hurr, adalah saat seseorang menaklukkan dirinya sendiri. Dan itulah kemenangan pada saat-saat yang menentukan.
Dielaburasi dari buku Akibat Dosa – Sayyid Hasyim Ar-Rasuli AI-Mahallati