
Dalam pandangan Islam, dosa bukan sekadar pelanggaran hukum yang tampak secara lahiriah, tetapi realitas batin yang berakar pada niat, sikap hati, dan posisi moral manusia terhadap kebenaran dan kebatilan. Islam tidak membatasi pendidikan etikanya pada tindakan fisik semata, melainkan menembus hingga wilayah terdalam jiwa—tempat niat dibentuk, kecenderungan dipelihara, dan keputusan moral diambil.
Karena itulah, Islam memandang niat buruk sebagai dosa, meskipun niat tersebut belum sempat terealisasi dalam bentuk perbuatan nyata. Prinsip ini menjadikan pendidikan Islam bersifat preventif, bukan sekadar represif; ia mencegah kejahatan sejak di akar jiwa manusia, bukan hanya menghukumnya setelah kejahatan itu terjadi.
Kerelaan terhadap Keburukan: Partisipasi Moral dalam Dosa
Salah satu prinsip mendasar dalam etika Islam adalah bahwa kerelaan terhadap suatu perbuatan menjadikan seseorang bagian dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain, seseorang tidak bisa mengklaim netralitas moral ketika ia mengetahui kejahatan, membenarkannya dalam hati, atau merasa nyaman dengan keberlangsungannya.
Amirul Mukminin Ali as menegaskan bahwa manusia akan diklasifikasikan bukan semata berdasarkan tindakan mereka, tetapi berdasarkan sikap batin mereka terhadap suatu peristiwa. Siapa yang rela terhadap suatu urusan, maka ia termasuk di dalamnya; dan siapa yang tidak merelakannya, maka ia terpisah darinya (Nahj al-Balaghah, Hikmah 201).
Dalam riwayat lain, beliau menegaskan bahwa orang yang rela terhadap perbuatan suatu kaum, kedudukannya seakan-akan ia termasuk bagian dari mereka. Bahkan, orang yang masuk ke dalam kebatilan akan memikul dua dosa sekaligus: dosa perbuatannya dan dosa kerelaannya terhadap kebatilan tersebut (Nahj al-Balaghah, Hikmah 31).
Prinsip ini bukan sekadar teori etika, tetapi hidup dalam spiritualitas Syiah. Dalam doa-doa ziarah, khususnya dalam ziarah kepada Imam Husain as, kaum Syiah melaknat bukan hanya para pembunuh beliau, tetapi juga mereka yang mengetahui kezaliman itu, menyaksikannya, lalu merelakannya (Kamil al-Ziyarat; Misbah al-Mutahajjid).
Dengan demikian, diam yang disertai pembenaran batin bukanlah sikap netral, melainkan bentuk partisipasi moral dalam kejahatan.
Mencintai Tersebarnya Kekejian
Lebih jauh lagi, Islam menganggap mencintai tersebarnya kekejian di tengah kaum mukmin sebagai dosa besar. Al-Qur’an dengan sangat tegas mengancam pelakunya dengan azab di dunia dan akhirat:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
(QS. an-Nur [24]: 19)
Ayat ini menunjukkan bahwa dosa tidak selalu berbentuk tindakan fisik. Keinginan, hasrat, dan dukungan batin terhadap keburukan memiliki konsekuensi spiritual yang nyata. Islam tidak hanya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tetapi juga apa yang boleh dan tidak boleh dicintai oleh hati.
Niat Buruk dan Riwayat tentang Pengampunan
Di sisi lain, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa seseorang tidak dicatat berdosa apabila ia berniat melakukan kejahatan tetapi tidak melaksanakannya. Dalam sebuah hadis, Imam Ali as menjelaskan bahwa orang yang berniat melakukan kebaikan tetapi tidak sempat melaksanakannya tetap mendapatkan satu pahala; jika melaksanakannya, ia memperoleh sepuluh pahala. Adapun orang yang berniat melakukan kejahatan tetapi tidak melaksanakannya, ia tidak dicatat berdosa; namun jika ia melaksanakannya, ia dicatat satu dosa (Ushul al-Kafi, jilid 2; Bihar al-Anwar, jilid 70).
Sekilas, riwayat ini tampak bertentangan dengan prinsip bahwa niat buruk adalah dosa. Namun para ulama besar Syiah menjelaskan bahwa perbedaan ini terletak pada sudut pandang etika dan fikih. Secara etika, niat kuat untuk melakukan dosa dan kerelaan terhadap keburukan adalah dosa batin. Namun secara fikih, tidak semua dosa batin dikenai sanksi hukum lahiriah.
Dari pembahasan para ulama, muncul beberapa kesimpulan: niat yang kuat dan disertai keinginan serius adalah dosa; niat buruk yang tidak diwujudkan bisa termasuk dosa yang diampuni; dan pembatalan niat disertai penyesalan justru bernilai spiritual. Dengan demikian, Islam menutup pintu pembenaran terhadap dosa batin, sekaligus membuka pintu rahmat bagi mereka yang menghentikan diri dan kembali kepada Allah.
Dosa dan Dampaknya: Dunia dan Akhirat
Berbeda dengan hukum positif yang hanya mengenal sanksi duniawi, Islam memandang dosa sebagai realitas yang memiliki dampak multidimensi: personal, sosial, duniawi, dan ukhrawi. Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan sosial dan bencana moral bukanlah fenomena netral:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.”
(QS. ar-Rum [30]: 41)
“Apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”
(QS. asy-Syura [42]: 30)
Bahkan, dosa yang terus-menerus dilakukan dapat meliputi pelakunya hingga ia kehilangan kemampuan untuk bangkit dan kembali:
“Barang siapa berbuat dosa dan dosanya telah meliputinya, mereka itulah penghuni neraka.”
(QS. al-Baqarah [2]: 81)
Islam memandang dosa sebagai kekuatan yang membentuk karakter. Perbuatan buruk yang diulang akan mengeraskan hati, merusak nurani, dan menenggelamkan manusia dalam kehinaan bertahap.
Hadis tentang Akibat Nyata Dosa
Rasulullah saw memperingatkan umatnya tentang bahaya zina dengan menyebutkan bahwa di dalamnya terdapat enam hukuman: tiga di dunia dan tiga di akhirat. Di dunia, zina menghilangkan kecerdasan, mendatangkan kefakiran, dan memendekkan umur. Di akhirat, ia mendatangkan murka Allah, hisab yang berat, dan azab neraka (al-Khishal, jilid 1; Bihar al-Anwar, jilid 76).
Amirul Mukminin Ali as juga menegaskan bahwa buah dari kebohongan adalah kehinaan di dunia dan siksa di akhirat (Ghurar al-Hikam).
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa dosa bukan sekadar urusan “nanti di akhirat”, tetapi memiliki konsekuensi langsung dalam kehidupan manusia.
Pengawasan Ilahi dan Kekuatan Iman
Kesadaran akan pengawasan Ilahi dan hari perhitungan menciptakan benteng batin yang tidak dapat dibangun oleh sistem hukum mana pun. Seorang mukmin meyakini bahwa dirinya senantiasa berada dalam pengawasan Allah, bahkan ketika tidak ada satu pun mata manusia yang melihatnya.
Inilah yang membedakan manusia beriman dari pelaku kejahatan yang merasa aman karena lolos dari hukum. Islam menanamkan keyakinan bahwa tidak ada dosa yang benar-benar tersembunyi.
Islam mengajarkan bahwa dosa bukan hanya soal apa yang dilakukan, tetapi juga apa yang diniatkan, dicintai, dan direlakan. Keselamatan manusia dimulai dari penolakan batin terhadap kebatilan, keberanian menghentikan diri sebelum jatuh, dan keyakinan akan pengawasan Allah serta hari perhitungan.
Dengan pendekatan ini, Islam tidak sekadar menghukum kejahatan, tetapi mendidik manusia agar bebas dari tirani hawa nafsu, tegak dalam kesadaran moral, dan berjalan lurus di jalan kebenaran.
*Disarikan dari buku Akibat Dosa – Sayyid Hasyim Ar-Rasuli AI-Mahallati