Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Palestina, Haji, dan Tugas yang Tak Pernah Usai

Palestina tidak akan berhenti. Ini adalah kewajiban.” Kalimat ini diucapkan oleh Pemimpin Revolusi Islam, Ayatullah Khamenei, dalam sebuah pidato yang menggugah nurani. Ucapan itu bukan sekadar retorika politik, melainkan seruan moral dan keimanan yang mengetuk kesadaran kolektif umat Islam. Bagi mereka yang menyaksikan penderitaan rakyat Palestina dari dekat—pengusiran, penjajahan, blokade, hingga pembantaian—seruan itu hadir sebagai pengingat bahwa kita sedang menyaksikan tragedi yang tak boleh dibiarkan.

Lalu, dari ribuan yang hadir, terdengar pekikan yang menggema: “Wahai Pemimpin yang Merdeka! Kami siap! Kami siap!” Dan Ayatullah Khamenei menjawab: “Kalian siap. Semoga Allah menolong dalam menyiapkan dunia Islam, insya Allah.” Sebuah dialog singkat namun padat makna, antara pemimpin dan umatnya, antara harapan dan tanggung jawab.

Haji dan Spirit Persatuan

Di saat yang sama, jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia tengah bersiap atau sudah memulai perjalanan suci menuju Mekkah. Haji bukan hanya puncak ibadah individual, melainkan peristiwa akbar spiritual yang menyatukan umat dalam satu pakaian, satu arah, satu doa. Ia menjadi cerminan potensi persatuan, sekaligus potret kontras dari kondisi umat Islam hari ini—yang tercerai-berai, lemah, dan terpecah.

Dalam pidatonya, Ayatullah Khamenei juga menyampaikan apresiasi kepada pihak-pihak yang telah mempersiapkan keberangkatan jemaah dengan baik: “Saya bersyukur atas upaya Organisasi Bi’tsah dan Organisasi Haji serta para pejabat lain yang terlibat dalam kesehatan, keselamatan, transportasi, dan urusan jemaah haji. Masing-masing menjalankan perannya. Saya menekankan pentingnya perencanaan yang matang untuk menjamin kenyamanan jemaah dan kesuksesan pelaksanaan haji yang penuh berkah dan diterima. Perencanaan seperti itu sangat penting.

Apa makna dari pernyataan itu dalam konteks yang lebih luas? Bahwa ibadah yang mulia ini membutuhkan tata kelola, cinta, dan kesungguhan. Haji bukan sekadar urusan ritual, tetapi juga soal manajemen spiritual dan sosial umat. Umat Islam yang mampu menyelenggarakan Haji dengan tertib dan aman, sejatinya sedang menunjukkan kemampuan mereka mengelola urusan yang lebih besar: dari pendidikan, ekonomi, hingga perjuangan untuk keadilan global seperti Palestina.

Palestina: Luka yang Membuka Kesadaran

Apa kaitan antara Haji dan Palestina? Sangat erat. Ka’bah—pusat Haji—adalah simbol tauhid dan kebebasan. Sementara Al-Quds—jantung Palestina—adalah simbol perjuangan melawan penjajahan. Keduanya adalah poros spiritual yang tak dapat dipisahkan.

Ketika jutaan Muslim berkumpul di Mekkah, mereka bukan hanya memohon ampun untuk diri sendiri, tetapi juga seharusnya meratap dan berdoa untuk umat yang tertindas. Palestina bukan sekadar tanah, ia adalah simbol. Ia adalah neraca yang menakar keberpihakan kita: apakah kita sungguh peduli pada keadilan, atau hanya sibuk dengan keselamatan diri.

“Palestina tidak akan berhenti.” Kalimat ini bisa dimaknai bahwa perjuangan tidak akan usai, bahkan ketika dunia memilih diam. Selama masih ada nurani, selama masih ada iman, selama masih ada kiblat yang kita hadapi bersama, maka Palestina akan tetap hidup dalam doa dan langkah umat.

Tantangan Umat, Harapan Masa Depan

Ayatullah Khamenei dalam pidatonya juga menegaskan pentingnya perencanaan jangka panjang untuk kemajuan umat: “Kita bersyukur kepada Tuhan atas kemajuan yang telah dicapai dan yang sedang berlangsung. Namun, untuk menutup kesenjangan antara upaya kita saat ini dan tujuan masa depan kita, insya Allah, kita harus merencanakan dan mengatur dengan efektif.”

Ini adalah pelajaran penting. Bahwa perjuangan tidak bisa hanya mengandalkan semangat. Ia harus ditopang strategi. Umat yang ingin bangkit harus punya rencana, harus punya organisasi, harus punya arah. Karena tantangan yang dihadapi hari ini sangat kompleks: dari perang informasi, penjajahan ekonomi, hingga krisis moral.

Dan di tengah segala kekacauan itu, ada secercah harapan: semakin banyak Muslim muda yang sadar, yang peduli, yang ingin kembali pada nilai-nilai Islam yang sejati. Tugas kita adalah menyalurkan energi ini ke arah yang benar—menuju pembebasan, kemajuan, dan persatuan.

Doa dan Warisan

Di akhir pidatonya, Ayatullah Khamenei memohonkan rahmat dan ampunan untuk para pendahulu umat: “Kita memohon berkah, rahmat, dan ampunan Allah untuk pemimpin kita yang agung [Imam Khomeini], para syuhada, dan orang-orang yang telah wafat.”

Dalam tradisi Islam, mendoakan para pendahulu bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi juga pengakuan bahwa kita berdiri di atas pundak mereka. Bahwa apa yang kita nikmati hari ini—dari kebebasan, ilmu, hingga keberanian—adalah hasil perjuangan mereka. Maka sudah sepatutnya kita melanjutkan estafet ini, tidak dengan pasif, tapi dengan penuh kesadaran dan pengorbanan.

Hari ini, ketika umat Islam di berbagai penjuru dunia menghadapi ujian yang beragam—dari perang dan kelaparan, hingga propaganda dan demoralisasi—maka kalimat “Kami siap!” harus menjadi lebih dari sekadar seruan. Ia harus menjadi sikap hidup. Siap membela Palestina, siap menunaikan ibadah dengan ikhlas, siap merawat persatuan, dan siap menjadi bagian dari perubahan besar yang dijanjikan oleh Allah dalam sejarah.


Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.