Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Para Sahabat Nabi saw dan Keutamaan Imam Ali as

Dalam perjalanan sejarah Islam, pembahasan tentang para sahabat Nabi Muhammad saw selalu menjadi topik yang kaya nuansa. Siapa yang dimaksud sahabat? Bagaimana kedudukan mereka? Dan siapa yang paling utama di antara mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sekadar akademik, melainkan menyentuh akar sejarah, keimanan, dan perbedaan pandangan yang hidup di tengah umat Islam hingga hari ini.

Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi sahabat. Sebagian mengatakan, setiap Muslim yang pernah melihat Nabi saw termasuk sahabat. Sebagian lain mensyaratkan bahwa ia harus meriwayatkan hadis dari Nabi. Ada pula yang menyebut, cukup dengan mendengar khutbah beliau di Arafah, atau melihat Nabi dalam keadaan sudah balig. Sebagian lagi menambahkan syarat harus lama menemani beliau. Meski begitu, pendapat paling masyhur di kalangan para ulama adalah: siapa pun yang pernah melihat Nabi saw dalam keadaan beriman, maka ia termasuk sahabat.

Namun, di antara para sahabat itu, siapakah yang paling utama?

Bagi kalangan Imamiyah dan sebagian ulama Ahlusunah, jawaban mereka jelas: Ali bin Abi Thalib as. Keutamaan ini ditegaskan dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur, hingga mencapai derajat mutawatir—yaitu diriwayatkan oleh begitu banyak perawi sehingga mustahil terjadi rekayasa kebohongan.

Hadis paling terkenal adalah Hadis Ghadir Khum. Dalam peristiwa monumental ini, di hadapan ribuan orang, Rasulullah saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib dan bersabda:

“Bukankah aku lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri?”
Para sahabat menjawab: “Benar.”
Beliau melanjutkan: “Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
(Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Sunan Tirmidzi)

Hadis ini menjadi salah satu dalil terkuat tentang keutamaan dan kepemimpinan Ali as sepeninggal Rasulullah saw.

Selain itu, Rasulullah saw bersabda:

“Ali bagian dari diriku, dan aku bagian darinya.”
(Musnad Ahmad, Shahih Bukhari, Sunan al-Kubra al-Baihaqi)

Makna zahir hadis ini menunjukkan bahwa hubungan Ali dengan Nabi saw sangat erat dan substansial. Beberapa riwayat menambahkan:

“Dia adalah wali setiap mukmin setelahku.”
(Sunan Tirmidzi, al-Mustadrak al-Hakim)

Di kesempatan lain, Rasulullah saw bersabda kepada Ali:

“Tidakkah engkau rela, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?”
(Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa sebagaimana Harun adalah pendamping setia Musa, demikian pula Ali adalah pendamping setia Nabi saw, kecuali bahwa kenabian telah berakhir pada Muhammad saw.

Rasulullah saw juga bersabda:

“Ali manusia terbaik; siapa yang menolaknya berarti ingkar, dan siapa yang menerimanya berarti bersyukur.”
(Musnad Ahmad, Kitab al-Fadhail)

Hadis-hadis ini, yang tersebar dalam kitab-kitab Sunni dan Syiah, menjadikan posisi Ali sebagai figur sentral yang tidak hanya dekat secara pribadi dengan Nabi saw, tetapi juga memegang peran kepemimpinan spiritual dan moral sepeninggal beliau.

Bahkan, Nabi saw pernah menegaskan:

“Kebenaran bersama Ali, dan Ali bersama kebenaran. Keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiku di telaga.”
(Musnad Ahmad, al-Manaqib Ibnu Mardawaih)

Dan sabdanya yang lain:

“Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.”
(Mustadrak al-Hakim, Sunan Tirmidzi)

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa Ali as adalah poros kebenaran, ilmu, dan kepemimpinan setelah Rasulullah saw.

Menariknya, Khalifah Abbasiyah al-Makmun pernah menyatakan pada tahun 212 H bahwa “Ali bin Abi Thalib adalah manusia paling utama setelah Rasulullah saw.” Pernyataan ini juga diamini oleh banyak ulama Mu’tazilah dan sebagian besar ulama Bashrah dan Baghdad pada masanya.

Namun, sebagian kalangan Ahlusunah berpendapat bahwa seluruh sahabat Nabi adalah adil dan harus dimuliakan tanpa pengecualian. Mereka mengutip beberapa hadis seperti:

“Muliakanlah para sahabatku, karena mereka adalah orang-orang terbaik di antara kalian.”
(Musnad Ahmad)

Atau sabda Nabi saw:

“Sebaik-baiknya masa adalah masaku.”
(Shahih Bukhari, Shahih Muslim)

Juga sabda beliau:

“Sungguh beruntung orang yang melihatku dan beriman kepadaku.”
(Musnad Ahmad)

Namun, tidak semua ulama sepakat dengan pandangan ini. Sebagian riwayat menunjukkan bahwa ada sahabat yang tergelincir dalam dosa, bahkan kemunafikan. Hudzaifah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Di antara para sahabatku ada dua belas orang munafik. Delapan orang dari mereka tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum.”
(Shahih Muslim)

Selain itu, sejarah mencatat adanya peristiwa Saqifah, di mana khalifah pertama dipilih dengan tergesa-gesa bahkan sebelum jenazah Nabi saw dimakamkan.

Sementara itu, hadis Tsaqalain yang terkenal menegaskan:

“Aku tinggalkan di tengah kalian dua pusaka: Kitab Allah dan Ahlulbaitku. Jika kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya.”
(Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa keluarga Nabi, dimulai dari Ali bin Abi Thalib, memegang peran penting dalam menjaga ajaran Islam setelah wafatnya Rasulullah saw.

Semua dalil ini, ketika dibaca secara jernih, tidaklah dimaksudkan untuk menafikan jasa para sahabat lain. Mereka tetap memiliki kedudukan mulia sebagai generasi pertama umat Islam. Namun, Islam juga mengajarkan kejujuran sejarah: memuliakan yang berhak dimuliakan, mengakui kesalahan bila ada, dan tetap menjaga ukhuwah sesama Muslim.

Bagi siapa pun yang ingin menyelami lebih dalam, khazanah ilmu dari kedua mazhab—Sunni maupun Syiah—menyediakan ribuan karya tentang kehidupan Nabi saw, akhlaknya, mukjizatnya, serta posisi para sahabat dan Ahlulbait. Dengan hati yang tulus, siapa pun akan melihat bahwa keutamaan Imam Ali as sebagai penerus spiritual dan moral Rasulullah saw bukan sekadar klaim mazhab tertentu, melainkan fakta sejarah yang berakar pada hadis-hadis sahih dan nash-nash yang kuat.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai umat yang mampu merajut persaudaraan, memuliakan para sahabat dengan adil, dan menempatkan Ahlulbait Nabi saw pada kedudukan yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan.


Dielaburasikan dari kitab Madinah Balaghah

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT