Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pelajaran dari Negeri Para Mullah: Perlawanan sebagai Hak Bangsa yang Merdeka

Pada 16 Juli 2025, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, menyampaikan pidato penting di hadapan para pejabat tinggi kehakiman. Di tengah suasana pascaperang 12 hari antara Iran dan rezim Zionis, beliau menyampaikan seruan yang menggema melampaui batas-batas negara dan bangsa. Seruan ini adalah tentang harga diri nasional, tentang penolakan untuk tunduk, dan tentang hak setiap bangsa di dunia untuk membela tanah air mereka dari penjajahan dan agresi.

Beliau menyampaikan dengan tegas:

“Bangsa Iran tidak akan pernah memasuki sebuah medan sebagai pihak yang lemah. Kami memiliki seluruh perangkat yang diperlukan — nalar dan kekuatan militer. Maka, setiap kali kami melangkah, baik di medan diplomasi maupun perang, kami akan melangkah dengan kekuatan penuh, atas izin Tuhan.”

Dalam dunia yang menyaksikan begitu banyak bangsa terpaksa tunduk oleh tekanan ekonomi, militer, atau diplomatik dari negara-negara adidaya, pernyataan ini ibarat api yang membakar semangat rakyat-rakyat tertindas di seluruh dunia. Iran menunjukkan bahwa membela tanah air adalah hak yang sah — hak yang dijamin oleh moralitas universal, bukan sekadar konvensi internasional.


Perang 12 Hari dan Kemenangan Moral

Konflik yang berlangsung selama 12 hari bukanlah sekadar perang militer antara dua pihak. Ia adalah ujian besar terhadap daya tahan dan persatuan sebuah bangsa. Iran, di tengah embargo, tekanan politik, dan kampanye media global yang terus mendiskreditkan, tidak hanya bertahan — tetapi justru menunjukkan ketangguhan dan keteguhan.

Dalam pidatonya, Imam Khamenei mengungkap bahwa respons Iran tidak sembarangan. Iran menargetkan pusat strategis milik Amerika Serikat di kawasan, sebuah serangan yang disebut sebagai “pukulan strategis yang amat sensitif.” Namun hingga kini, dunia masih belum melihat seluruh fakta karena media internasional menutupinya.

“Ketika sensor ini akhirnya dibuka,” kata beliau, “dunia akan melihat betapa beratnya pukulan yang diterima oleh musuh.”

Lebih jauh lagi, ketika rezim Zionis — yang selama ini disebut-sebut sebagai militer terkuat di kawasan — berlari meminta perlindungan ke Amerika Serikat, hal itu menjadi bukti nyata: bahwa Iran telah menggoyahkan fondasi psikologis dan militer musuh.


Runtuhnya Skenario Destabilisasi

Namun kemenangan Iran tak hanya terlihat di medan militer. Musuh-musuhnya, menurut Imam Khamenei, telah menyiapkan skenario destabilisasi dari dalam: menargetkan tokoh-tokoh kunci, menyerang pusat-pusat kekuasaan, dan berharap dapat mengaktifkan “proksi-proksi lama” — kelompok oposisi monarkis, kaum munafik, serta anasir anarkis — untuk menciptakan kekacauan internal.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dalam bahasa beliau:

“Alih-alih sistem melemah, bangsa justru bangkit. Masyarakat dari berbagai latar belakang politik dan agama bersatu membela sistem Islam.”

Ini adalah fenomena yang sangat penting. Dunia menyaksikan bahwa dalam momen-momen genting, bangsa Iran tidak tercerai-berai. Mereka tidak menjadi korban politik identitas atau konflik sektarian. Justru, mereka memperlihatkan kesatuan nasional yang luar biasa — sesuatu yang jarang ditemukan di banyak negara modern saat ini.


Pelajaran untuk Umat Manusia

Apa yang terjadi di Iran bukan sekadar isu regional. Ini adalah cermin perlawanan bagi masyarakat dunia. Saat banyak negara memilih untuk mengalah atau mencari perlindungan pada kekuatan besar demi menjaga stabilitas semu, Iran memilih jalan yang sulit namun terhormat: berdiri di atas kaki sendiri, dengan martabat.

Imam Khamenei menyampaikan pesan ini bukan hanya kepada rakyat Iran, tetapi kepada umat manusia:

“Tuhan telah menjanjikan kemenangan bagi mereka yang menolong agama-Nya. Selama bangsa ini berdiri di bawah panji Islam dan Al-Qur’an, kemenangan akan selalu bersama mereka.”

Pesan ini bukan untuk satu agama atau satu bangsa saja. Ini adalah ajakan universal untuk tetap setia pada prinsip, untuk tidak menjual martabat demi keamanan semu, dan untuk berani mengatakan tidak pada ketidakadilan global.


Menuntut Keadilan: Melampaui Senjata

Imam Khamenei juga menekankan pentingnya jalur hukum dalam menuntut keadilan. Beliau menyerukan kepada lembaga peradilan Iran untuk menindaklanjuti kejahatan perang yang dilakukan oleh rezim Zionis, bukan hanya di pengadilan domestik, tetapi juga di forum internasional.

Seruan ini penting. Dunia yang katanya “beradab” sering gagal menghadirkan keadilan ketika pelakunya adalah sekutu Barat. Tragedi Gaza, kejahatan kemanusiaan di Yaman, bahkan invasi ilegal ke berbagai negara, sering dibiarkan begitu saja. Apa yang dilakukan Iran adalah menghidupkan kembali harapan bahwa hukum internasional bisa menjadi alat keadilan — jika digunakan secara adil dan tidak berpihak.


Bangsa yang Ditempa oleh Penderitaan

Iran bukan bangsa yang tidak punya luka. Mereka telah melalui revolusi, perang delapan tahun melawan Saddam, sanksi ekonomi, dan fitnah global. Namun dari semua itu, mereka justru muncul sebagai bangsa yang ditempa dan diperkuat oleh penderitaan.

Mereka tidak hanya bertahan, tapi berkembang. Mereka tidak membalas dengan membabi buta, tapi dengan strategi dan keberanian. Mereka tidak mengemis pengakuan dari Barat, tapi membangun poros global sendiri — dengan prinsip yang berpihak pada rakyat tertindas di manapun.


Dari Iran untuk Dunia: Jalan Kebenaran Masih Terbuka

Apa yang bisa dipetik dunia dari pidato ini? Bahwa di tengah kekacauan global, kebohongan media, dan dominasi imperium politik-ekonomi, masih ada bangsa yang berbicara dengan suara nurani. Masih ada pemimpin yang tidak takut untuk menyebut Amerika sebagai “setan besar” dan Zionis sebagai “rezim kanker.” Dan masih ada rakyat yang lebih memilih mati dengan martabat ketimbang hidup dalam penindasan.

Iran, dalam hal ini, bukan sekadar negara. Ia adalah simbol perlawanan. Ia adalah api yang menyala di tengah gelapnya dunia. Ia adalah suara bagi mereka yang tak punya mimbar, tangan bagi mereka yang tak punya senjata, dan harapan bagi mereka yang hampir menyerah.


Penutup

Dunia sedang berubah. Poros kekuatan lama sedang runtuh, dan poros baru sedang dibentuk — bukan berdasarkan senjata dan uang, tapi berdasarkan prinsip dan perlawanan. Di jantung poros baru itu, berdirilah Iran, membawa obor perlawanan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua bangsa yang masih percaya bahwa dunia ini bisa adil.


Referensi:

  • Pidato Ayatullah Ali Khamenei dalam pertemuan dengan pejabat kehakiman Iran, 16 Juli 2025, official website Khamenei.ir
  • Al-Qur’an Surah Al-Hajj: 40.
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT