Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pelajaran Pahit Sejarah: Ketika Amerika Mengorbankan Para Sekutunya Sendiri

Oleh: Mohammad Mahdi Abbasi — Researcher in the field of American Studies

Khamenei.ir – Dalam dunia politik internasional, kepercayaan adalah komoditas langka. Namun ketika menyangkut Amerika Serikat, persoalannya bukan hanya soal kelangkaan—melainkan bahaya yang melekat di dalamnya. Klaim ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi cukup menelusuri rekam jejak Washington terhadap negara-negara yang disebutnya sebagai “sekutu” dalam beberapa dekade terakhir untuk melihat bahwa peringatan itu sangat beralasan. Dalam setiap momentum kritis, AS selalu menempatkan kepentingan dirinya di atas siapa pun, memilih pihak mana pun yang paling menguntungkan kebutuhan strategis jangka pendeknya.

Pepatah yang sering dikutip dalam studi geopolitik menjadi terasa sangat relevan: “Menjadi musuh Amerika itu berbahaya, tetapi menjadi sahabat Amerika itu fatal.” Penghinaan diplomatik terhadap Volodymyr Zelenskyy di Gedung Putih—serta sikap pemerintahan Washington terhadap Ukraina selama perang—adalah bukti paling mutakhir. Negara yang mempercayakan nasib geopolitiknya kepada AS itu kini kehilangan hampir delapan belas persen wilayahnya. Namun Ukraina bukanlah negara pertama, dan tidak akan menjadi negara terakhir, yang dikorbankan setelah menaruh kepercayaan pada jaminan Washington.


Afghanistan: Pengkhianatan Menit Terakhir terhadap Mitra Sendiri

Penarikan pasukan AS dari Afghanistan tahun 2021 merupakan contoh paling gamblang tentang bagaimana Washington meninggalkan sekutunya begitu kepentingan berubah. Melanjutkan kesepakatan era Trump dalam Perjanjian Doha, pemerintahan Biden memilih mengakhiri dua dekade kehadiran militernya. Biden secara terbuka menyatakan bahwa stabilitas internal Afghanistan bukan lagi tanggung jawab Amerika.

Keputusan itu menghasilkan kekosongan kekuasaan yang menghancurkan. Pangkalan udara Bagram ditinggalkan bahkan ketika pasukan Taliban sudah mencapai gerbang Kabul. Dunia menyaksikan adegan memilukan rakyat Afghanistan berlari mengejar pesawat angkut Amerika—mencoba menyelamatkan diri dari kehancuran yang ditinggalkan negara yang sejak lama mengaku sebagai patron kehormatan dan demokrasi.

Ashraf Ghani, presiden Afghanistan saat itu, bertaruh pada dukungan Washington hingga detik terakhir. Beberapa bulan sebelum Kabul jatuh, ia berkunjung ke AS memohon solusi menghadapi gelombang serangan Taliban. Namun yang ia temukan hanyalah sikap acuh tak acuh. Tidak ada satu pun pejabat senior AS yang datang menyambutnya.

Dalam wawancara pertamanya pasca kejatuhan Kabul, Ghani mengaku bahwa kesalahan terbesar sepanjang masa kepemimpinannya adalah mempercayai AS dan “sekutu internasional”-nya. Seorang penulis Pakistan bahkan menulis di The Washington Post bahwa AS, hanya dalam satu malam, menunjukkan bahwa nasib sekutu-sekutunya dapat diubah sesuai kalender politik domestik mereka. Afghanistan—seperti sekutu lainnya—menjadi saksi pahit dari pola yang terus berulang.


Pandemi COVID-19: Ketika Amerika Merampas dari Sekutunya Sendiri

Contoh lain yang hampir terlupakan adalah perilaku AS saat awal pandemi COVID-19. Ketika dunia berebut ventilator, masker medis, dan alat uji, Washington memilih langkah ekstrem. Beberapa ribu masker N95 yang dibeli pemerintah Jerman dialihkan ke AS secara sepihak. Menteri Dalam Negeri Berlin kala itu mengecam tindakan tersebut sebagai “metode Wild West” dan menyebutnya “pembajakan modern.”

Tidak hanya Jerman yang dirugikan. Barbados—negara kecil yang ekonominya rapuh—telah membeli 20 ventilator untuk menghadapi ledakan kasus Covid. Namun Amerika menyita seluruh kiriman itu. Sekutu atau bukan sekutu, Washington mempertahankan satu prinsip yang tidak pernah berubah: kepentingan Amerika berada di atas segalanya.


AUKUS: Tikaman di Punggung Sekutu Eropa Sendiri

Namun tiada peristiwa yang lebih telanjang membuka watak ini selain pembentukan pakta AUKUS tahun 2021. Australia sebelumnya memiliki kontrak raksasa dengan Prancis untuk pembangunan kapal selam konvensional. Tetapi tiba-tiba Canberra mengumumkan aliansi baru dengan AS dan Inggris untuk mendapatkan teknologi kapal selam nuklir. Konsekuensinya, kontrak miliaran dolar dengan Prancis dibatalkan sepihak.

Paris marah besar. Duta besarnya dipanggil pulang dari Washington—hal yang hampir tak pernah terjadi sesama negara Barat. Menteri Luar Negeri Prancis menyebut keputusan Australia dan AS sebagai “tikaman dari belakang.”

Washington bahkan tidak menunggu momentum yang tepat—selama hal itu menguntungkan strategi Indo-Pasifiknya, sekutu Eropa pun siap dikorbankan.


India dan Kanada: “Mitra Strategis” pun Tak Aman

Perilaku serupa terlihat pada hubungan AS dengan India dan Kanada. Selama bertahun-tahun, India dipuji sebagai “mitra strategis utama” dalam membendung Tiongkok. Namun ketika New Delhi terus membeli minyak Rusia, Washington menekan India dengan ancaman sanksi perdagangan. Pemerintah Modi menilai langkah itu sebagai intervensi terang-terangan terhadap kebijakan nasionalnya.

Kanada, tetangga yang berbagi ribuan kilometer perbatasan, mengalami perlakuan serupa. AS memberlakukan tarif impor yang berubah-ubah, mengguncang hubungan ekonomi terbesar Kanada. Perdana Menteri Mark Carney akhirnya memperingatkan secara terbuka: “Amerika Serikat tidak lagi menjadi mitra yang dapat diandalkan.”

Jika tetangga sekaliber Kanada saja tidak aman dari pragmatisme ekstrem Washington, bagaimana dengan negara lain yang ketergantungannya jauh lebih besar?


Iran Pra-Revolusi: Ketika Sekutu Lama pun Dibuang

Pola pengkhianatan AS bukanlah fenomena baru. Mohammad Reza Pahlavi—Shah Iran yang sangat dekat dengan Washington selama Perang Dingin—akhirnya mengalami nasib serupa. Setelah Revolusi Islam 1979 dan ketika kesehatannya memburuk, AS enggan memberikan izin masuk untuk perawatan medis. Presiden Jimmy Carter bahkan mengakui bahwa ia termasuk orang yang menolak menerima Shah. Ketika akhirnya Shah diizinkan masuk untuk perawatan singkat, Carter menegaskan bahwa keputusan itu diambil karena Shah berada “di ambang kematian.”

Bahkan seorang penguasa yang sangat pro-Amerika sekalipun tidak luput dari kalkulasi dingin Washington. Ketika nilai strategisnya habis, ia dibuang tanpa pertimbangan moral sedikit pun.


Kesimpulan: Bertumpu pada Amerika Adalah Risiko Keamanan

Seluruh pengalaman tragis ini—dari Ukraina hingga Afghanistan, dari Eropa hingga India, dari Kanada hingga Iran pra-Revolusi—membentuk satu simpulan yang tak terbantahkan: hubungan dengan Amerika hanya bermanfaat selama tidak menimbulkan biaya bagi Amerika. Ketika kepentingan berubah, loyalitas Washington pun berubah.

Itulah sebabnya Para Pemimpin Revolusi Islam berkali-kali mengingatkan tentang bahaya menilai Amerika sebagai mitra. Dalam pernyataan terbarunya, Imam Khamenei menegaskan:

“Amerika bahkan mengkhianati teman-temannya sendiri. Mereka mendukung geng Zionis yang berkuasa di Palestina. Demi minyak dan sumber daya, mereka siap menyalakan perang di mana pun di dunia—dan kini hasrat perang itu telah merambah Amerika Latin. Pemerintahan seperti itu tidak pantas dijadikan tempat berharap oleh Republik Islam.”

Hari ini, negara yang membangun stabilitas, keamanan, atau kemakmurannya dengan bertumpu pada Washington harus siap menghadapi hari ketika karpet itu ditarik dari bawah kakinya. Sejarah telah mencatatnya berkali-kali—dan AS tidak pernah belajar untuk setia.

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT