Keterjagaan dan kesadaran untuk kembali kepada fitrah dapat terwujud karena beberapa faktor antara lain sebagai berikut;
- Mengingat Anugerah Nikmat
Mengingat anugerah nikmat Allah SWT yang tak terkira jumlahnya. Di satu aspek, kenikmatan pertama adalah eksistensi dan keterciptaan, karena inilah yang menjadi ranah untuk datangnya berbagai anugerah nikmat lainnya. Pada aspek lainnya adalah anugerah hidayah yang mengantarkan kepada imam, sebab keimanan lebih mulia dari segala sesuatu. Dan di aspek lain lagi ialah anugerah akal dan pikiran, karena tanpa akal tak mungkin keimanan dapat diraih, dan tak ada pula kemampuan untuk merasakan nikmat dengan sempurna atas berbagai nikmat lain.
Setelah tiga anugerah ini, berbagai anugerah lain tidaklah terhitung jumlahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً.
“Dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.”[1]
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا.
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.”[2]
Manusia sering tidak menyadari banyak anugerah nikmat yang didapatnya, dan baru sadar ketika kenikmatan itu hilang, yaitu ketika sakit atau mendapat kesulitan dan musibah.
Mengingat berbagai anugerah nikmat ini sangat besar pengaruhnya untuk membangkitkan kesadaran, karena selain memotivasi manusia untuk bersyukur yang konsekuensi rasionalnya adalah taat kepada pemberi nikmat, juga menumbuhkan kecintaan kepadanya yang konsekuensi emosionalnya juga ketaatan kepadanya.
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
ما أحبّ الله من عصاه.
“Tidaklah mencintai Allah orang yang bermaksiat kepadaNya.”[3]
Al-Quran al-Karim dalam surat al-Nahl ayat 3 hingga 18 telah menggambarkan dengan sangat indah anugerah nikmat Allah SWT kepada manusia, yang pada kesimpulannya ialah bahwa kenikmatan yang ada di langit dan bumi diciptakan dan diatur sebagai anugerah bagi manusia.
Patut diingat bahwa sebesar apapun rasa syukur kita tetap tidak akan sanggup mengimbangi kenikmatan yang kita dapat. Ini berarti bahwa kita tidak mungkin dapat mensyukuri nikmat dalam arti yang sesungguhnya. Sebab arti sesungguhnya dari kata “syukur” ialah bahwa yang memperoleh nikmat sebagai pihak pertama membalas pemberi nikmat sebagai pihak dengan memberikan sesuatu yang dimiliki oleh pihak pertama kepada pihak kedua, meskipun dengan sebatas ucapan dan ungkapan jika pihak pertama tidak memiliki apa-apa.
Sedangkan jika pihak pertama memberikan kepada pihak kedua sesuatu yang berasal dari pihak kedua sendiri dan masih merupakan milik pihak kedua maka tidak dapat disebut kebersyukuran, karena apa yang diberikan pihak pertama masih menjadi milik pihak kedua dan bukan berasal pihak pertama secara independen.
Atas dasar, bagaimana mungkin makhluk dapat bersyukur dengan lisan, pujian, atau ketataatan dan ibadah sementara semua ini semua berasal dan masih merupakan milik Allah SWT semata sehingga bahkan seharusnya ada syukur di atas syukur kepadaNya. Karena itu dalam Munajat al-Syakirin disebutkan;
فكيف لي بتحصيل الشكر وشكري إيّاك يفتقر إلى شكر، فكلّما قلت لك الحمد وجب عليّ لذلك أن أقول: لك الحمد.
“Bagaimana mungkin aku dapat menghasilkan syukur sedangkan syukurku kepadaMupun masih menuntut kebersyukuran, sehingga setiap kali aku berkata, ‘Segala puji bagiMu,’ maka hal ini juga menuntutku untuk berkata, ‘Segala puji bagiMu.’”[4]
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
فيما أوحى الله ـ عزّ وجلّ ـ إلى موسى (ع) يا موسى اشكرني حقّ شكري، فقال: يا ربّ وكيف أشكرك حقّ شكرك وليس من شكر أشكرك به إلاّ وأنت أنعمت به عليّ؟ قال: يا موسى الآن شكرتني حين علمت أنّ ذلك منّي
“Ketika Allah Azza wa Jalla berwahyu kepada Musa as, ‘Hai Musa, bersyukurlah kepadaKu dengan sebenar-benar syukur kepadaKu.’ Musa berkata, ‘Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku dapat bersyukur kepadaMu dengan sebenar-benar bersyukur kepadaMu sedangkan setiap kali bersyukur kepadaMu Engkau selalu memberi nikmat kepadaKu?’ Allah SWT berfirman, ‘Hai Musa, sekarang kamu telah bersyukur kepadaKu ketika kamu mengetahuinya berasal dariKu.’”[5]
Dalam doa yang dibaca sesudah shalat ziarah Imam Ali Ridha as disebutkan;
لا تُحمَدُ يا سيّدي إلاّ بتوفيق منك يقتضي حمداً، ولا تشكر على أصغر منّة إلاّ استوجبت بها شكراً، فمتى تُحصى نعماؤك يا إلهي؟ وتُجازى آلاؤك يا مولاي؟ وتكافأ صنائعك يا سيّدي؟ ومن نعمك يحمد الحامدون، ومن شكرك يشكر الشاكرون
“Tiadalah terpuji Engkau kecuali dengan taufik dariMu yang juga menuntut pujian, dan Engkau tiada tersyukuri atas anugerah yang terkecil sekalipun kecuali juga menuntut kebersyukuran, lantas kapan nikmat-nikmatMu dapat dihitung, wahai Tuhankan, nikmat-nikmatMu dapat terbalaskan, wahai Maulaku, dan ciptaan-ciptaanMu dapat terbandingi, wahai Junjunganku? Dari nikmatMulah para pemuji memuji, dan dengan syukurMulah para pensyukur bersyukur.”[6]
[1] QS. Luqman [31]: 20.
[2] QS. Al-Nahl [16]: 18, Ibrahim [14]: 34,
[3] Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 15.
[4] Munajat ke-6 di antara 15 munajat yang terkenal.
[5] Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 98, hadis 27.
[6] Mafatih al-Jinan, Ziarah Imam al-Ridha as.