Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Peran Akal dalam Memahami Keadilan Ilahi

Dalam pergumulan pemikiran Islam, keadilan Ilahi bukan hanya sebuah konsep abstrak yang diperbincangkan di ruang-ruang teologi, tetapi merupakan fondasi penting dalam keyakinan seorang mukmin. Keadilan Tuhan adalah salah satu dari sifat-sifat-Nya yang paling agung dan paling sering dipertanyakan. Apakah Tuhan itu adil? Jika ya, mengapa dunia tampak tidak adil? Mengapa ada yang terlahir dalam kemiskinan dan penderitaan, sementara yang lain hidup dalam kemewahan dan kekuasaan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah menuntun banyak orang kepada pencarian filosofis yang panjang dan mendalam.

Dalam mazhab Syiah, keadilan Ilahi tidak hanya diyakini secara buta. Ia adalah bagian dari ushuluddin, prinsip dasar agama yang tidak boleh diterima tanpa pemahaman. Hal ini menunjukkan bahwa Syiah mendidik pengikutnya untuk memahami keadilan Tuhan bukan hanya sebagai dogma, tetapi sebagai keyakinan yang diraih melalui akal dan hati. Di sinilah letak peran penting akal manusia dalam memahami keadilan Tuhan.

Akal bukanlah musuh agama. Dalam ajaran para Imam Ahlul Bait as, akal adalah cahaya batin yang menjadi bukti kekhususan manusia di hadapan makhluk lain. Imam Ja’far Shadiq a.s. bersabda bahwa akal adalah hujjah batin Tuhan atas manusia, sebagaimana para nabi adalah hujjah lahiriah. Akal dan wahyu adalah dua sayap yang akan membawa manusia menuju pemahaman yang benar tentang Tuhannya. Tanpa akal, manusia hanya akan menjadi pengikut buta terhadap teks, dan akan mudah tergelincir pada pandangan-pandangan yang menyandarkan keburukan kepada Tuhan, seperti menganggap bahwa penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini berasal dari keputusan langsung Tuhan tanpa hikmah atau sistem.

Ayatullah Murtadha Muthahhari, dalam karya besarnya Keadilan Ilahi, menegaskan bahwa akal memiliki peran sangat penting dalam menyelami masalah keadilan. Ia menolak keras pandangan bahwa segala yang berasal dari Tuhan pasti baik meskipun tampak zalim di mata manusia. Menurutnya, keadilan Tuhan bukan hanya didasarkan pada kekuasaan mutlak, tetapi pada hakikat kesempurnaan dan hikmah-Nya. Artinya, Tuhan tidak mungkin melakukan kezaliman, karena kezaliman adalah kekurangan, dan Tuhan Mahasempurna.

Kita bisa memahami hal ini melalui logika yang sederhana. Jika ada penguasa di dunia yang memenjarakan orang tanpa alasan, menghukum tanpa kejelasan, dan memberi hadiah tanpa kriteria, niscaya kita akan menyebutnya tidak adil, meskipun ia memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaan tidak identik dengan keadilan. Maka tidak masuk akal jika kita menyandarkan ketidakadilan kepada Tuhan hanya karena Dia Mahakuasa. Justru karena Tuhan Mahabijaksana dan Mahasempurna, maka keadilan adalah keniscayaan dalam semua tindakan-Nya. Inilah pandangan yang diraih melalui akal, sebelum dan sesudah datangnya teks-teks wahyu.

Namun, sebagian teolog dalam sejarah Islam, seperti Asy’ariyah, justru menolak peran akal dalam menentukan baik dan buruk. Mereka mengklaim bahwa apa pun yang dilakukan Tuhan adalah baik, meskipun secara logika dan moral tampak zalim. Muthahhari dengan tegas membantah pendekatan ini. Baginya, jika kita menghapus peran akal dalam mengenali keadilan, maka tidak ada lagi dasar bagi penghakiman moral. Semua bisa dibenarkan atas nama Tuhan, dan ini sangat berbahaya. Ia membuka pintu bagi penindasan dan pembenaran terhadap kejahatan, hanya karena menyandarkannya kepada Tuhan.

Sebaliknya, dalam pandangan Syiah, akal adalah alat untuk menyaring dan memahami wahyu. Ia tidak boleh diabaikan. Ketika kita membaca ayat-ayat atau hadis yang tampak menyatakan bahwa Tuhan menciptakan sebagian orang untuk masuk neraka, atau bahwa nasib manusia sudah ditentukan tanpa ruang ikhtiar, maka akal yang sehat akan menolak pemahaman tekstual yang sempit. Ia akan menuntut penafsiran yang lebih dalam, yang sejalan dengan keadilan dan hikmah Ilahi.

Misalnya, ketika kita melihat ada bayi lahir cacat, atau seseorang meninggal dalam usia muda setelah menjalani hidup penuh ibadah, kita sering bertanya: di mana keadilan Tuhan? Tapi jika kita memandang hal itu dengan akal yang jernih dan hati yang tenang, kita akan melihat bahwa segala yang terjadi adalah bagian dari sistem kausalitas yang adil. Dunia ini adalah tempat sebab-akibat. Tuhan telah menetapkan hukum-hukum alam, dan siapa pun yang melanggar atau terpapar dampaknya, akan menuai akibatnya. Dalam banyak kasus, penderitaan tidak berasal dari kezaliman Tuhan, tetapi dari pilihan manusia sendiri, atau dari proses alami yang menjadi bagian dari ujian kehidupan.

Akal juga mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan dunia tanpa tujuan. Maka jika ada penderitaan, pasti ada hikmah di baliknya. Bisa jadi untuk membangkitkan kesadaran, untuk menumbuhkan empati, atau untuk memperkuat keimanan. Akal akan membantu kita untuk tidak cepat menyimpulkan bahwa setiap penderitaan adalah ketidakadilan. Justru di balik penderitaan, tersembunyi keadilan Tuhan yang menuntun kita kepada pertumbuhan spiritual dan kesempurnaan ruhani.

Pemahaman ini juga memiliki dampak moral dan sosial yang besar. Jika manusia yakin bahwa Tuhan Mahaadil, maka ia tidak akan merasa putus asa atau merasa hidup ini sia-sia. Ia akan memahami bahwa setiap amal, sekecil apa pun, akan diperhitungkan. Tidak ada satu pun air mata, doa, atau usaha yang terabaikan di sisi Tuhan. Kepercayaan ini akan membangkitkan semangat untuk berbuat baik, bersabar dalam ujian, dan menjauhi kezaliman. Akal membimbing manusia kepada keyakinan bahwa keadilan Tuhan adalah jaminan bagi keadilan akhirat, dan bahwa setiap perbuatan akan mendapatkan balasannya secara adil.

Lebih dari itu, keyakinan kepada keadilan Ilahi yang didasarkan pada akal haruslah tercermin dalam kehidupan sosial dan politik. Tidak cukup seorang mukmin berbicara tentang keadilan Tuhan di atas mimbar dan sajadah, tetapi membiarkan kezaliman merajalela di sekitarnya. Imam Ali bin Abi Thalib as dalam Nahjul Balaghah menyebut bahwa keadilan adalah pilar utama pemerintahan dan pengatur tatanan masyarakat. Maka, mereka yang beriman kepada keadilan Tuhan, harus menjadi pembela keadilan di tengah masyarakat. Ketidakpedulian terhadap penindasan, kemiskinan, dan ketimpangan sosial, adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan Ilahi.

Dalam hal ini, Ayatullah Khamenei dengan lantang menyatakan bahwa “menegakkan keadilan sosial bukan sekadar agenda politik, tetapi amanat ilahiah.” Ia menegaskan bahwa tidak ada makna bagi agama jika masyarakat dibiarkan dikuasai oleh para penindas dan para kapitalis yang menghisap hak-hak kaum lemah. Keadilan bukan sekadar konsep langit, ia harus menjelma dalam struktur hukum, ekonomi, dan pemerintahan. Dan semua itu hanya bisa ditegakkan jika masyarakat berlandaskan pada akal sehat dan iman yang kokoh kepada keadilan Tuhan.

Maka dari itu, memahami keadilan Ilahi melalui akal bukan hanya menuntun kita kepada iman yang lebih dewasa, tetapi juga membentuk kita menjadi insan yang bertanggung jawab terhadap dunia. Sebab Tuhan yang adil tidak akan meridhai ketidakadilan di bumi. Keadilan-Nya bukan untuk diperdebatkan semata, tetapi untuk diteladani dan ditegakkan. Dan dalam perjuangan menegakkan keadilan itu, akal adalah senjata kita, dan iman adalah bahan bakarnya.

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.