Firman Allah SWT dalam hadis qudsi “Puasa adalah untukku, dan Akulah yang memberi pahalanya,” merupakan suatu keistimewaan bagi ibadah puasa sehingga perlu mendapat perhatian tersendiri dan lebih cermat. Seseorang bisa saja menahan lapar dan haus dari Subuh hingga Maghrib namun berkutat pada jenjang di mana ekspektasi maksimalnya ialah tidak masuk ke dalam neraka, atau kalaupun masuk surga maka tingkatan surganya ialah seperti disebutkan firman Allah SWT :
جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ…
“… surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai…..”[1]
Bukan surga yang diisyaratkan dalam firmanNya;
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”[2]
Artinya ialah bahwa puasa selain memiliki hukum dan adab tertentu juga memiliki hikmah berupa perjumpaan dan kecintaan Allah SWT. Hadis qudsi tersebut mengajarkan kepada manusia agar menjadi pecinta, karena manusia tidak akan berusaha jika tidak merindu. Manusia akan cenderung berusaha dan berusaha lagi dengan kondisi jatuh bangun demi mencapai kekasih yang dirindukannya. Ketika puasa dalam hadis itu disebutkan sebagai milik Allah maka Dia Sendiri yang akan memberikan pahalanya.
Bentuk Pahala Puasa
Di tengah manusia terdapat figur-figur agung yang bukan hanya menjalankan puasa sunnah melainkan juga telah memberikan jatah buka puasanya kepada kaum papa. Figur demikian selain memperoleh “surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai” juga beruntung mendapat panggilan dari Allah, “Masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surgaKu,” karena mereka berpuasa untuk tujuan yang lebih mulia daripada tujuan kebanyakan orang.
Berkenaan dengan ibadah selain puasa, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran para malaikat ketika menyambut orang-orang yang beriman berkata;
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ.
“Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah syurga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” [3]
Tapi berkenaan dengan puasa Allah SWT berfirman; “Akulah yang memberi pahalanya.” Hal ini berkenaan bukan dengan hukum dan tatacara puasa sehingga tidak masuk dalam rangkaian bahasan mengenai hukum wajib dan sunnah yang kajiannya menjadi tanggungjawab para fakih. Sebaliknya, hal ini berkenaan dengan hikmah ibadah dan ihwal bagaimana manusia bisa mencapai jenjang amalan di mana Allah SWT Sendiri yang membalasnya.
Ibnu Atsir menjelaskan bahwa berkenaan dengan hadis qudsi “Puasa adalah untukKu dan Akulah yang memberi pahalanya” poin yang layak dicermati ialah bahwa dalam agama-agama syirik dan penyembah berhala tidak ada penyembahan yang dilakukan dengan cara berpuasa untuk pendekatan diri kepada apa yang dituhankan, walaupun mereka melakukan berbagai ritus pemujaan atau sembahyang lainnya dan mempersembahkan kurban atau sesajen. Puasalah satu-satunya ibadah yang khas untuk Allah SWT, sedangkan ibadah dalam bentuk-bentuk lain seperti sembahyang masih digunakan oleh sebagian orang untuk penyembahan kepada selainNya. Karena itu Allah mengaitkan puasa dengan DiriNya, dan Dia Sendiri yang akan membalas dan memberikan pahala ibadah puasa.[4]
Jenjang Perjumpaan Dengan Allah SWT
Ibadah puasa diamalkan adalah supaya manusia dapat bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”[5]
Sedangkan orang yang bertakwa memili dua jenjang. Satu diantaranya ialah jenjang surga yang di dalamnya terdapat berbagai kenikmatan lahiriah, sebagaimana disebutkan dalam firmaNya;
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai.”[6]
Sedangkan satu jenjang lainnya ialah keberadaan di sisi Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ.
“Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.”[7]
Pada jenjang ini duduk persoalannya bukan lagi kenikmatan yang bersifat ragawi semisal taman, buah, istana, dan sungai-sungai yang mengalir, melainkan kenikmatan yang bersifat batini dan ruhani berupa perjumpaan dengan Allah SWT. Di sinilah rahasia keutamaan ibadah puasa.
(Bersambung)
[1] QS. Ali Imran [3]: 15.
[2] QS. Al-Fajr [89] 27 – 30.
[3] QS. al-Zumar [39]: 73.
[4] Nihayah, Ibnu Atsir, jilid 1, hal, 120.
[5] QS. Al-Baqarah [2]: 183.
[6] QS. Al-Qamar [54]: 54.
[7] QS. Al-Qamar [54]: 55.