Salah satu ajaran mendasar dalam Islam—terutama sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an dan diperjelas dalam riwayat-riwayat Ahlulbait as—adalah pemahaman yang benar tentang hubungan antara dunia dan akhirat. Dua alam ini bukan hanya berbeda secara kualitas, tetapi juga dalam tujuan penciptaannya. Ketika manusia memahami ciri-ciri akhirat melalui dalil akal dan petunjuk wahyu, ia akan melihat dunia dengan proporsi yang tepat: bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai jalan. Karena itu, Al-Qur’an kerap membandingkan keduanya agar manusia tidak tertipu oleh pesona sementara dunia dan tidak lalai dari keabadian akhirat.
Kefanaan Dunia dan Keabadian Akhirat
Perbedaan pertama yang sangat jelas antara dunia dan akhirat adalah bahwa dunia bersifat fana, sementara akhirat kekal. Manusia hidup di dunia dengan usia tertentu, dan seberapa panjang pun ia hidup, kematian tetap akan menjemputnya. Dunia pun, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, akan mengalami kehancuran total ketika sangkakala pertama ditiup.
Allah berfirman:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh kehidupan dunia berada di bawah hukum kefanaan. Tidak ada makhluk yang dapat melampaui ajalnya.
Sebaliknya, Al-Qur’an berkali-kali menyebut akhirat sebagai kehidupan yang kekal. Allah berfirman:
“Dan sungguh, negeri akhirat itu benar-benar kehidupan yang sebenarnya, kalau saja mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64)
Di ayat lain ditegaskan:
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96)
Dialah yang kekal, dan segala sesuatu selain-Nya kembali kepada-Nya. Karena itu, sesuatu yang terbatas—sekalipun indah dan panjang usianya—tetap tidak berarti bila dibandingkan dengan sesuatu yang abadi. Dengan perspektif inilah Al-Qur’an menyebut dunia sebagai sesuatu yang “sedikit” (qalil) dan “perhiasan yang menipu” (zina).
Allah bahkan menggambarkan dunia sebagai tumbuhan yang tumbuh menghijau setelah hujan turun, lalu menguning, layu, dan hancur (QS. Yunus: 24). Perumpamaan yang kuat ini mengajak manusia memandang dunia dengan objektif: indah, tetapi sementara.
Dua Sifat yang Berlawanan: Nikmat dan Azab di Dua Alam
Perbedaan penting lainnya terletak pada sifat kenikmatan dan azab. Kenikmatan dunia selalu bercampur dengan kelelahan, ketakutan, dan kecemasan. Tidak ada yang merasakan kebahagiaan murni tanpa disertai rasa takut kehilangan. Bahkan orang yang bergelimang harta tetap hidup dalam tekanan batin yang tak pernah usai.
Allah mengingatkan:
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling bermegah-megahan, dan berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak.” (QS. Al-Hadid: 20)
Namun akhirat tidak seperti itu. Surga dan neraka adalah dua tempat dengan sifat yang total berbeda. Di surga tidak ada rasa takut, sedih, sakit, atau lelah. Allah berfirman:
“Tidak ada rasa takut atas mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 62)
Di surga, kenikmatan bersifat total, murni, dan tidak diiringi kekurangan sedikit pun. Sementara itu, neraka adalah tempat yang penuh penyesalan, rasa sakit, dan kehinaan, tanpa ada secercah harapan. Penghuninya berkata: “Wahai kiranya aku dulu menjadi tanah.” (QS. An-Naba’: 40), sebuah ungkapan penyesalan yang memperlihatkan betapa dahsyatnya azab di alam itu.
Kenikmatan akhirat jauh lebih besar daripada seluruh kelezatan dunia. Allah menyatakan:
“Apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-Qashash: 60)
Dengan demikian, seluruh keindahan dunia jika dikumpulkan tidak dapat menandingi satu nikmat kecil dari surga, dan seluruh rasa sakit dunia tidak sebanding dengan satu sentuhan api neraka.
Akhirat Sebagai Kehidupan Hakiki
Perbedaan fundamental berikutnya adalah bahwa dunia merupakan pendahuluan bagi akhirat. Dunia adalah ladang untuk menanam amal, tempat ujian, ruang latihan spiritual, dan medan untuk mencapai kesempurnaan. Karena itu, Allah menyebut dunia sebagai mata’ al-ghurur, kenikmatan yang menipu, bila dijadikan tujuan.
Allah menegaskan:
“Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Al-Hadid: 20)
Sebaliknya, akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang abadi dan menentukan. Karena itu, mereka yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir dan melupakan akhirat telah melakukan kesalahan fatal dalam penilaian. Mereka menjadikan sarana sebagai tujuan. Mereka tertipu oleh bayangan yang mereka kira wujud. Padahal sejatinya dunia diciptakan agar manusia mengenali Tuhannya dan menapaki jalan kesempurnaan.
Namun penting untuk dipahami bahwa kehinaan dunia itu hanya berlaku bagi mereka yang menjadikannya berhala dan tujuan. Bagi orang-orang saleh, dunia justru sangat berharga. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata:
“Dunia adalah ladang akhirat.”
Artinya, dunia adalah tempat untuk menanam amal, tempat untuk memperbaiki diri, ruang untuk membantu sesama, serta kesempatan untuk meraih derajat tinggi di akhirat. Dunia menjadi tercela hanya bila manusia terikat padanya; bukan ketika ia memanfaatkannya sebagai sarana menuju Allah.
Bahaya Mengutamakan Dunia
Setelah memahami keagungan akhirat dan nilai abadi yang dikandungnya, jelaslah bahwa mengutamakan kehidupan dunia adalah bentuk kebodohan spiritual. Al-Qur’an menyebut orang yang lebih memilih dunia sebagai orang yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Allah berfirman:
“Tetapi kamu memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A‘la: 16–17)
Inilah inti dari kesalahan besar manusia: ia memilih sesuatu yang sementara dan meninggalkan yang kekal. Bahkan jika pilihan duniawinya itu tidak membuatnya berdosa, tetap saja ia telah melakukan kerugian besar karena meninggalkan peluang untuk mencapai kenikmatan abadi.
Lebih parah lagi, bila cintanya pada dunia membuatnya lalai dari kewajiban, terjerumus dalam maksiat, atau meremehkan kehidupan akhirat. Ketika ia lupa atau mengingkari kehidupan abadi, ia bukan hanya kehilangan pahala, tetapi juga terancam mendapatkan azab yang pedih.
Karena itu Al-Qur’an memberikan dua peringatan sekaligus:
- Menjelaskan keindahan dan keagungan nikmat akhirat.
- Mengungkapkan bahaya keterikatan pada dunia.
Bahkan seseorang yang mengira bahwa mencintai dunia hanya membuatnya “kehilangan pahala”, sebenarnya keliru. Sebab, cinta dunia yang berlebihan adalah akar segala kesalahan yang bisa mencelakakan manusia.
Rahasia Kehancuran Pecinta Dunia
Rahasia azab bagi para pecinta dunia ialah bahwa mereka telah menyia-nyiakan nikmat Ilahi. Dunia yang diberikan sebagai sarana mendekat kepada Allah justru dijadikan tujuan. Ibarat pohon hijau yang seharusnya menumbuhkan buah, mereka biarkan layu dan mati. Mereka tidak memanfaatkan nikmat Allah pada jalan yang diridai. Ketika pada akhirnya mereka melihat hasil pilihan hidupnya—kering, kosong, dan merugikan—penyesalan mereka tidak tertahankan.
Pada hari itu, manusia berharap dapat kembali dan memperbaiki dirinya. Namun pada saat itu, tidak ada lagi kesempatan.
Dunia hanyalah tempat singgah sementara. Akhirat adalah rumah yang abadi. Orang bijak tidak berhenti pada bayangan, tetapi mencari cahaya. Ia menanam di dunia untuk menuai selama-lamanya.
Disarikan dari buku Pandangan Dunia Ilahi: Menelusuri Doktrin Agama via Akal dan Wahyu – MUHAMMAD TAQIE MISBAH YAZDI