Dalam perjalanan hidup manusia, terdapat perenungan mendalam mengenai peringkat ilmu pengetahuan dan iman. Pandangan yang unik dan mendalam dari Imam Khomeini membuka pintu untuk menjelajahi paradigma kompleks ini. Masing-masing manusia memiliki pengetahuan yang mungkin luas tentang realitas hidup, namun sering kali, ironisnya, iman terhadap kebenaran tersebut bisa terkikis. Imam Khomeini memaparkan dilema antara pemahaman dan keyakinan, menyajikan kerangka pikir yang merangsang untuk merenungkan substansi dari peringkat ilmu pengetahuan dan iman.
Sebagai awal pembahasan, Imam Khomeini menyoroti tindakan memandikan jenazah. Orang yang memandikan jenazah tidak akan takut terhadap mayat itu karena dia yakin bahwa mayat itu tidak berdaya sekalipun dia disiksa atau dicela. Karena mayat itu sebelum ia mati, ketika nyawa ada dalam badannya juga merasa lemah bila ada orang yang mencelanya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin setelah ia mati, menjadi mayat yang terbujur kaku dan tidak dapat bergerak. Apa yang dapat ia lakukan? Pertanyaan ini membangkitkan kontradiksi antara pengetahuan tentang kematian dan kekurangan iman terhadap kebenaran yang hakiki.
Dari perspektif keimanan, Imam Khomeini menyoroti fakta bahwa ada orang-orang yang takut akan kematian, meskipun mereka sebenarnya percaya pada keberadaan hakiki ini. Tetapi, iman mereka rapuh dan terbatas pada pemahaman akal. Mereka tahu tentang Allah dan hari kiamat, tetapi hati mereka belum merasakan keimanan yang mendalam. Bagi mereka, pengetahuan tentang dalil-dalil keberadaan Allah dan janji hari kiamat masih bersifat akliah, tidak mencapai kedalaman hati. Imam Khomeini menekankan bahwa hanya Allah yang dapat mengubah keadaan ini, menjadikan-Nya Wali bagi orang-orang yang beriman dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya petunjuk.
Lebih jauh lagi, Imam Khomeini merujuk pada ajaran Imam Ali as, yang menyatakan: “Demi Allah! Sekiranya dikaruniakan kepadaku tujuh daerah sekalipun dan apa yang ada di dalamnya, tidak akan aku durhakakan Allah dalam denyut nadi hidupku.”
Pernyataan ini menggambarkan konsekuensi dari ikatan manusia terhadap dunia material dan bagaimana itu dapat menjadi penyebab kecenderungan untuk melanggar perintah Allah. Manusia sering kali tertarik pada kehidupan dunia, tergoda oleh kenikmatan duniawi, sehingga melupakan ketaatan kepada Allah.
Imam Khomeini juga menggarisbawahi bahwa mencela dan memfitnah para ulama Islam adalah tanda dari keimanan yang semakin luntur dari jiwa seseorang. Mereka yang terjerumus dalam perilaku negatif ini, yang mencakup tuduhan dan pengkhianatan terhadap ulama Islam, mengalami penurunan iman yang signifikan. Mereka akan mendapat pembalasan dari Allah, menjauhkan mereka lebih jauh dari kebenaran dan mencapai tingkat kesempurnaan yang rendah. Orang yang benar-benar beriman kepada Allah dengan pandangan mata hatinya, sebagaimana dia melihat matahari dengan penglihatannya, tidak akan melakukan dosa atau maksiat. Ini menekankan bahwa keimanan sejati adalah bentuk perlindungan terhadap perilaku negatif.
Imam Khomeini juga menyoroti konsep keyakinan pada pengertian “La ilaha illallah”. Orang yang benar-benar memahami bahwa segala sesuatu dan setiap individu tak terlepas dari kembalinya mereka kepada Allah tidak akan melakukan dosa besar. Firman Allah Swt, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” (QS. Al-Qashash: 88), menegaskan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Sang Pencipta. Keimanan ini mencegah seseorang dari dosa besar karena adanya pemisah yang membedakan perilaku yang dilarang oleh Allah.
Imam Khomeini juga menyoroti pentingnya keimanan pada Allah dalam mencegah perbuatan dosa. Keyakinan bahwa Allah senantiasa mendengar dan memperhatikan setiap langkah manusia membuat seseorang merasa takut untuk melanggar perintah-Nya. Orang yang yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat di setiap tempat tidak akan terhindar dari melakukan dosa dan maksiat. Keimanan pada Allah menjadi penjaga terhadap perbuatan yang tidak diridhai oleh-Nya.
Melalui pembahasan ini, Imam Khomeini menunjukkan bahwa semua tindakan ini terjadi karena ketiadaan iman kepada Allah. Tanpa keimanan pada wujud dan kehadiran Allah, manusia akan terjerumus ke dalam maksiat dan dosa. Keimanan pada eksistensi Allah membuat seseorang menjauhi perbuatan dosa dan merasa malu untuk melakukan hal yang diharamkan oleh Allah. Banyaknya maksiat dan kegelapan hati adalah hasil dari kekurangan keimanan terhadap pengetahuan Allah terhadap perbuatan-perbuatan.
Imam Khomeini juga menegaskan bahwa Allah memperhatikan dan memastikan setiap amal dan perbuatan manusia. Firman Allah Swt, “Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf: 18), menekankan bahwa setiap tindakan manusia dicatat oleh malaikat pengawas. Pantaskah seseorang yang memiliki keyakinan pada kehadiran Allah, memperhatikan, dan mengawasi segala sesuatu masih terus berbuat maksiat?
*Disarikan dari buku Pesan Sang Imam – Imam Khomeini