Peristiwa Mubahalah merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang menjadi bukti kebenaran dakwah Rasulullah Saw. Kejadian ini juga memperlihatkan keutamaan Rasulullah beserta Ahlulbaitnya, yaitu Imam Ali, Sayidah Fatimah, serta kedua putra mereka, Hasan dan Husain. Peristiwa ini terjadi pada hari ke-24 di bulan Dzulhijjah, sekitar tahun 10 hijriyah.
Allah Swt berfirman: Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
Mubahalah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti saling meletakkan laknat dan kutukan. Frasa “بهله الله” berarti Allah melaknat dan menjauhkannya dari kasih sayang-Nya. Ayat 61 dari Surah Ali Imran mengisahkan tentang peristiwa Mubahalah dan dikenal sebagai Ayat Mubahalah. Bagi Muslim Syiah, ayat ini memiliki makna khusus karena menyebutkan Imam Ali as sebagai “jiwa Nabi Saw”. Oleh karena itu, Ayat Mubahalah dianggap sebagai salah satu keutamaan Imam Ali. Peristiwa ini tercatat dalam kitab-kitab rujukan Syiah maupun Ahlusunah.
Menurut catatan sejarah, setelah berdebat dengan sekelompok pendeta Nasrani dari Najran yang menolak beriman, Rasulullah Saw menawarkan Mubahalah sebagai cara untuk membuktikan kebenaran. Para pendeta tersebut awalnya menerima tantangan ini, namun pada hari yang telah ditentukan, mereka membatalkannya. Ketika mereka melihat Rasulullah datang bersama keluarganya yang terdekat (Fatimah az-Zahra, Imam Ali, serta kedua cucunya, Imam Hasan dan Imam Husain), mereka menyadari bahwa kebenaran berada di pihak Rasulullah Saw.
Peristiwa ini bermula ketika Nabi Muhammad Saw mengirim surat kepada Uskup Najran, mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Para pendeta Nasrani memutuskan untuk mengirim perwakilan mereka ke Madinah guna berdialog langsung dengan Nabi. Dialog ini berlangsung di Masjid Madinah dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting dari Najran seperti Aqib, Sayid, dan Abu Haritsah.
Dialog berlangsung sengit dan penuh argumen, hingga akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk bermubahalah, yakni saling memohon laknat Allah untuk membuktikan siapa yang berada di pihak yang benar. Keesokan harinya, Rasulullah Saw membawa serta keluarganya: Imam Ali, Sayidah Fatimah, Imam Hasan dan Husain as. Ketika para pendeta melihat mereka, Abu Haritsah berkata, “Jika Muhammad tidak dalam kebenaran, dia tak akan berani bermubahalah. Jika kita bermubahalah dengannya, kurang dari satu tahun, tidak akan ada seorang Nasrani pun yang tersisa di dunia ini.”
Kemudian Abu Haritsah mendekati Nabi Saw dan berkata, “Wahai Abul Qasim! Batalkanlah bermubahalah dengan kami dan berdamailah, karena itulah yang sanggup kami lakukan.” Kemudian Nabi Saw berdamai dengan. Dengan begitu, Nabi saw menulis surat perdamaian dan mereka pun akhirnya pulang.
Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di atas kuasanya, kehancuran orang-orang Najran saat itu telah dekat dan andai saja mereka bermubahalah dengan kita maka setiap orang dari mereka akan berubah menjadi monyet dan babi, setiap lembah berubah menjadi api sehingga mereka terbakar dan Allah Swt akan menghancurkan orang-orang Najran bahkan tidak akan tersisa satu burung pun di atas pohon dan seluruh kaum Nasrani akan meninggal kurang dari satu tahun.” Setelah kaum Nasrani pulang, tidak lama kemudian Sayid dan Aqib datang kembali menghadap Rasulullah saw dengan membawa hadiah dan mereka pun masuk Islam.
Keabsahan peristiwa ini didukung oleh berbagai dalil dari para sahabat dan Imam Ahlulbait. Misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqash pernah berkata bahwa ia tidak akan pernah mengutuk Ali karena Nabi Muhammad Saw pernah menyebut Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain sebagai Ahlulbait dalam mubahalah.
Imam Kazhim AS dan Imam Ridha AS juga menguatkan keutamaan mubahalah dalam dialog mereka dengan para penguasa waktu itu. Mereka menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan kedudukan istimewa Imam Ali as sebagai “diri” Nabi Saw, yang tidak ada bandingannya di antara umat manusia.
Peristiwa Mubahalah tidak hanya merupakan bagian penting dari sejarah Islam, tetapi juga menjadi refleksi abadi tentang kebenaran dakwah Nabi Muhammad Saw atas agama lain. Melalui peristiwa ini, terlihat jelas keutamaan keluarganya yang terpilih sebagai pendamping dalam menghadapi tantangan besar.