Dari penjelasan Syahid Mutahari dalam Manteqnya tentang lafaz (kata), bahwa kata yang bermakna diistilahkan dengan qaul, seperti dalam bahasa kita, kata ini atau itu. Kalau inu merupakan kata yang tak bermakna, yang diistilahkan dengan muhmal.
Qaul terbagi pada: 1-Mufrad (tunggal), yakni cuma satu kata, seperti pada contoh tersebut.
2-Murakkab (ganda, minimal terdiri dua kata; dalam bahasa kita disebut kalimat), dan terbagi pada: a) Murakkab tâm (kalimat sempurna), seperti Budi pemikir, Sadra filosof dan lain sebagainya.
b) Murakkab nâqish (kalimat tak sempurna), seperti Dan Budi.., jika saya pulang, dan sebagainya.
Murakkab tâm juga terbagi pada khabar dan insyâ`. Khabar (naratif) ialah kalimat sempurna yang mencakup kebenaran dan kebohongan. Misalnya, Jakarta banjir, Fulan koruptor dan sebagainya. Adapun insyâ` (kreatif) tidaklah demikian, misalnya, Tuntutlah ilmu!, Andai saya tahu dan sebagainya.
Khabar dengan pengertian tersebut di dalam logika adalah definisi “qadhiyah (proposisi), dan juga merupakan tashdîq” (korespondensi). Banyak sekali proposisi di dalam akidah, seperti Ada Tuhan; Muhammad utusan-Nya, Akan ada hari pembalasan dan sebagainya, semuanya merupakan berita atau pernyataan yang membawa kemungkinan benar dan tidak benar.
Pencarian dan Pencapaian Marifat
Ungkapan kemungkinan itu terlontar di kitab-kitab akidah, salah satunya Tauhdhi al-Masail-kumpulan fatwa tentang ushuluddin- dari Ayatullah Wahid Khurasani. Masalah pertama tentang keharusan mencapai marifat (pengetahuan agama), beliau mengatakan: Kemungkinan ada Tuhan dan hari akhirat, meniscayakan keharusan mencari dan mencapai marifat (pengetahuan agama)… Alasannya adalah fitrah.
Atas dasar fitrah manusia, beliau mengatakan: Sekiranya alam semesta memiliki Pencipta; kematian bukanlah akhir kehidupan manusia; Dia mempunyai tujuan dari penciptaan manusia; Dia membuat suatu program (keagamaan) baginya dan penentangan terhadap keagamaan itu menyebabkan kesengsaraan abadi, kemungkinan ini sekalipun kecil kadarnya- melihat muhtamalnya (apa yang dimungkinkan tersebut) adalah perkara yang besar, membawa efek (menimbulkan reaksi) pengkajian untuk mengukuhkan atau mengingkari perkara itu.
Dalam Amuzesye Aqaed, Ayatullah Misbah Yazdi menjawab soal keraguan dari sebagian yang enggan melakukan pengkajian agama, dengan alasan bahwa kemungkinan dan harapan seperti itu, membahasnya hanya membuang energi dan waktu! Lebih baiknya, berbuat sesuatu yang menghasilkan manfaat dan kesuksesan secara nyata.
Beliau menjawab keraguan ini dengan dua hal:
1-Kemungkinan teratasinya permasalahan agama tak lebih kecil dari kemungkinan dan harapan teratasinya permasalahan ilmiah (empiris). Didapati para ilmuwan baru menuai hasil kajian ilmiah mereka setelah melewati puluhan tahun lamanya dengan segala upaya mereka.
2-Nilai sebuah kemungkinan tak hanya dilihat dari satu sisi seberapa besar kadarnya, tetapi sisi lain juga perlu dipertimbangkan, yaitu muatan muhtamalnya (sesuatu yang dimungkinkan).
Dicontohkan, bila kemungkinan untung dalam suatu usaha lima persen tapi nominal keuntungan yang dimungkinkan adalah seribu dolar; sedangkan dalam usaha lainya kemungkinan untung sepuluh persen tapi nominal keuntungan yang dimungkinkan cuma seratus dolar, maka usaha yang pertama itu lebih menguntungkan lima kali lipat dibanding usaha yang kedua. Demikian halnya dengan apa yang dimungkinkan dalam pencarian terkait keagamaan, yang membawa keuntungan yang tak terkira besarnya.
Beliau menambahkan: Orang baru menyadari tidak perlunya pencarian keagamaan setelah yakin (sampai pada kesimpulan) bahwa agama yang dia kaji ternyata menyimpang, atau bahwa permasalahan agama tak mungkin tuntas. Namun yang terpenting, bagaimana keyakinan akan kebatilan agama itu bisa dicapai tanpa pencarian?
Soal keharusan mencapai marifat ini, Ayatullah Sayed Muhammad Shadiq Rouhani dalam Ajwibah al-Masailnya juga menjawabnya dengan dalil akal, seperti kaidah rasional luzumu dafi adh-dharar al-muhtamal (keharusan menolak bahaya yang mungkin terjadi). Bahwa, disepanjang sejarah telah datang kepada setiap umat para utusan Tuhan yang dikenal jujur, suci dan lurus oleh masyarakat mereka, dengan seruan tauhid dan kabar tentang hari pembalasan. Kemungkinan adanya bahaya ini (juga) mengena pada orang yang tak mendengarkan seruan mereka itu.
Marifat dengan Taqlid
Soal berikutnya yang terlontar kepada Ayatullah Sayed Rouhani, ialah tentang taqlid dalam marifat atau akidah, yang masih terkait dengan kemungkinan yang dibicarakan di atas.
Beliau menjawab soal itu bahwa akal adalah pemutus wajib marifat sebagai pencegahan bahaya yang dimungkinkan. Namun takkan terangkat bahaya yang dimungkinkan dengan marifat zhanniyah (atas dugaan seperti dicapai dengan taqlid,-pener), melainkan dengan marifat yaqiniyah (atas keyakinan -yang dicapai melalui akal; tafakkur,-penerj).
Dua macam taqlid yang beliau terangkan: Pertama, jika taqlid yang dimaksud adalah mengikuti orang lain dalam keyakinan sekalipun perkataan dia tidak mengantarkan ilmu (kecuali hanya dugaan), akal pastinya tidak memperkenankan taqlid. Karena kemungkinan bahaya tak terangkat dengan marifat zhanniyah semacam itu.
Kedua, jika taqlid yang dimaksud adalah mengikuti seorang faqih, yang mengantarkan pada ilmu maka tak jadi masalah, bahwa keyakinan (orang berilmu) seperti dia karena berdasarkan argumen, mengantarkan pada keyakinan akan kebenaran apa yang diyakini olehnya (yang bertaqlid).”
Perlu kita kaji mengenai dua macam taqlid tersebut, bahwa adakah perbedaan antara keduanya? Jika ada, lalu di mana letak perbedaan itu? Dengan memperhatikan penjelasan beliau, bahwa taqlid macam pertama adalah taqlid buta. Jika dikatakan, Dalam akidah, Saya ikut apa kata Anda!. Berbeda dengan taqlid macam kedua, yang jika dikatakan, Dalam akidah, Saya belajar kepada Anda!. Seperti murid yang mengikuti guru akidah dalam pandangan-pandangannya, yang menambah nilai di dalam keyakinan.
Kendati taqlid kepadanya, tetapi si murid menggunakan akalnya, berfikir dan beragumen di dalam marifat dan masalah keyakinan.