Oleh Mojtaba Darabi, peneliti dan jurnalis
Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Barat, jalan-jalan di kota-kota besar Eropa dan Amerika dipenuhi oleh demonstrasi besar-besaran mendukung Palestina. Gelombang ini bermula pada pertengahan Oktober 2023, ketika London menyaksikan aksi protes yang mengejutkan para politisi dan pengamat. Perkiraan jumlah peserta bervariasi—ada yang menyebut 100.000 orang, ada pula yang menyebut 300.000—namun tak seorang pun menyangkal lautan manusia yang mengibarkan bendera Palestina dari Hyde Park hingga Downing Street. Pemandangan serupa terjadi di Manchester, Birmingham, dan Glasgow, tempat puluhan ribu orang menyerukan diakhirinya pengepungan Gaza dan genosida yang dilakukan rezim Zionis dengan dukungan Amerika Serikat. Akhir pekan demi akhir pekan, dari Amerika hingga Jerman, para aktivis turun ke jalan dengan satu pesan: Cukup sudah. Palestina tidak boleh diabaikan dan dibantai tanpa reaksi dunia.
Pemandangan seperti ini sangat jarang terlihat di Barat. Di Amerika Serikat, demonstrasi juga meletus secara mencengangkan. Puluhan kota—termasuk Los Angeles, Chicago, New York, dan Houston—menggelar aksi besar dengan puluhan ribu peserta. Para analis gerakan sosial menyebut cakupan geografisnya sebagai sesuatu yang bersejarah. Jika sebelumnya agresi rezim Zionis hanya memicu protes terbatas, kali ini gelombang protes yang berkesinambungan muncul, bahkan di kota-kota yang biasanya hanya ramai oleh acara olahraga atau hiburan. Kelompok masyarakat sipil, organisasi kemanusiaan, komunitas agama (Muslim, Kristen, Yahudi, serta koalisi lintas iman), serikat mahasiswa, dan aktivis sosial bersatu. Koalisi luas ini memberi kekuatan baru bagi gerakan protes dan menyorot keterlibatan Barat secara terang-terangan.
Namun titik balik sesungguhnya terjadi ketika gelombang protes ini memasuki ranah elite Amerika—yakni kampus-kampus ternama. Ketika mahasiswa di universitas-universitas besar seperti Columbia dan UCLA menggelar aksi duduk massal dan protes nasional, pemerintah federal bereaksi dengan keras. Di sinilah, protes sebagai hak kebebasan berpendapat berubah menjadi protes sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Pada tahun 2024, gelombang protes mahasiswa melanda kampus-kampus di seluruh Amerika. Mereka menuntut diakhirinya dukungan AS terhadap rezim Zionis, terlebih di tengah intensitas genosida yang terus meningkat di Gaza. Mereka juga menuntut pemutusan investasi dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam produksi senjata dan teknologi pengawasan, setelah menyadari bahwa penelitian mereka dipakai untuk membuat bom yang membunuh anak-anak di Gaza. Meski damai, protes ini dibalas dengan represi berat oleh otoritas AS, yang mengakibatkan lebih dari 2.000 mahasiswa ditangkap secara nasional. Di Columbia—salah satu episentrum protes—gambar polisi membongkar kamp protes dan menangkap lebih dari seratus mahasiswa tersebar luas. Di UCLA, polisi antihuru-hara menyerang demonstrasi mahasiswa dan menangkap lebih dari 200 orang. Dartmouth College, University of New Hampshire, dan University at Buffalo juga berubah menjadi medan konflik, dengan banyak penangkapan dan ketegangan meluas.
Di tengah-tengah gejolak ini, pada 25 Mei 2024, Imam Khamenei menulis surat kepada para mahasiswa, menyebut mereka sebagai bagian dari Front Perlawanan dan menggambarkan perjuangan mereka di bawah tekanan brutal pemerintah AS sebagai perjuangan yang mulia.
Masalahnya bukan hanya soal penangkapan; situasi ini mengguncang klaim Amerika tentang kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai. Organisasi hak sipil mengutuk tanggapan pemerintah, menyitir Amandemen Pertama dan memperingatkan tentang pelanggaran terhadap kebebasan akademik. Pada Maret 2025, Departemen Kehakiman AS meluncurkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum antiterorisme terkait protes di Columbia—langkah yang oleh banyak pembela kebebasan sipil dianggap sebagai upaya sengaja untuk membungkam perbedaan pendapat yang sah. Krisis ini makin dalam ketika Presiden Donald Trump saat itu mengumumkan pemotongan dana federal sebesar 400 juta dolar untuk Columbia karena dianggap “lemah” dalam menangani apa yang ia sebut sebagai antisemitisme di kampus. Di bulan yang sama, pemerintah AS tiba-tiba mencabut izin tinggal (green card) seorang mahasiswa pascasarjana Palestina bernama Mahmoud Khalil. Ia ditangkap agen ICE di depan istrinya yang sedang hamil—sebuah insiden yang segera menjadi simbol pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di Amerika.
Semua ini terjadi karena para mahasiswa ini telah melihat—lebih dari sekadar sekilas—kekejaman yang terjadi di Gaza: pengeboman oleh rezim Zionis yang meluluhlantakkan lingkungan dan membantai keluarga. Namun, pertanyaannya mengerikan: Bagaimana jika kemarahan mahasiswa ini hanya didasarkan pada sebagian kecil informasi yang sebenarnya? Di tengah arus informasi 24 jam dan media sosial, mungkinkah masyarakat Barat hanya melihat potongan-potongan kecil dari kebenaran, sementara sisi tergelapnya tersembunyi di balik dinding propaganda yang sangat canggih?
Kisah yang Hilang dari Media
Para pengamat mengkritik bahwa liputan media Barat terhadap Gaza disensor secara sistematis. Media seperti BBC menggunakan istilah seperti “pembantaian” dan “kekejaman” untuk menggambarkan serangan Hamas terhadap Zionis, namun enggan memakai bahasa serupa untuk menggambarkan serangan udara Israel yang menewaskan dan mengusir ribuan warga Palestina. Demikian pula, media-media besar Amerika cenderung memberikan perhatian besar pada korban dan penderitaan di pihak Zionis, sementara duka Palestina hanya sekilas, tanpa bobot emosional yang setara.
Bahkan beberapa jurnalis di CNN menyatakan adanya bias institusional—keputusan editorial sering menghindari pokok persoalan rakyat Palestina: pengepungan Gaza yang telah berlangsung bertahun-tahun, permukiman ilegal, dan penghinaan harian di pos-pos pemeriksaan. Bias ini tampak mulai dari pemilihan narasumber (sering pejabat Zionis, sangat jarang suara Palestina), hingga cara penulisan berita—misalnya penggunaan kalimat pasif saat menyebut kematian warga Palestina, sehingga pelaku tidak disebutkan.
Akibatnya, narasi berita menjadi tidak seimbang. Laporan-laporan banyak membahas serangan roket Hamas, namun jarang menyinggung kehancuran besar akibat kejahatan militer Israel. Framing yang selektif ini menyebabkan masyarakat Barat percaya bahwa kekerasan dimulai dari agresi Palestina yang tak masuk akal, mengabaikan siklus panjang penjajahan, pengusiran, dan blokade yang mendahului roket Hamas. Dengan demikian, opini publik Barat terus disuapi citra yang keliru: bahwa Israel adalah demokrasi kuat yang hanya membela diri dari agresor tanpa wajah. Sementara itu, korban sipil Palestina yang begitu besar tetap tersembunyi dalam bayang-bayang.
Dominasi Platform Media Sosial
Sebagian orang berpendapat bahwa di era digital ini, media arus utama tak bisa lagi berlindung di balik kebijakan editorial. Siapa pun di Gaza bisa merekam dan menyebarkan video ke seluruh dunia. Namun anggapan ini mengasumsikan bahwa platform media sosial adalah ruang bebas dan tanpa sensor. Kenyataannya tidak demikian.
Sejak Oktober 2023, X (dulu Twitter) menangguhkan “ratusan” akun yang diklaim terkait Hamas, untuk mencegah penyebaran konten kekerasan atau kebencian. Namun, para aktivis Palestina mengatakan banyak akun itu tidak ada kaitannya dengan kelompok bersenjata, melainkan hanya menyuarakan suara rakyat Gaza. Isu shadow-banning (membatasi jangkauan secara diam-diam) juga mencuat; banyak pengguna melaporkan bahwa postingan yang mengkritik Israel atau mendukung hak Palestina tak terlihat atau jangkauannya diperkecil tanpa penjelasan. Sementara itu, studi menunjukkan bahwa 96% konten kebencian yang dilaporkan karena menyerang Arab dan Muslim tetap tak dihapus meski sudah dilaporkan.
Meta (induk Facebook dan Instagram) juga menuai kritik. Laporan Human Rights Watch pada Desember 2023 menyatakan bahwa kebijakan Meta secara tidak proporsional membungkam suara Palestina dan konten yang membela hak mereka. Penindasan ini bisa jadi akibat desain algoritma platform yang menekan konten pro-Palestina lebih keras dibanding konten lainnya.
Pada akhirnya, masyarakat Barat tetap tidak mengetahui secara utuh kejahatan rezim Zionis di Gaza. Narasi yang berhasil menembus sensor—seperti video anak-anak dari reruntuhan atau keluarga yang hancur—tenggelam di lautan konten digital lainnya. Bahkan aktivis paling giat pun kesulitan menyampaikan gambaran utuh, dan audiens hanya menerima serpihan realitas.
Mengguncang Status Quo
Namun, hati nurani umat manusia yang terbangun tetap bereaksi meski hanya terhadap serpihan itu. Para demonstran di London dan Los Angeles—atau para mahasiswa yang marah di Columbia—mengatakan bahwa dukungan militer dan finansial AS terhadap rezim Zionis adalah penyebab utama genosida yang terus berlangsung.
Faktanya, para pemimpin Amerika terus berdiri teguh membela rezim Zionis. Bantuan militer tahunan terus mengalir dengan persetujuan bipartisan di Kongres. Sementara itu, narasi dominan di media arus utama mendorong opini publik Barat untuk mengutamakan keamanan Israel daripada bencana kemanusiaan di Gaza. Meski gerakan pro-Palestina, protes kampus, dan kampanye media sosial berusaha melawan narasi ini, mereka tetap menghadapi penyensoran dan penindasan—terutama ketika mulai mendapat pengaruh luas.
Meski begitu, demonstrasi massal menunjukkan bahwa kesadaran sedang tumbuh di Barat—masyarakat mulai mempertanyakan narasi yang selama ini disisihkan. Mereka mulai bersentuhan dengan lapisan-lapisan kebenaran yang menantang citra palsu yang dibentuk media. Jika kebenaran ini makin diketahui luas, dan jika lebih banyak warga Barat menyaksikan realitas Gaza yang kompleks dan mengerikan, kalkulasi politik bisa berubah drastis. Dukungan publik terhadap gerakan BDS saja telah menyebabkan kerugian miliaran dolar bagi kepentingan pro-Zionis. Maka, opini publik juga bisa mengutuk politisi pendukung genosida dan memberi tekanan nyata. Ini bisa menjadi pesan tegas bagi para politisi pro-Israel: mendukung Israel adalah garis merah—dan siapa yang melewatinya, bisa kehilangan suara rakyat.
Inilah pesan yang ditekankan oleh Pemimpin Revolusi Islam, Imam Khamenei, dalam khutbah Idul Fitri tahun ini:
“Bangsa-bangsa di dunia marah dan kesal atas hal-hal yang mereka ketahui. Banyak dari mereka belum mengetahui banyak perkara dan kejahatan yang terjadi. Fakta bahwa mereka sudah meneriakkan slogan-slogan melawan rezim Zionis di jalanan Eropa dan bahkan Amerika adalah karena pengetahuan mereka yang masih terbatas. Jika mereka mengetahui lebih banyak, maka protes mereka akan jauh lebih besar.”
Sumber: Khamenei.ir