Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Rahasia Daya Tarik Imam Ali bin Abi Thalib as

Apa yang menyebabkan tumbuhnya kasih dan cinta kepada Imam Ali bin Abi Thalib di hati manusia sepanjang zaman? Mengapa cinta ini tidak pernah pudar, tidak surut oleh waktu, tidak dikalahkan oleh kematian, bahkan justru semakin menguat dari generasi ke generasi? Tidak seorang pun mampu merumuskan rahasia cinta ini secara matematis—bahwa jika ini terjadi maka akibatnya pasti demikian. Cinta kepada Ali bukanlah hasil kalkulasi rasional semata, melainkan sebuah tarikan batiniah yang bekerja di wilayah terdalam jiwa manusia. Ia adalah rahasia. Rahasia yang hidup, bergerak, dan memikat hati tanpa meminta izin akal.

Imam Ali bin Abi Thalib as bukan sekadar tokoh sejarah yang dikenang, melainkan sosok yang dihadirkan kembali dalam kesadaran umat sebagai realitas hidup. Orang-orang tidak merasakan bahwa Ali telah mati; sebaliknya, mereka merasakan kehadirannya yang terus menyala. Ini menunjukkan bahwa daya tarik Ali tidak bertumpu pada keberadaan fisik. Tubuhnya tidak lagi berada di tengah kita, dan indra tidak mampu menjangkaunya. Namun cinta kepadanya justru melampaui kehadiran material. Ini menandakan bahwa cinta kepada Ali berakar pada dimensi yang lebih tinggi daripada jasad: ia berakar pada ruh dan kebenaran.

Mencintai Ali bukanlah bentuk pemujaan terhadap pahlawan sebagaimana lazim terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa. Ia juga tidak bisa direduksi semata-mata sebagai kecintaan kepada moralitas atau kemanusiaan abstrak. Benar bahwa Ali adalah manifestasi insan kamil—manusia paripurna—dan benar pula bahwa manusia secara fitri mencintai tokoh-tokoh besar kemanusiaan. Namun cinta kepada Ali melampaui batas-batas ini. Ia adalah cinta yang bersifat transenden, karena Ali bukan hanya pemilik nilai-nilai luhur, melainkan penjelmaan hidup dari nilai-nilai ilahi itu sendiri.

Imam Ali menghimpun seluruh keutamaan manusia dalam dirinya: hikmah dan pengetahuan yang mendalam, keberanian yang tak tergoyahkan, pengorbanan diri yang total, kerendahan hati yang tulus, kasih sayang terhadap kaum lemah, keadilan yang tegas, kebebasan jiwa, serta belas kasih bahkan kepada musuh. Namun sejarah telah menyaksikan banyak manusia besar dengan sifat-sifat serupa. Yang membedakan Ali adalah sentuhan ilahi yang menyelimuti seluruh eksistensinya, menjadikan setiap kebajikan itu bercahaya dan hidup. Tanpa dimensi ilahi ini, keutamaan-keutamaan tersebut tidak akan melahirkan daya tarik spiritual yang abadi.

Penyair agung Persia, Jalaluddin Rumi, dengan jeli menangkap dimensi ini ketika ia berkata dalam Matsnawi:

“Dalam keberanian engkau adalah Singa Allah,
dalam kedermawanan, siapa yang mampu mengenalmu?”

Syair ini menegaskan bahwa keberanian dan kedermawanan Ali bukan sekadar sifat etis, melainkan manifestasi kekuatan ilahi yang bekerja melalui dirinya. Inilah sebabnya Ali tidak hanya dikagumi, tetapi dicintai. Kekaguman bisa lahir dari jarak; cinta lahir dari keterlibatan ruh.

Ali dicintai karena ia memiliki hubungan suci dengan kebenaran. Tanpa disadari, hati manusia terikat kepadanya karena menemukan pada diri Ali peta jalan menuju hakikat. Ketika seseorang mencintai Ali, sejatinya ia sedang mencintai kebenaran yang beresonansi dengan fitrahnya sendiri. Dan karena fitrah manusia bersifat abadi, maka cinta kepada Ali pun tidak pernah mati. Ia terus hidup, selama manusia masih memiliki nurani.

Sejarah memberikan kesaksian hidup tentang daya tarik ini. Saudah al-Hamdaniyah, seorang perempuan pengikut Ali yang setia, berdiri di hadapan Muawiyah bin Abi Sufyan dan dengan berani melantunkan pujian untuk Ali. Ia berkata bahwa bersama jasad Ali yang dikuburkan, keadilan pun ikut dikuburkan. Ucapan ini bukan hiperbola emosional, melainkan pengakuan historis: Ali adalah poros keadilan. Ketidakhadirannya membuka jalan bagi dominasi tirani. (al-Gharat, ats-Tsaqafi)

Kesaksian yang lebih mengguncang datang dari Sha’sha’ah bin Shuhan al-Abdi, sahabat setia yang hadir pada malam pemakaman Ali. Di hadapan makam Amirul Mukminin, ia berbicara seolah berbicara kepada kebenaran itu sendiri. Ia menggambarkan Ali sebagai manusia dengan kelahiran suci, jihad agung, dan perdagangan yang menguntungkan di hadapan Allah. Kata-kata ini menunjukkan bahwa para pecinta Ali tidak memandangnya sebagai figur politik semata, melainkan sebagai poros keselamatan dan cahaya petunjuk. (Bihar al-Anwar, jil. 42)

Sha’sha’ah menegaskan bahwa Ali melihat apa yang tidak dilihat orang lain dan menjangkau apa yang tidak terjangkau oleh selainnya. Ia berdiri bersama Rasulullah saw dalam jihad, menghancurkan fondasi jahiliah, meruntuhkan syirik, dan menegakkan iman. Dengan pedang Zulfiqar, Ali tidak sekadar memenangkan pertempuran fisik, tetapi mematahkan tulang punggung penindasan. Inilah sebabnya Ali dicintai oleh kaum tertindas dan dibenci oleh para penindas. (al-Ihtijaj, ath-Thabarsi; Tarikh al-Tabari, jil. 3)

Namun dunia tidak pernah ramah kepada keadilan absolut. Banyak orang tidak sanggup menanggung ketegaran Ali. Mereka lebih memilih dunia daripada akhirat, kenyamanan daripada kebenaran. Maka tangan-tangan kekuasaan yang beku dan zalim akhirnya bangkit, menyingkirkan Ali melalui kesyahidan. Tetapi kematian Ali justru membongkar wajah para pembunuhnya dan mengabadikan Ali sebagai standar kebenaran yang tak tergantikan. (Maqatil al-Talibiyyin)

Imam Ali tidak memiliki tandingan dalam hal sahabat-sahabat yang ikhlas. Mereka mencintainya bukan karena harta atau kekuasaan, melainkan karena cahaya yang mereka temukan dalam dirinya. Riwayat hidup para pecinta Ali—yang disiksa, dibunuh, dan diusir oleh penguasa zalim seperti Ziyad bin Abih, Hajjaj bin Yusuf, dan rezim Umayyah—menjadi halaman-halaman paling agung dalam sejarah Islam. Mereka memilih Ali, meski harus kehilangan dunia. (Tarikh Ya’qubi, jil. 2; Bihar al-Anwar, jil. 44)

Pada akhirnya, rahasia daya tarik Ali terletak pada satu kenyataan: ia adalah pertemuan antara iman, akhlak, dan kebenaran ilahi dalam wujud manusia. Selama manusia masih mencari keadilan, mencintai kebenaran, dan merindukan makna hidup yang suci, selama itu pula nama Ali bin Abi Thalib akan terus hidup—dicintai, diperjuangkan, dan diikuti.


Disarikan dari buku Karakter Agung Ali bin Abi Thalib karya Syahid Murtadha Muthahhari

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT