Di tengah derasnya arus dunia yang mendorong manusia untuk mencari pengakuan, tepuk tangan, dan pujian, ada satu jalan sunyi yang justru menjadi inti dari seluruh penghambaan: ikhlas. Jalan ini tidak bersuara, tidak mencari perhatian, dan sering tersembunyi bahkan dari pandangan diri sendiri. Namun, dalam kesunyiannya, ia menjadi cahaya paling terang yang menuntun amal menuju penerimaan Ilahi.
Inilah tema pertama yang diangkat oleh Imam Khomeini dalam kitabnya yang terkenal, Arba’in Hadits—sebuah karya spiritual yang tidak hanya mengupas teks hadis, tetapi juga menelanjangi jiwa manusia dari segala kepura-puraan. Ia membuka kitab itu dengan satu dasar fundamental: ikhlas adalah fondasi seluruh bangunan agama.
Imam Khomeini memulai dengan sabda Nabi Muhammad saw:
“Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
Hadis ini sangat masyhur, tetapi terlalu sering dilupakan dalam praktik. Kita berpuasa, bersedekah, menulis, berdakwah—namun sejauh mana semua itu ditujukan hanya untuk Allah? Ataukah, sebagaimana ditulis Imam Khomeini dengan kejujuran tajam, kita menyisipkan keinginan agar “dipuji orang baik”, “dianggap alim”, atau “dicintai manusia”?
Salah satu renungan mendalam Imam Khomeini adalah bahwa amal-amal lahiriah yang tampak suci bisa saja menjadi berhala baru jika tidak disucikan oleh ikhlas. Salat bisa menjadi pertunjukan. Sedekah bisa menjadi alat pencitraan. Bahkan ibadah sekalipun, jika niatnya bukan karena Allah, justru berubah menjadi bentuk syirik tersembunyi (riya’).
Dalam bahasa Imam Khomeini: “Amal yang tidak disertai ikhlas, ibarat tubuh tanpa ruh. Ia akan roboh, sia-sia, dan tidak akan diterima di hadapan Allah.”
Beliau mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…”
(QS. al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menjadi tiang penyangga seluruh tema tentang ikhlas: agama adalah tentang ketulusan, bukan keramaian bentuk.
Tiga Tingkatan Ikhlas
Imam Khomeini membagi ikhlas dalam tiga tingkatan spiritual:
- Ikhlas Awam: Seseorang beribadah karena mengharap surga atau takut neraka. Niatnya masih tertuju pada balasan, bukan Dzat Allah itu sendiri. Ini tetap diterima, namun belum sempurna.
- Ikhlas Khawash (Khusus): Seorang hamba beramal karena mencintai Allah dan mengagungkan-Nya, bukan semata karena pahala atau azab. Ia mulai menapaki cinta Ilahi.
- Ikhlas Akhass al-Khawash: Amal dilakukan semata karena Allah, tanpa melihat pahala, cinta, atau rasa takut. Bahkan kesadaran akan keikhlasan itu pun lenyap. Ia menjadi fana dalam kehendak Ilahi.
Inilah tingkat ikhlas para nabi, para wali, dan hamba-hamba khusus yang tidak menyimpan apa pun dalam hatinya kecuali Allah.
Ikhlas adalah cahaya, dan setan adalah pemburu cahaya. Imam Khomeini dengan cermat menjelaskan tiga musuh utama ikhlas:
- Riya’: Ingin agar amal diketahui dan dikagumi orang lain.
- Ujub: Mengagumi diri sendiri dan merasa amalnya istimewa.
- Sum’ah: Menceritakan amal kepada orang lain agar didengar dan dipuji.
Setiap penyakit ini mengintai dalam detik-detik amal kita. Bahkan dalam menulis tulisan keagamaan pun, seseorang bisa tergoda untuk menyisipkan keinginan agar dianggap “alim” atau “penyampai kebenaran”. Imam Khomeini menyebut ini sebagai kesyirikan batin yang lebih berbahaya dari menyembah berhala luar.
Mengobati Diri dan Mendidik Jiwa
Bagaimana menggapai ikhlas?
Imam Khomeini tidak memberi resep instan. Beliau justru menyarankan proses panjang yang disebut “riyadhah nafsaniyyah”—latihan jiwa. Di antaranya:
- Muroqabah (menjaga niat sebelum beramal): Tanyakan pada diri sendiri, “Untuk siapa aku melakukan ini?”
- Muhasabah (menghitung diri setelah beramal): Periksa: adakah riya’? Ada ujub? Ada sum’ah?
- Mu’aqabah (menghukum diri jika tergelincir): Jika ketahuan beramal karena selain Allah, batalkan niat pujian dan kembalikan keikhlasan.
- Doa dan munajat: Mohon kepada Allah agar disucikan dari segala yang selain-Nya.
Beliau juga mengingatkan bahwa keikhlasan tidak datang sekali jadi. Ia butuh waktu, perjuangan, dan cahaya taufik dari Allah. Namun jalan itulah yang akan melahirkan amal yang diterima dan langgeng di sisi-Nya.
Ikhlas: Jalan Keselamatan Sejati
Dalam sebuah hadis qudsi yang sering dikutip Imam Khomeini:
“Ikhlas adalah salah satu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan dalam hati hamba-Ku yang Aku cintai.”
Ini adalah puncak dari segala pencapaian rohani: menjadi hamba yang dicintai Allah, bukan karena banyaknya amal, tapi karena bersihnya niat.
Ikhlas menjadikan amal yang sedikit menjadi besar. Ia menghidupkan salat malam yang sunyi, mengangkat air mata di sajadah menjadi cahaya, dan menjadikan langkah kecil di jalan Allah sebagai saksi keabadian.
Imam Khomeini bukan hanya seorang faqih dan pemimpin revolusi. Ia adalah guru jiwa yang mengenalkan kita pada inti agama: beramal karena Allah, dan hanya untuk Allah. Dalam dunia yang gaduh oleh pencitraan dan tepuk tangan, pesan Imam adalah undangan untuk kembali ke kesunyian batin, tempat di mana hanya ada satu tujuan: wajhullah, wajah Allah.
Dalam renungannya yang penuh getaran, beliau berkata:
“Jangan kau biarkan amalmu ditulis di hadapan manusia, sementara lembaranmu kosong di hadapan Tuhanmu.”
Ikhlas bukan sekadar niat di awal, tapi kesetiaan yang dijaga sepanjang amal itu berjalan. Ia adalah cahaya yang harus dirawat setiap hari, dalam setiap langkah, dalam setiap ucapan, dalam setiap pengorbanan.
Semoga kita tergolong hamba-hamba yang ikhlas—yang tidak hanya bekerja untuk Allah, tapi juga hidup bersama Allah.
Disarikan dari Hadis Pertama dalam Arba’in Hadits karya Imam Khomeini ra: Tentang Ikhlas.