Kaum materialis berpendapat bahwa sains dapat menjelaskan segala hal di alam semesta, sehingga mereka berpikir manusia tidak lagi membutuhkan Tuhan atau hal-hal supranatural. Menurut pandangan ini, seiring dengan semakin terungkapnya rahasia alam melalui sains, kebutuhan manusia terhadap konsep Tuhan akan menghilang. Kaum materialis meyakini bahwa kepercayaan pada Tuhan hanya diperlukan di masa lalu, ketika pengetahuan manusia terbatas. Dengan kemajuan sains, mereka merasa semua fenomena alam yang sebelumnya tidak diketahui bisa dijelaskan secara ilmiah, mulai dari mikroorganisme yang menyebabkan penyakit hingga faktor-faktor alam seperti gempa dan hujan.
Dari sini, kaum materialis menyimpulkan bahwa semakin banyak pengetahuan tentang alam yang dimiliki, semakin berkurang kebutuhan akan konsep Tuhan. Mereka memandang Tuhan sebagai ‘penjelasan’ untuk fenomena yang belum dipahami. Seiring sains menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak lagi dibutuhkan. Namun, banyak tokoh intelektual, bahkan ilmuwan terkemuka, mengakui bahwa pemahaman manusia tentang alam semesta sangat terbatas.
Keterbatasan Sains
Albert Einstein, seorang ilmuwan terkenal, pernah menyatakan bahwa pengetahuannya tentang alam semesta hanyalah secuil dibandingkan alam yang luas tak terhingga. Melalui analogi ini, ia menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan hanya sedikit memahami keajaiban alam. Tokoh lain, Walter Oscar L., berpendapat bahwa sains masih berada di titik awal. Ketika manusia mencoba memahami alam semesta yang begitu luas, mereka menyadari betapa kecilnya pengetahuan manusia dibandingkan misteri alam yang masih belum terpecahkan.
Seorang ahli lain, Euel Clams E., awalnya percaya bahwa sains akan mampu mengungkap semua misteri alam. Namun, semakin jauh ia meneliti, ia menyadari bahwa sains memiliki keterbatasan besar. Para ilmuwan bisa mempelajari struktur dan kuantitas benda-benda, namun pertanyaan seperti “Mengapa zat-zat itu ada?” tetap tidak terjawab.
Erwin William Neiblogh, seorang ahli biologi, berpendapat bahwa walaupun sains berupaya memahami alam, kadang-kadang malah memperlebar jarak antara manusia dan realitas. Alat-alat seperti mikroskop memungkinkan kita melihat struktur yang kecil, namun sains tetap tidak dapat menjelaskan asal-usul dasar dari benda-benda yang diamati.
Pandangan ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan masih jauh dari mampu menjelaskan alam semesta secara menyeluruh. Bagi banyak ilmuwan, apa yang belum diketahui jauh lebih besar daripada apa yang sudah dipahami. Jadi, meskipun materialis menganggap sains bisa menggantikan Tuhan, pandangan-pandangan ini mengingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan mungkin hanya mengungkap sebagian kecil dari misteri alam.
Titik Temu Kaum Teis dan Ateis
Meskipun berbeda pandangan, kaum teis (yang percaya pada Tuhan) dan materialis sama-sama menghargai pengetahuan ilmiah. Banyak ilmuwan yang beriman meyakini bahwa fenomena alam mengikuti hukum-hukum tertentu, dan penemuan ilmiah adalah upaya untuk memahami hukum-hukum tersebut. Mereka melihat keteraturan dalam alam semesta sebagai tanda adanya Pencipta yang cerdas. Dalam pandangan mereka, setiap fenomena biologis dan alam semesta ini bekerja dalam suatu sistem yang sangat rumit dan melampaui kemampuan teknologi manusia.
Baik teis maupun ateis sepakat bahwa setiap partikel dan fenomena di alam bekerja dengan mekanisme yang sangat rumit. Perbedaan utama antara keduanya adalah bagaimana mereka memandang asal mula keteraturan tersebut. Bagi teis, keteraturan ini menunjukkan adanya Tuhan Sang Pencipta, sementara kaum ateis melihatnya sebagai hasil dari proses alami tanpa desain.
Perbedaan antara Kaum Teis dan Materialis
Salah satu pertanyaan mendasar yang memisahkan teis dan ateis adalah tentang penyebab utama dari keberadaan alam ini. Dalam pandangan teis, ketika manusia melihat alat sederhana buatan manusia, mereka akan mengakui adanya perancang. Jadi, alam semesta yang jauh lebih kompleks juga harus memiliki Pencipta yang bijaksana. Bagi kaum teis, Tuhan adalah pencipta dari semua yang ada. Namun, bagi materialis, alam semesta adalah hasil dari proses alami yang tidak dirancang.
Kaum materialis meyakini bahwa alam semesta tercipta dari proses acak dan kebetulan yang melibatkan pertemuan atom-atom. Sebelum penemuan bahwa makhluk hidup tidak bisa tercipta dari benda mati, kaum materialis percaya bahwa kehidupan berasal dari luapan gas yang secara acak menghasilkan tatanan di angkasa yang memungkinkan kehidupan. Pakar materialisme modern seperti Parter Andersel menyatakan bahwa umat manusia terbentuk tanpa tujuan atau rencana, dan perasaan manusia hanyalah hasil dari reaksi kimia yang tidak direncanakan.
Materialis memberikan contoh seperti pelangi, yang menurut mereka hanya hasil dari pembiasan cahaya oleh tetesan air hujan. Mereka melihat norma-norma moral dan psikologis sebagai hasil proses alamiah tanpa campur tangan supranatural.
Pandangan Kaum Teis tentang Alam Semesta
Bagi kaum teis, penelitian ilmiah menunjukkan bahwa alam semesta ini membutuhkan Pencipta. Menurut mereka, keteraturan dan keindahan alam semesta tidak mungkin terjadi tanpa adanya perancang yang cerdas. Sebagai contoh, para teis melihat keteraturan dalam buku-buku fisika sebagai bukti adanya Pencipta yang teliti. Sama mustahilnya jika sebuah buku ilmiah dapat tercipta tanpa penulis, begitu pula dengan alam semesta yang teratur ini.
Kaum teis juga berpendapat bahwa keteraturan dalam alam memampukan ilmuwan untuk memprediksi fenomena seperti pergerakan planet, sehingga satelit dapat diluncurkan dengan perhitungan yang tepat. Keteraturan ini, bagi mereka, adalah tanda bahwa alam tidak tercipta secara kebetulan, melainkan karena adanya Sang Pencipta yang mengatur segala sesuatu.
Pandangan Saintis tentang Penciptaan
Cloudm Hezawe, seorang programmer elektronik, membandingkan penciptaan alam dengan pengalamannya dalam merancang kalkulator. Baginya, sama mustahilnya kalkulator bisa terbentuk tanpa perancangan, demikian pula dengan alam yang penuh struktur dan mekanisme kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa alam semesta membutuhkan Pencipta.
Edmund Karl Kornfield, ilmuwan lain, berpendapat bahwa proses biologis dalam sel-sel makhluk hidup begitu rumit dan seimbang, sehingga mustahil terjadi tanpa pengendalian yang bijaksana.
Bagi ilmuwan seperti Hezawe dan Kornfield, keteraturan dan kompleksitas alam menunjukkan adanya Pencipta yang bijak. Meskipun sains dan agama memiliki perbedaan pandangan, mereka memberikan perspektif yang saling melengkapi dalam upaya memahami asal usul dan keteraturan alam.
*Disarikan dari buku Sang Pencipta menurut Sains & Filsafat – Ayatullah Jafar Subhani