Pada Bulan Ramadan hari kedua tahun ini, Sayyid Ali Khamenei bertemu dengan para ulama dan qari dari berbagai negara di Husainiyah imam Khomeini. Beliau menyampaikan pesan yang mendalam dan penuh hikmah tentang Al-Qur’an—cahaya abadi yang menjadi penuntun umat di setiap liku kehidupan. Dengan nada yang sarat akan cinta dan keimanan, beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar kitab yang dibaca, tetapi mata air suci yang harus mengalir lembut ke dalam hati, pikiran, dan langkah setiap insan. “Masyarakat yang merindukan Al-Qur’an harus berupaya agar keindahan rohaninya membasahi setiap sudut kehidupan,” tuturnya, seolah menggenggam jiwa-jiwa yang mendengar untuk kembali pada esensi kitab suci ini.
Beliau melukiskan Al-Qur’an sebagai obat mujarab yang menyembuhkan segala luka batin yang kerap mengintai manusia. Iri hati yang membakar dada, kikir yang membelenggu jiwa, sinisme yang meracuni pikiran, kemalasan yang melemahkan langkah, egoisme yang memisahkan, hingga kecintaan pada gemerlap dunia yang fana—semua itu, kata beliau, menemukan penawar dalam ayat-ayat suci. “Al-Qur’an adalah penyembuh segala penyakit moral dan spiritual,” tegasnya dengan penuh keyakinan. Bagi Imam Khamenei, Al-Qur’an bukan hanya menyucikan hati individu, tetapi juga menjadi cermin yang memandu umat menuju keadilan sosial—nilai luhur yang berdiri tegak di samping keesaan Allah sebagai pilar utama Islam. Dalam kebersamaan, kitab ini mengajarkan harmoni, mengajak manusia untuk saling menguatkan dalam kemuliaan.
Lebih jauh, Imam Khamenei mengangkat Al-Qur’an sebagai kompas yang tak pernah usang, terutama ketika umat berhadapan dengan kekuatan-kekuatan arogan yang tenggelam dalam kekafiran atau kemunafikan. Di tengah dunia yang riuh dengan kezaliman, beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an menawarkan kebijaksanaan yang jernih: kapan kita harus membuka pintu dialog dengan lembut, kapan kita menjalin kerja sama dengan bijak, kapan kita menjawab dengan ketegasan, dan kapan kita harus mengangkat senjata demi membela kebenaran. “Al-Qur’an adalah petunjuk yang hidup,” ungkapnya, “relevan di setiap zaman, menuntun kita melintasi badai dan kegelapan.” Dalam pandangannya, Al-Qur’an bukan sekadar teks kuno, tetapi nafas yang terus berdenyut, memberikan arah di tengah pusaran zaman yang kerap membingungkan.
Dengan penuh kelembutan, beliau mengajak umat untuk membaca Al-Qur’an dengan tarteel—bukan sekadar melantunkan huruf, tetapi meresapi makna dengan hati yang terbuka, pikiran yang jernih, dan jeda yang penuh renungan. “Tartil adalah urusan jiwa,” katanya, seolah mengundang setiap insan untuk menyelami lautan makna di balik setiap ayat. Ketika Al-Qur’an dilantunkan dengan kesungguhan, ia menjadi kekuatan yang membangkitkan semangat kebaikan, menyalakan harapan akan keselamatan di dalam dada. Beliau mengenang tugas agung Nabi Muhammad SAW: menyucikan jiwa-jiwa, mengajarkan tata cara hidup yang mulia, dan membukakan tabir hikmah tentang rahasia alam semesta. “Para qari yang melantunkan ayat dengan cinta,” tambahnya, “sedang meneruskan jejak suci kenabian.” Bagi beliau, membaca Al-Qur’an dengan penuh kesadaran adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan misi profetik, menjadikan setiap lantunan sebagai doa yang hidup.
Imam Khamenei juga menitipkan pesan agar pemahaman Al-Qur’an tidak hanya menjadi milik para pelantun yang mahir, tetapi harus meresap ke setiap lapisan umat. “Makna ayat-ayat suci harus mengalir ke hati masyarakat luas,” katanya, menekankan bahwa Al-Qur’an adalah milik semua orang—bukan hanya mereka yang fasih melagukannya. Dalam pandangannya, keindahan Al-Qur’an terletak pada kemampuannya untuk menyentuh jiwa siapa saja yang membukakan diri, dari desa terpencil hingga kota yang ramai. Ia adalah anugerah yang harus direngkuh bersama, menjadi denyut yang menghidupkan keimanan kolektif.
Di setiap kalimatnya, beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah pelita yang tak pernah padam, terutama di tengah dunia yang penuh gejolak dan arogansi. “Semoga kepekaan terhadap kehalusan Al-Qur’an terus terjaga,” ucapnya dengan nada penuh harap, “agar cahaya rohaninya meresap ke pikiran, membasahi hati, dan membimbing setiap langkah kita.” Bagi Imam Khamenei, Ramadan adalah panggilan untuk kembali pada Al-Qur’an, bukan sekadar membukanya di atas sajadah, tetapi menjadikannya nafas yang mengalir dalam setiap detik kehidupan. Ia adalah cermin yang memantulkan kelemahan kita, penyejuk yang menenangkan kegelisahan, dan petunjuk yang menerangi jalan di tengah malam zaman. “Al-Qur’an adalah karunia teragung,” bisiknya, “yang harus kita peluk erat, tidak hanya di bulan suci, tetapi di setiap helaan nafas kita.”
Dalam pandangan beliau, Al-Qur’an adalah lebih dari sekadar kitab—itulah kehidupan itu sendiri. Ia mengajak kita untuk mendekapnya dengan penuh cinta, mendengarnya dengan hati yang terbuka, dan menjalaninya dengan langkah yang teguh. Di tengah dunia yang terus berubah, pesan Imam Khamenei menggema: Al-Qur’an adalah jawaban abadi, pelipur lara, dan penunjuk jalan menuju kedamaian yang hakiki.
Sumber: Khamenei.ir