Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Sunnah Nabi Menurut Mazhab Ahlulbait as

Sunnah Nabi saw adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah harus dipegang oleh semua umat Muslim untuk menentukan hukum dan nilai-nilai Islam. Sunnah Nabi menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, serta menjadi sumber syariah, pemikiran, dan pendidikan.

Nash Al-Qur’an kaya akan hukum yang agung dan abadi, sehingga sunnah diperlukan untuk menjelaskannya. Akal manusia tidak seluas sunnah, dan tidak bisa mengungkapnya seperti sunnah Nabi saw. Karena Rasulullah saw yang menerima wahyu, beliau pula yang mengetahui isi Al-Qur’an  secara sempurna yang berupa hukum, konsep, maksud, dan tujuan.

Oleh karena itu, sunnah Nabi adalah penolong yang abadi dan kebenaran yang tidak bisa diganggu oleh kebatilan. Seperti Al-Qur’an, sunnah juga bertujuan mengatur hidup dan kebahagiaan manusia.

Allah swt berfirman:

“Apa yang Rasul bawa untuk kalian, maka ambillah, dan apa yang Rasul larang, maka berhentilah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

“Pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Ahzab: 21)

“Jika kalian berselisih tentang suatu masalah, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa: 59)

Ahlulbait dan pengikut mereka selalu berpegang pada metode ini dalam tafsir, hadis, fikih, hukum, dan akidah. Mereka berjuang, berkorban, dipenjara, dibunuh, disiksa, dan diusir demi melestarikan dan menjaga sunnah Rasul yang suci, dan mengamalkannya bersama Al-Qur’an.

Banyak sunnah Nabi yang dipalsukan oleh pendusta dalam Islam. Mereka iri pada Nabi dan Ahlulbaitnya, dan berusaha mengacaukan risalah Allah serta menyesatkan umat Islam. Dalam situasi ini, Ahlulbait tampil sebagai pemelihara sunnah Nabi yang suci, menyampaikannya dengan benar dan jujur, serta menguraikan isinya secara mendalam. Mereka memerangi bid’ah dan kesesatan, dan menyeru agar berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Kitabullah menjadi standar untuk menguji kesahihan sunnah Nabi, karena Al-Qur’an terjaga dari pemalsuan dan penyimpangan. Allah swt berfirman, “Kami telah menurunkan Al-Qur’an, dan Kami pula yang memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)

Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as berkata, “Fitnah-fitnah telah terjadi, hawa nafsu diikuti, dan hukum-hukum dibuat menyalahi Kitabullah. Jika kebatilan itu murni, tidak akan menipu orang yang berakal, dan jika kebenaran itu murni, tidak akan ada perselisihan di umat Islam. Namun, sekarang kebenaran dan kebatilan dicampur sehingga menjadi sistem yang lain. Setan menjerumuskan para pengikutnya, tetapi orang yang mendapat kebaikan dari Allah akan selamat (berpegang pada Al-Qur’an dan Ahlulbait Nabi saw).”

Abu Bashir, salah satu sahabat Imam Shadiq as berkata, saya bertanya kepada Abu Abdillah as., “Ada beberapa masalah yang kami tidak mengetahuinya dalam Kitabullah maupun sunnah, bagaimanakah kalau kami berijtihad?” Beliau menjawab, “Jangan, sebab sekalipun engkau benar, engkau tidak akan mendapat pahala, dan jika salah berarti engkau telah berdusta atas nama Allah swt.”

Kemudian Imam Ja’far as berkata: “Telah bersabda Rasulullah saw, ‘Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat di neraka.’”

Abdullah bin Abi Ya’fur berkata, “saya bertanya kepada Abu Abdullah as tentang perbedaan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang kami percayai dan orang yang tidak kami percayai?” Beliau menjawab, “Apabila disebutkan kepada kalian suatu hadis, kemudian kalian dapatkan penyaksi dari Kitabullah atau sabda Rasulullah saw, bahwa hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang sahih, maka terimalah; jika tidak demikian, maka tinggalkanlah ia.”

Ayyub bin al-Har berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah berkata, ‘Setiap sesuatu (harus) dikembalikan kepada Kitabullah dan sunnah, maka setiap hadis yang tidak cocok dengan Kitabullah, adalah suatu kedustaan.'”

Ayyub bin Rasyid dari Abdillah Ja’far bin Muhammad Shadiq as. berkata, “Hadis yang tidak sesuai dengan al-Qur’an, itu adalah suatu kebohongan.”

Imam Shadiq as meriwayatkan bahwa datuknya Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa berpegang teguh kepada sunnahku di tengah-tengah perselisihan umatku, ia akan mendapat pahala seratus syahid.”

Seorang laki-laki datang kepada Amir al-Mukminin Ali as, seraya bertanya, “Beritahukan kepadaku tentang sunnah dan bid’ah, jamaah, dan firqah.”

Amir al-Mukminin as menjawab, “Sunnah ialah apa-apa yang disyaratkan Rasulullah saw, bid’ah ialah syariat yang diada-adakan orang setelah beliau saw, jama’ah ialah orang yang benar sekalipun sedikit, dan firqah (perpecahan) ialah orang salah sekalipun banyak.”

Beliau as juga berkata, “Sunnah itu ada dua macam: sunnah Nabi yang wajib, mengamalkannya mendapatkan petunjuk dan meninggalkannya berarti sesat; sunnah kedua adalah sunnah bukan wajib, mengamalkannya mendapatkan keutamaan (pahala), dan meninggalkannya tidak dianggap salah.”

Imam Baqir as berkata, “Setiap orang yang melampaui batas dalam sunnah (mengada-ada), harus dikembalikan/dicocokkan kepada sunnah Rasulullah saw yang sahih. Sesungguhnya sunnah Rasul itu tidak bisa diqiaskan. Bagaimana sunnah bisa diqiaskan, sementara wanita yang haid mesti mengqadha puasanya, sedangkan salat tidak mesti mengqadha.”

Amirul Mukminin Ali as berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila datang kepada kalian suatu hadis yang kacau, yang sebagian bertentangan dengan sebagian lainnya, maka itu bukanlah dariku, dan aku tidak pernah mengatakannya, sekalipun orang berkata, ‘bahwa Rasul telah mengatakannya.’ Dan bila suatu hadis datang kepada kalian, yang sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, maka itu adalah dariku, akulah yang telah mengatakannya. Barang siapa melihatku dalam keadaan telah meninggal dunia, dia seperti melihatku ketika hidup, dan siapa yang berziarah kepadaku, maka aku menyaksikan dan sebagai saksi baginya di hari kiamat.”

Demikianlah, betapa jelasnya pengertian sunnah Rasulullah saw dalam mazhab Ahlulbait as, bahwa sunnah itu mempunyai hubungan dengan Kitabullah, dan peranannya menentukan dalam pembuatan undang-undang yang berkenaan dengan kehidupan sosial serta pengabdian kepada Allah untuk umat Islam.

Kesimpulan mengenai pandangan Ahlulbait terhadap sunnah Nabi saw adalah:

  1. Semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw harus dibandingkan dengan Al-Qur’an dan harus diuji kesahihannya menurut pandangan Al-Qur’an. Bila sesuai dengan Kitabullah, maka itu benar sunnah Rasulullah saw, dan bila bertentangan dengannya, maka itu bukan sunnah Rasulullah.
  2. Al-Qur’an dan sunnah adalah sumber perundang-undangan, standar hukum, etika, dan peraturan-peraturan hidup dan kehidupan. Jika kita mendapatkan dari hukum-hukum fikih atau konsep-konsep akidah, kita wajib mencocokkannya dengan Al-Qur’an dan sunnah, maka bila hal itu berdiri di atas asas Al-Qur’an dan sunnah, maka itu adalah syariah dan undang-undang Tuhan. Kita mengamalkannya dan mensucikannya, dan segala yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah, maka itu adalah bid’ah, sesat, dan batil.
  3. Sunnah yang cocok dengan Kitabullah wajib kita terima, sebab sunnah juga merupakan standar dan alat untuk menguji hadis-hadis serta riwayat-riwayat yang kita ragukan kesahihannya. Lalu tetapkan sebagai sunnah yang sahih bisa sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah yang tetap. Kita wajib menolak sunnah yang menyalahi hal itu. Demikianlah pandangan mazhab Ahlulbait Nabi dalam meneliti sunnah yang suci.

Macam-Macam Sunnah Nabi

Para ulama membagi sunnah Nabi kepada tiga bagian:

  1. Menyangkut segala perkataan: yaitu segala sesuatu berupa hadis-hadis, khotbah-khotbah, pesan-pesan, tulisan-tulisan, dan sejenisnya yang datang dari Rasulullah saw.
  2. Mengenai segala perbuatan: yaitu segala perbuatan Rasulullah saw dalam pergaulannya dengan sesama manusia, atau pelaksanaan ibadah-ibadah ritual dan perbuatan beliau lainnya. Seluruh perbuatan Rasulullah saw (yang tidak mengandung hukum wajib dan sunnah) pada prinsipnya boleh ditiru, sebab Rasulullah saw adalah orang yang disucikan dari melakukan hal yang haram. Karena itu, kita membagi perbuatan Rasulullah saw kepada dua bagian:
    – Wajib: ialah sebagian perbuatan beliau seperti salat, haji, berlaku adil di antara sesama manusia. Dalam hal ini kita wajib menetapinya dan melaksanakan hukum-hukumnya.
    -Mubah atau mustahab: yaitu perbuatan-perbuatan Rasulullah saw yang tidak wajib dilaksanakan. Termasuk ke dalamnya, semua yang halal boleh dikerjakan.

    Perbuatan Rasulullah saw itu memerlukan penjelasan agar kita mengetahui mana yang wajib, yang mustahab atau mubah. Yang mengklasifikasikan sunnah-sunnah Nabi ialah para ulama yang memiliki keahlian tentang masalah ini berdasarkan dalil-dalil yang lain, dan berdasarkan cara-cara pembahasan pokok lainnya dalam memahami dan menjelaskan perbuatan Rasulullah.

  3. Taqrir (ketetapan): yaitu diamnya Rasulullah saw dari perbuatan yang dilakukan sebagian manusia di zamannya, dan beliau mengetahui perbuatan itu tetapi tidak melarangnya, seperti hubungan sosial dan perlakuan individu. Hal itu dianggap iqrar (ketetapan dan persetujuan) Rasulullah saw yang mulia, hal ini yang dimaksud dengan sunnah.

*Disadur dari buku Mengenal Lebih Jauh Ahlulbait – Muasasah al-Balagh

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT