Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tepi Barat: Luka Dalam yang Tak Pernah Disiarkan

Oleh Sayyid Mustafa Hosseini – Pakar Kajian Zionisme

Khamenei.ir – Di tengah dunia yang setiap hari dibanjiri kabar kilat dan gambar kehancuran dari Gaza, ada sebuah luka Palestina yang nyaris tak terdengar jeritannya. Luka itu bernama Tepi Barat. Sebuah wilayah hijau, sakral, dan bersejarah, yang hari ini terengah-engah seperti luka dalam yang tersembunyi di balik keheningan media global. Gencatan senjata yang rapuh di Gaza sejak November 2025 ternyata bukanlah akhir dari penderitaan Palestina. Sebaliknya, ia justru menjadi tirai asap yang memungkinkan rezim Zionis memperketat cengkeramannya di Palestina bagian utara: Tepi Barat.

Analisis ini bertumpu pada data mutakhir lembaga internasional—khususnya Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA)—serta laporan lapangan terverifikasi dari sumber Palestina dan internasional. Namun tulisan ini tidak sekadar menyajikan statistik kekerasan pemukim. Ia mengajak pembaca merenung lebih dalam tentang makna sejati persoalan Palestina. Hari ini, Tepi Barat menuntut perhatian dunia dengan urgensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tanpa perhatian itu, gagasan tentang Palestina yang utuh—cita-cita lintas generasi—akan terkubur selamanya.

Pendudukan Tepi Barat bukanlah peristiwa sesaat, melainkan sebuah sistem terstruktur yang menginjak-injak hak asasi jutaan rakyat Palestina. Bukti-bukti terdokumentasi menunjukkan bahwa kesenyapan media bukanlah kelalaian, melainkan alat yang disengaja untuk melanggengkan proyek kolonial. Berdirinya negara Palestina yang merdeka bukanlah aspirasi emosional, melainkan hak asasi yang tak terbantahkan.

Kesempatan Emas Penjajah dengan Lampu Hijau Washington

Pasca gencatan senjata Gaza, rezim Zionis—dengan keberanian yang berlipat dan restu terang-terangan dari Amerika Serikat—meningkatkan agresi pendudukannya di Tepi Barat. Pendudukan ini tidak hanya diwujudkan lewat tembok beton dan pos pemeriksaan yang mencekik, tetapi juga melalui proyek strategis mematikan. Proyek ini bertujuan menghubungkan Al-Quds Timur dengan blok permukiman ilegal Ma’ale Adumim, yang secara efektif membelah Tepi Barat menjadi dua bagian terpisah: utara dan selatan. Jika rencana ini terwujud sepenuhnya, maka kemungkinan berdirinya negara Palestina yang berdaulat dan menyatu akan dikubur secara permanen.

Pada Agustus 2025, pemerintahan Netanyahu memberikan persetujuan final untuk pembangunan lebih dari 3.400 unit permukiman baru di wilayah E1—sebuah langkah yang sebelumnya tertahan selama bertahun-tahun akibat tekanan internasional. Namun kali ini, pemerintahan Trump tidak menyampaikan keberatan sedikit pun. Bahkan duta besar baru AS untuk Tel Aviv, Mike Huckabee—seorang Zionis Kristen yang secara terbuka menyebut ekspansi permukiman sebagai “hak ilahi bangsa Yahudi”—membela rencana tersebut sebagai “langkah penting bagi keamanan Israel”.

Dukungan terbuka Huckabee, ditambah dengan kebisuan Departemen Luar Negeri AS, mengirim pesan yang sangat jelas kepada Netanyahu: tidak ada batas, tidak ada konsekuensi.

Inilah yang dimaksud Imam Khamenei ketika pada 27 November 2025 beliau menyatakan bahwa agresi rezim Zionis di Lebanon, Suriah, Tepi Barat, dan Gaza dilakukan dengan dukungan penuh Amerika Serikat—dan karena itu, Amerika kehilangan martabatnya di mata dunia. Setiap buldoser yang meratakan tanah di E1 bergerak dengan dana Amerika dan restu diplomatik Washington. Setiap izin pembangunan dilindungi oleh bayang-bayang veto AS di Dewan Keamanan. Dukungan tanpa syarat ini tidak hanya menyemangati kejahatan, tetapi juga melumpuhkan nurani global.

Penjara Terbuka Bertembok Beton Setinggi Sembilan Meter

Di luar ekspansi permukiman, rezim pendudukan telah mengubah Tepi Barat menjadi penjara terbuka melalui jaringan tembok beton setinggi sembilan meter dan lebih dari 700 pos pemeriksaan permanen maupun bergerak. Tembok ini telah dinyatakan bertentangan dengan hukum internasional oleh Mahkamah Internasional pada 2004 dan diperintahkan untuk dibongkar oleh Majelis Umum PBB. Namun, alih-alih dihentikan, tembok itu justru diperluas dan diperkuat dengan sistem izin diskriminatif berwarna kuning dan hijau.

Sistem ini merendahkan kebebasan bergerak jutaan warga Palestina menjadi sekadar izin sesaat yang diberikan tentara pendudukan. Laporan PBB tahun 2025 mencatat warga Palestina menghabiskan berjam-jam setiap hari dalam antrean memalukan. Ambulans dihentikan, perempuan melahirkan di pos pemeriksaan, pasien meninggal karena terlambat mendapat perawatan. Seperti ditegaskan Pelapor Khusus PBB, sistem ini bukan dirancang untuk keamanan, melainkan untuk mengokohkan apartheid spasial—memecah Tepi Barat menjadi lebih dari 165 kantong terisolasi.

Tembok dan pos pemeriksaan ini bukan alat pertahanan. Ia adalah rantai besi yang mengikat tubuh Palestina, mengikis daging dan tulang tanahnya, serta menghapus peta geografis Palestina yang utuh.

Kesenyapan Media: Keterlibatan dalam Kejahatan

Kesunyian media bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari strategi. Ketika Gaza mendominasi layar global, kehancuran di Tepi Barat—termasuk pembongkaran ratusan rumah sepanjang 2025—didorong ke pinggir. Padahal secara hukum, pendudukan ini jelas melanggar Konvensi Jenewa Keempat dan Resolusi DK PBB 2334. Namun pada 2025, ribuan unit permukiman baru tetap disetujui. Angka-angka ini bukan statistik dingin, melainkan potret penderitaan jutaan manusia yang terputus dari tanah leluhurnya. Tanpa intervensi global, jantung Palestina ini akan berhenti berdetak.

Jika pendudukan adalah akar, maka kekerasan pemukim adalah cabangnya. Tahun 2025 mencatat rekor serangan pemukim tertinggi sejak 2006. Oktober 2025 menjadi bulan paling brutal, dengan lebih dari 260 serangan—dari pembakaran kebun zaitun hingga penyerangan bersenjata. Sepanjang tahun itu, 178 warga Palestina tewas. Serangan ini sistematis, meluas ke lebih dari 80 desa.

Bayangkan petani Palestina di musim panen zaitun—simbol identitas ribuan tahun—berhadapan dengan api dan senjata. Pada November 2025, sebuah masjid dibakar. PBB memperingatkan bahwa ini bagian dari proses pembersihan etnis. Kekerasan pemukim ilegal zionis bukanlah membela diri, melainkan kampanye perampasan tanah.

Hukuman Mati Terhadap Warga Palestina: Apartheid yang Telanjang

Pada 11 November 2025, Knesset menyetujui pembacaan pertama RUU “Hukuman Mati Wajib” yang secara praktis hanya berlaku bagi warga Palestina. Amnesty International menyebutnya langkah menuju apartheid yang dilegalkan. Sementara pemukim pembunuh bebas dari hukuman, warga Palestina diancam eksekusi tanpa keadilan. Ini melanggar hak hidup yang dijamin hukum internasional.

Penjara Tanpa Kejahatan

Lebih dari 10.500 warga Palestina ditahan pada November 2025, termasuk 3.500 dalam penahanan administratif tanpa dakwaan. Banyak di antaranya anak-anak. Penahanan sewenang-wenang ini menghancurkan kehidupan dan menutup jalan menuju perdamaian sejati.

Jika Tepi Barat Mati, Palestina Dikubur

Tepi Barat adalah rumah bagi 2,8 juta warga Palestina dan 60 persen sumber daya alam Palestina. Tanpanya, perjuangan Palestina pincang. Jika dunia terus diam, maka bukan hanya Gaza atau Tepi Barat yang hilang, melainkan Palestina itu sendiri. Diam adalah keberpihakan pada penjajah. Palestina yang bersatu adalah hak yang tak dapat dicabut—dan waktu untuk bertindak adalah sekarang.

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.