Manusia memiliki dua dimensi: dimensi malakuti atau rahmani, yang disebut roh, dan dimensi materi, yang disebut jisim atau fisik. Kedua dimensi ini menyebabkan manusia memperoleh kesempurnaan dan kedudukan di sisi Allah, sehingga ia menjadi orang yang pantas diajak bicara dan dipanggil oleh Allah.
Memuaskan Dimensi Rahmani
Hal yang penting dalam pandangan Islam adalah memuaskan dan memberi makan pada kedua dimensi ini. Sebagaimana dimensi malakuti memerlukan makanan dan perlu dipuaskan, demikian pula dimensi materi, segala naluri dan kecenderungannya pun harus dipuaskan. Jika dimensi malakuti seseorang binasa atau mati dan tidak diberi makan, maka orang itu pun akan binasa. Manusia itu akan menjadi lebih buas daripada anjing liar.
Demikian pula, jika dimensi materi, yaitu naluri dan kecenderungan, tidak segera dipuaskan, manusia tidak dapat menjalankan aktivitas dengan baik dan dihadapkan pada kesulitan. Banyak orang mati dalam dimensi rohaninya. Oleh karena itu, ketika kita membaca Al-Qur’an dan riwayat-riwayat Ahlulbait as, kita menemukan bahwa mereka mewasiatkan agar kedua dimensi tersebut sama-sama diperhatikan, tidak hanya satu dimensi saja yang dipuaskan. Sebagaimana fisik memerlukan makanan siang dan malam, demikian pula dimensi rohani.
“Dan dirikanlah salat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan buruk.” (QS. Hud : 114)
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan buruk”, bukan berarti salat menghapuskan dosa, meskipun terdapat pengertian demikian. Makna yang dimaksud adalah tegakkanlah salat untuk menghapuskan karat kalbu dan menghilangkan kejelekan-kejelekan itu.
“Dirikanlah salat dari matahari tergelincir sampai gelap malam dan [dirikanlah pula salat] subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan.” (QS. al-Isra’: 78)
“Dan salat subuh, karena salat subuh itu disaksikan”, barangkali artinya, seluruh karakteristik (keistimewaan) yang terdapat pada salat zuhur, ashar, magrib, dan isya terdapat dalam salat subuh. Anda masih memiliki salat lain, yaitu salat malam.
“Dan pada sebagian malam, salatlah tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isra’: 79)
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. al-Ahzab: 42)
Imam Jafar ash-Shadiq as berkata, “Allah menjadikan batasan tertentu bagi setiap kewajiban dan mustahab (ibadah sunah). Namun, Dia tidak memberikan batasan pada zikir dalam ayat ini. Allah Swt berkata, “Salatlah 17 rakaat dalam salat fardu dan 15 rakaat dalam salat mustahab dalam satu tahun sekali. Namun, ketika sampai pada sebutan zikir, Allah berkata, ‘Dikran katsiran (berzikirlah sebanyak-banyaknya).'”
Selanjutnya, setelah sebelas kali bersumpah, Allah berfirman, “Dan sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (QS. asy-Syams]: 9)
Di dalam Al-Qur’an tidak terdapat ungkapan yang banyak memiliki ta’kid (penegasan), kecuali di dalam surah ini (asy-Syams). Di dalamnya, Allah bersumpah sebelas kali.
“Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams [91]: 10)
Kemudian, Dia juga berfirman, “Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah.” (QS. az-Zumar: 22)
“Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk [menerima] agama Islam …” (QS. az-Zumar: 22)
Ayat-ayat seperti ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an. Mereka menekankan pentingnya dimensi malakuti dan menyatakan bahwa jika kamu tidak memperhatikannya, hatimu akan berkarat, menjadi keras, dan tidak beruntung selamanya. Oleh karena itu, dalam banyak riwayat disebutkan bahwa jika manusia berdosa, maka di dalam hatinya akan muncul noda hitam. Jika ia tidak bertobat dan melakukan kemaksiatan sekali lagi, maka noda hitam itu akan membesar dan meluas. Jika noda hitam itu menutupi seluruh permukaan hati, maka ia tidak akan beruntung untuk selamanya.
Memuaskan Dimensi Materi
Selain Al-Qur’an memperhatikan pemberian makanan terhadap dimensi malakuti dan rohani, seperti di dalam firman-Nya, “Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah,” (QS. az-Zumar: 22),
Dia juga menyoroti pentingnya pemuasan dimensi materi atau naluri, seperti di dalam firman-Nya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap [memasuki] masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf: 31)
“Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pula yang mengharamkan rezeki yang baik?'” (QS. al-A’raf: 32)
“Wahai Nabi, katakanlah kepada orang-orang yang tidak mau kawin, makan, dan minum, serta mengasingkan diri dari masyarakat dengan tujuan meninggalkan urusan keduniaan, bahwa perbuatan kalian adalah perbuatan kaum Yahudi. Siapakah yang mengatakan bahwa seorang Muslim harus demikian? Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan?’ Kemudian, Dia mengatakan bahwa ini adalah perhiasan Allah dan rezeki yang baik bagimu. Semua itu diciptakan untuk manusia Muslim. Orang kafir mengambil manfaat darinya karena keberadaanmu. Allah menciptakannya untukmu. Penyebab keberadaannya adalah keberadaanmu. Kenikmatan-kenikmatan ini dinikmati bersama-sama antara kamu dan orang kafir di dunia ini. Namun, ia dikhususkan bagimu di akhirat.”
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan] negeri akhirat.” (QS. al-Qashash: 77)
Mulla Muhsin al-Faidh al-Kasyani ra menukil sebuah riwayat bahwa telah sampai kabar kepada Rasulullah saw bahwa tiga orang pemuda Madinah mengasingkan diri dari masyarakat. Setelah turun ayat tentang siksaan, mereka pun merasa takut. Oleh karena itu, mereka meninggalkan Madinah dan pergi ke tengah padang sahara untuk memperbanyak ibadah. Salah seorang di antara mereka telah bernazar bahwa ia tidak akan menikah untuk selamanya. Seorang lagi bernazar bahwa ia tidak akan memakan makanan lezat untuk selamanya. Demikian pula, orang ketiga bernazar bahwa ia tidak akan bergaul dengan masyarakat.
Menurut Islam berdasarkan fatwa seluruh ulama, nazar demikian tidak sah. Sebab, nazar harus merupakan sesuatu yang dapat diterima (akseptabel). Sementara itu, menurut para ahli fiqih, nazar seperti itu tidak dapat dibenarkan. Rasulullah saw tidak peduli apakah nazar mereka keliru atau tidak. Namun yang penting, beliau harus mencegah bid’ah ini. Oleh karena itu, beliau datang ke masjid di luar waktu biasanya. Dengan tergesa-gesa beliau melepaskan jubah luarnya. Salah satu lengan jubahnya dilekatkan pada pundaknya, sedangkan lengan jubah lainnya dibiarkan terbentang di punggungnya. Beliau datang ke masjid dengan terburu-buru, lalu beliau memerintahkan Bilal agar mengumandangkan adzan dan mengumpulkan orang-orang.
Lalu, apa yang terjadi? Orang-orang berkumpul dan meninggalkan pekerjaan mereka. Mereka semua, baik laki-laki maupun perempuan, berkumpul untuk mengetahui apa yang terjadi. Rasulullah saw berdiri pada anak tangga pertama untuk menjelaskan apa yang terjadi. Beliau bersabda, “Wahai manusia, aku menikah, padahal aku adalah seorang nabi. Walaupun aku seorang nabi, aku pun memakan makanan lezat, hadir di tengah-tengah masyarakat, dan bergaul dengan orang lain.”
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Husain Mazhahiri – Mengendalikan Naluri