Sejak kelahirannya, rezim Zionis berdiri di atas penindasan dan penjajahan. Dengan semboyan palsu “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”, mereka merampas Palestina dan menjadikannya panggung tragedi kemanusiaan terbesar abad modern. Kini, setelah hampir delapan dekade, wajah asli proyek itu semakin jelas: membangun “Israel Raya” dari Sungai Nil hingga Efrat. Pertanyaannya: apakah proyek ini menjamin keamanan kawasan, atau justru meluluhlantakkan fondasi perdamaian?
Awal Sebuah Proyek Kolonial
Tahun 1948 menandai lahirnya apa yang disebut “Negara Israel.” Namun bagi bangsa Palestina, tahun itu adalah Nakba—bencana besar. Lebih dari 700.000 orang terusir dari tanah kelahirannya, sekitar 500 desa dihancurkan, dan sejarah panjang Palestina hendak dihapus.
Dokumen militer Israel bahkan menegaskan: perang 1948 hanyalah satu babak dalam rangkaian konflik yang harus terus mereka menangkan demi memperluas batas wilayah. Dengan kata lain, proyek ekspansi bukan kebijakan sesaat, melainkan strategi jangka panjang yang diwariskan dari satu generasi Zionis ke generasi berikutnya.
Slogan Palsu, Realitas Berdarah
Slogan “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah” adalah propaganda yang menipu. Analis politik Arab, Ihsan al-Faqih, menyebutnya sebagai strategi kebohongan: “Bohong, bohong lagi, dan ulangi hingga dipercaya orang.” Melalui retorika inilah Zionis berusaha melegitimasi kolonisasi, sekaligus menafikan eksistensi bangsa Palestina yang berakar ribuan tahun di tanah itu.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa Palestina adalah rumah peradaban besar, pusat kebudayaan Arab-Islam, dan tanah yang dipenuhi masjid, gereja, serta simbol religius. Dengan menuduh tanah itu kosong, Zionis sejatinya bukan hanya merampas hak kepemilikan, tetapi juga mencabut akar sejarah seluruh bangsa.
“Israel Raya”: Mimpi yang Menjadi Doktrin
Cita-cita “Greater Israel” bukanlah wacana pinggiran, melainkan doktrin ideologis. Theodor Herzl, bapak Zionisme, telah menulis gagasan “kedaulatan Israel dari Nil hingga Efrat.” Ze’ev Jabotinsky, tokoh Zionis sayap kanan, pada 1923 bahkan terang-terangan menyebut bangsa Arab sebagai musuh yang harus dihancurkan agar tunduk.
Tak heran bila Benjamin Netanyahu, yang kini memimpin, menyebut Jabotinsky sebagai figur inspirasinya. Netanyahu sendiri pernah mengaku: “Saya menjalankan misi sejarah dan spiritual untuk mewujudkan Israel Raya.” Pernyataan itu bukan sekadar retorika politik, melainkan refleksi dari garis ideologi rezim Zionis.
Ucapan serupa datang dari pejabat lain, seperti Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel, yang berkata: “Kami ingin negara Yahudi yang membentang dari Yordania, Arab Saudi, Mesir, hingga Irak, Suriah, dan Lebanon.” Pernyataan ini menegaskan: proyek ekspansi tidak berhenti di Palestina, tetapi mencakup seluruh kawasan Arab.
Rasa Rakus yang Tak Pernah Puas
Sejarah membuktikan kerakusan Israel:
- 1948 (Nakba): 700.000 warga Palestina terusir, 500 desa dihancurkan.
- 1967 (Perang Enam Hari): Tepi Barat, Yerusalem Timur, Gaza, Golan (Suriah), dan Sinai (Mesir) direbut.
- 1982 (Invasi Lebanon): pasukan Zionis menembus hingga Beirut.
- 2000: baru setelah perlawanan Hizbullah, mereka hengkang dari sebagian Lebanon Selatan, meski masih menduduki Shebaa Farms dan Kfar Shouba.
- 2024: proyek kolonisasi terbesar 30 tahun terakhir, 10.640 dunam Tepi Barat direbut hanya dalam setahun. 1 dunam = 1.000 meter persegi. Artinya, 10.640 dunam sama dengan 10,64 juta meter persegi atau sekitar 1.064 hektar—setara dengan lebih dari 1.500 lapangan sepak bola internasional.
Kini, 85% tanah Palestina telah dikuasai. Bangsa yang pernah hidup rukun di tanah airnya, kini tersisa di enklave kecil yang terus ditekan.
Meluas ke Negara Arab: Suriah, Mesir, Lebanon
Ekspansi Zionis tidak berhenti pada Palestina. Mereka melihat seluruh Timur Tengah sebagai ladang ekspansi.
- Suriah: Jabal al-Sheikh (Gunung Hermon) dan Quneitra direbut, sementara Dataran Tinggi Golan dianeksasi permanen.
- Mesir: Sinai sempat diduduki, walau akhirnya dikembalikan pasca Perjanjian Camp David—yang ironisnya menormalisasi hubungan dengan Israel.
- Lebanon: invasi 1982 menunjukkan bahwa Israel tak segan menduduki hingga ke ibu kota negara tetangga.
Analis James M. Dorsey menilai tindakan Israel sebagai “sinyal berbahaya” yang menunjukkan proyek pembangunan imperium. Bahkan media Zionis Haaretz pun mengakui sulit menolak kenyataan bahwa Israel tengah membangun imperium regional.
Antara Normalisasi dan Perlawanan
Di tengah agresi ini, sebagian negara Arab justru berlomba-lomba menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv. Mereka percaya, dengan normalisasi, keamanan dan stabilitas akan tercapai. Namun sejarah berbicara sebaliknya.
Sejak Mesir menandatangani Camp David 1979, apakah keamanan kawasan meningkat? Justru Zionis makin agresif di Gaza, Lebanon, dan Suriah. Kini, dengan “Abraham Accords,” UEA, Bahrain, bahkan Maroko bergabung, tetapi darah Palestina tetap mengalir.
Pertanyaan yang muncul: apakah mungkin keamanan lahir dari tangan penjajah? Atau justru, normalisasi hanyalah pintu yang memuluskan proyek “Israel Raya”?
Perspektif Republik Islam: Peringatan yang Terbukti
Lebih dari 30 tahun lalu, Sayyid Ali Khamenei, sudah memperingatkan: “Zionis tidak pernah meninggalkan tujuan mereka. Dari Nil hingga Efrat tetap menjadi mimpi yang ingin diwujudkan. Strateginya adalah menancapkan kaki dengan tipu daya, lalu maju sejauh mungkin dengan pembunuhan dan kekerasan.”
Hari ini, kata-kata itu terbukti. Dari Palestina hingga Suriah, dari Gaza hingga Lebanon, semuanya menjadi saksi kerakusan Zionis.
Penutup: Proyek Kolonial Berkedok Keamanan
Maka jelaslah, “Israel Raya” bukan sekadar mimpi ideologis, melainkan strategi nyata yang menimbulkan nestapa regional. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Israel mengincar ekspansi, melainkan: sampai di mana umat Islam akan membiarkan proyek ini terus melaju?
Di hadapan sejarah yang getir ini, dunia Islam hanya punya dua pilihan:
- Tertipu normalisasi, yang hanya mempercepat penghapusan Palestina.
- Menguatkan perlawanan, baik politik, budaya, maupun spiritual, sebagaimana dilakukan Hizbullah, rakyat Gaza, dan gerakan Islam lainnya.
Bagi Republik Islam, isu Palestina bukan sekadar politik, melainkan kewajiban iman. Imam Khomeini menegaskan: “Palestina adalah persoalan Islam, bukan persoalan bangsa semata.”
Kini, medan ujian itu ada di depan mata. Apakah kita rela masa depan umat diinjak oleh penjajah, ataukah kita bangkit melawan arsitek perang yang berwajah kolonialis?
Sumber: Khamenei.ir