Zulhijjah selalu datang membawa getaran ruhani yang berbeda. Ia bukan sekadar penutup bulan-bulan haram atau tempat ibadah haji berlangsung. Ia adalah puncak dari dua perjalanan besar dalam sejarah Islam: perjalanan ruh menuju Tuhan dalam ritual haji, dan perjalanan umat menuju kepemimpinan sejati dalam peristiwa Ghadir Khum. Dua peristiwa ini bukan hanya ritus atau kenangan sejarah; keduanya adalah panggilan kepada tanggung jawab.
Dalam gemuruh talbiyah dan takbir, berjuta umat manusia meninggalkan kehidupan duniawi sejenak, mengenakan pakaian putih ihram, lalu berdiri sejajar di hadapan Tuhan. Ali Syariati menyebut haji sebagai “drama eksistensial manusia”, di mana seorang hamba melepaskan semua atribut sosialnya, kembali pada kefitrahan, lalu dengan tubuh dan jiwa yang dibersihkan ia kembali kepada asalnya. Ihram bukan kain semata, tapi simbol pernyataan: aku bukan milik dunia, aku adalah milik Tuhan.
Syariati melihat haji bukan sebagai pelarian dari realitas, melainkan latihan untuk kembali ke masyarakat dengan kesadaran baru. Sa’i bukan lari-lari antara dua bukit, tapi simbol perjuangan. Wukuf bukan hanya berdiri, tapi momen merenung tentang siapa kita dan untuk apa kita hidup. Melempar jumrah bukan sekadar melempar batu, tapi tindakan simbolik untuk membuang segala bentuk kezaliman, baik dalam diri maupun dalam masyarakat.
Pandangan ini berpadu dengan kedalaman spiritual yang dijelaskan oleh Ayatullah Jawadi Amuli. Dalam kitab Adabi Hajj, beliau menulis bahwa setiap gerak dalam haji adalah latihan untuk ma‘rifat—pengakuan atas kebesaran Tuhan dan kehinaan ego. Ia mengingatkan bahwa tidak ada maqam ruhani tanpa akhlak, tidak ada ibadah sejati tanpa kesadaran sosial. Bagi beliau, melempar jumrah bukan hanya melawan setan metafisik, tapi juga berani menolak sistem-sistem batil yang menjerat umat manusia. Haji, kata beliau, adalah proses pengenalan yang harus berbuah tanggung jawab. Jika seseorang pulang dari haji tanpa menjadi pribadi yang lebih peduli, lebih jujur, lebih sadar, maka hajinya belum selesai.
Pandangan kedua tokoh ini—Syariati yang revolusioner dan Jawadi Amuli yang kontemplatif—bertemu dalam satu titik: haji bukan tujuan akhir, tapi titik tolak. Titik tolak untuk menjadi agen perubahan. Dan inilah yang ditekankan pula oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam ceramah kelima belasnya. Seorang mukmin sejati, kata beliau, tidak puas hanya menjadi pribadi yang baik. Ia harus menjadi cahaya yang menyinari sekelilingnya. Kesalehan pribadi yang tidak mengalir ke dalam kepedulian sosial adalah bentuk kejumudan. Keimanan, sejatinya, bukan hanya tentang bagaimana kita bersujud, tapi bagaimana kita berdiri menghadapi ketidakadilan.
Muthahhari menolak keras pola pikir bahwa agama hanya urusan pribadi antara hamba dan Tuhan. Agama, dalam pandangannya, adalah energi transformasi. Ia menyalakan nurani dan menggugah kesadaran. Ia membuat manusia gelisah ketika melihat ketimpangan. Ia memanggil jiwa-jiwa yang tenang untuk turun tangan ketika masyarakat larut dalam kelalaian. Mukmin sejati bukanlah mereka yang menarik diri dari hiruk-pikuk sosial dengan dalih menjaga kesucian, tetapi mereka yang masuk ke dalam pusaran umat dan menjadi teladan.
Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana haji adalah latihan transformasi diri, dan peristiwa Ghadir Khum adalah penegasan arah dari transformasi itu. Rasulullah tidak hanya menyampaikan risalah, tapi juga menunjukkan siapa yang layak membimbing umat setelahnya. Ghadir bukan sekadar pengangkatan seseorang sebagai pemimpin; ia adalah penegasan prinsip bahwa umat ini hanya bisa selamat bila dipimpin oleh orang yang bersih, berilmu, dan terjaga. Bahwa agama tanpa kepemimpinan yang benar akan kehilangan arah, dan masyarakat tanpa pemimpin ilahi akan tersesat dalam gelombang hawa nafsu.
Ghadir adalah penutup spiritual Zulhijjah yang membuka cakrawala peradaban baru. Jika haji adalah perjalanan vertikal menuju Tuhan, maka Ghadir adalah perintah untuk kembali ke bumi dengan amanat kepemimpinan. Dari Mina ke Madinah, dari Arafah ke Kufah, dari Ka‘bah ke Ghadir—semua adalah jalan pengabdian yang menuntut kesadaran kolektif. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa aku adalah mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.” Kalimat ini tidak hanya bermakna loyalitas pribadi, tetapi perintah untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Ali adalah simbol kebenaran, keberanian, keadilan, dan ilmu. Maka setia pada Ali artinya setia pada nilai-nilai itu di tengah masyarakat.
Kini, kita dihadapkan pada pilihan: apakah kita ingin menjadi bagian dari umat yang hanya menjalani ibadah secara simbolik, ataukah kita siap menjadi agen perubahan yang membawa ruh haji dan semangat Ghadir dalam kehidupan sehari-hari? Kita mungkin bukan para nabi, bukan pula para imam, tapi kita bisa memilih untuk berada di barisan mereka. Menjadi pengikut setia yang membawa cahaya di tengah gelapnya zaman.
Zulhijjah mengingatkan kita bahwa keimanan sejati selalu bermuara pada aksi. Kita tidak dipanggil hanya untuk menangis di depan Ka‘bah, tapi juga untuk berdiri menegakkan keadilan di tengah umat. Kita tidak diminta hanya untuk mencium Hajar Aswad, tapi juga untuk menggenggam erat prinsip-prinsip kebenaran. Kita tidak diutus hanya untuk berjalan di antara tenda-tenda Mina, tapi juga untuk berjalan bersama rakyat dalam memperjuangkan harkat mereka.
Jika haji adalah momen membersihkan hati, dan Ghadir adalah momen menegaskan jalan kebenaran, maka bulan Zulhijjah adalah undangan agung untuk menjadi pribadi yang lebih dari sekadar baik: menjadi pembaharu. Menjadi penyeru cahaya. Menjadi wakil-wakil kecil dari ruh Ali yang tegak memikul kebenaran.
Referensi
- Syariati, Ali. Hajj: Reflections on Its Rituals.
- Jawadi Amuli, Ayatullah. Adabi Hajj dan Hajj dar Ayeneh-i Ma‘rifat.
- Muthahhari, Murtadha. Spiritual Discourses, Ceramah ke-15.