Kematian merupakan langkah pertama untuk memulai kehidupan baru bagi manusia. Rasulullah Saw bersabda: “Kematian adalah satu langkah pertama dari beberapa langkah untuk menuju akhirat dan merupakan langkah terakhir dari beberapa langkah di dunia.”
Dengan demikian, mengenali keutamaan dari perihal ini, menurut Alquran, adalah satu hal yang sangat penting. Kematian adalah hilangnya kemampuan atas sesuatu. Terkadang kematian bisa digunakan untuk jasad dan terkadang juga digunakan untuk roh. Ketika makna kematian digunakan untuk jasad maka maksud dari kematian adalah badan kehilangan segala bentuk kemampuan untuk bergerak.
Di saat kita mengartikan makna kematian untuk roh maka maksud dari kematian adalah hilangnya alat (jasad) yang ia gunakan darinya. Pada hakikatnya, roh tidaklah mati. Ia hanya berpindah dari satu jenjang ke jenjang yang lain dari kehidupan. Dengan ini, penggunaan kalimat kematian bagi manusia adalah hilangnya potensi badan (jasad) sebagai alat bagi roh dan keduanya telah berpisah satu sama lainnya.
Baca: Jenis-Jenis Kematian dalam Alquran
Apakah kematian adalah sebuah Ketiadaan? Dan apakah manusia benar-benar binasa dengan kematian? Ketika tiba kematian, malaikat menjemput roh (non-materi). Setelah itu bagian-bagian tubuh akan binasa. Maksudnya, hakikat manusia (yakni roh manusia) berpindah dari satu jenjang menuju ke jenjang yang lain dari perjalanan kehidupan. Amirul Mukminin Ali a.s. berkata: “Wahai manusia! Kami dan kalian semua diciptakan untuk tetap ada, tidak untuk kefanaan. Adapun ketika kematian datang menjemput, kita berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain.” (Bihar al-Anwar, 6/133)
Imam Husain a.s. berkata kepada para pengikutnya: “Wahai para pemberani, bersabarlah! Sesungguhnya kematian adalah jembatan bagi kalian agar kalian dapat keluar dari segala jenis kesulitan menuju ke taman-taman yang luas dan nikmat-nikmat yang tidak pernah terputus. Siapakah di antara kalian yang menganggap buruk perpindahan dari penjara menuju ke istana?” (Al-Irsyad, hal. 127)
Kematian adalah hukum alam yang pasti dan berlaku bagi siapa pun. Menurut Alquran dan hadis-hadis Islam, kematian bagi manusia dan alam semesta merupakan hukum alam yang pasti dan setiap makhluk tidak mungkin bisa lari darinya. Alquran menjelaskan:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali imran:185)
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. an-Nisa:78)
Banyak dari manusia yang tidak mengimani akan adanya Hari Kebangkitan, tidak mengenal kematian atau merasa takut akan balasan dari dosa-dosa yang sudah mereka lakukan. Mereka merasa takut terhadap kematian. Satu kelompok menganggap bahwa kematian merupakan akhir dari kehidupan. Dengan ini, mereka merasa takut terhadap kematian. Tetapi bagi mereka yang meyakini keberadaan Hari Kebangkitan dan memahami bahwa kematian merupakan satu jenjang baru bagi kehidupan mereka, tidak membiarkan ketakutan menyelimuti hati mereka.
Namun demikian, fakta kebanyakan menunjukkan, kita tetap dapat melihat kekhawatiran tertentu pada setiap orang tentang kematian. Mereka tentu merasa sedih harus meninggalkan sanak keluarga, seperti istri, ayah, ibu, anak-anak, serta teman-temannya. Bentuk dari kekhawatiran ini merupakan hal yang wajar, dan terjadi pada setiap orang saat kematian menjemputnya. Tetapi kekhawatiran tertentu yang tidak wajar bisa disebabkan karena beberapa hal berikut:
- Mereka yang tidak mengimani kematian sebagai akhir dari kehidupan. Sebab ini tidak dimiliki oleh orang-orang mukmin.
- Sebagian yang lain merasa takut dengan dalih, banyaknya dosa yang diperbuat dan beratnya kriminal yang dilakukan, harus bergabung dengan kematian dan Hari Kiamat, tidak ingin menghadap Allah Swt, dan kemudian disiksa dengan azab Allah Swt. Hal ini juga tidak dimiliki oleh para kekasih Allah Swt. Para kekasih Allah Swt tidak memiliki rasa takut dan khawatir yang tidak wajar.
Berikut adalah beberapa riwayat terkait dengan kematian:
Seseorang menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Aku sangat tidak menyukai kematian.”
Kemudian Rasulullah Saw bertanya kepadanya: “Apakah kamu memiliki harta kekayaan?”
Dia pun mengiyakan, kemudian Rasulullah kembali bertanya: “Apakah ada sesuatu yang sudah kamu kirimkan untuk rumah yang baru?”
Dia menjawab tidak memilikinya. Kemudian Rasulullah Saw lalu bersabda: “Karena sebab ini kau sangat tidak menyukai kematian.” (Bihar al-Awar, 6/127)
Pada riwayat yang lain Amirul Mukminin Ali as berkata: “Janganlah kalian menjadi orang-orang yang membenci kematian disebabkan banyaknya dosa yang sudah kalian lakukan.” (Nahj al-Balaghah, Aforisme ke-150)
Begitu pula dalam riwayat lain, dari Imam Hasan Mujtaba a.s. Seseorang mendatangi Imam Hasan dan berkata: “Mengapa kita tidak menyukai kematian?”
Imam Hasan menjawab: “Kalian telah menghancurkan rumah akhirat kalian, dan kalian jadikan rumah-rumah kalian di dunia mewah dan megah, (karena itu) pastilah kalian tidak akan meninggalkan rumah mewah kalian dan pindah pada rumah yang sudah kalian hancurkan itu.” (Bihar al-Anwar, 6/129)
Riwayat lain menuturkan. Seseorang datang kepada Imam Muhammad Jawad a.s. dan berkata: “Mengapa orang muslim tidak menyukai kematian?”
Beliau menjawab: “Karena mereka tidak mengenal kematian. Jika saja mereka mengenalnya dan mereka adalah para kekasih Allah, maka mereka akan mencintai kematian serta mengetahui bahwa rumah di akhirat bagi mereka jauh lebih baik dari yang ada di dunia.” (Ma’ani al-Akhbar, hal. 290)
Baca: Ungkapan Imam Ali Soal Kematian: Ringankanlah Diri Kalian, Niscaya Kalian Kelak Menyusul
Yang jelas, para aulia Allah tidak akan pernah memberi jalan di hati mereka kepada rasa takut akan kematian, bahkan sebaliknya mereka berbondong-bondong untuk menyambutnya. Amirul Mukminin Ali a.s. menyatakan: “Aku bersumpah atas nama Allah, keturunan Abu Thalib sangat merindukan kematian melebihi rindunya seorang bayi kecil terhadap susu ibunya.” (Nahj al-Balaghah, Khotbah ke-5)
Imam Ali bin Abi Thalib juga berkata: “Aku bersumpah atas nama Allah, aku tidak takut akan kematian, baik aku yang datang padanya ataukah dia yang datang menjemputku.” (Nahj al-Balaghah, Khotbah ke-55)
*Disarikan dari buku Panorama Pemikiran Islam – Ayatullah Jakfar Subhani