Sering kita dapati penjelasan tentang agama, bahwa agama terdiri dari dasar-dasar (ushuluddin) dan cabang-cabangnya (furu’uddin). Bagian yang pertama terkait masalah-masalah keyakinan, dan bagian yang kedua terkait masalah-masalah pengamalan. Mengenai perbedaan antara dua bagian tersebut, ada satu penjelasan dengan pendekatan perbuatan -dan sudah tentu ada penjelasan-penjelasan yang lainnya. Yaitu, bahwa:
Ushuluddin adalah berbicara tentang perbuatan-perbuatan Allah swt, bahwa Dialah yang menciptakan (tauhid), mengutus rasul (kenabian) dan membangkitkan manusia setelah kematiannya (ma’ad), dan lain-lain. Sedangkan furu’uddin berbicara tentang perbuatan-perbuatan manusia, yang diatur dalam syariat agama, berupa hukum dan etika (akhlak).
Pembagian Proposisi-proposisi Keagamaan
Banyak sekali dan bermacam-macam proposisi-proposisi keagamaan, yang semuanya membentuk satu keseluruhan, yaitu agama. Dapat dikatakan bahwa semua proposisinya mengandung hukum-hukum dalam bentuk perintah, seperti “Berimanlah kepada Allah”; Taatilah Rasulullah”; “Laksanakanlah shalat”; “Ingatlah kematian” dan lain sebagainya.
Sebuah penjelasan logis dan sederhana, dengan memilah semua proposisi keagamaan itu dan membedakan di antaranya. Bahwa hukum-hukum tersebut dapat dibagi tiga macam atau bagian, yaitu: 1-Proposisi keakidahan, 2-hukum praktis, dan 3-ma’arif (hukum atau proposisi tak terkait keduanya).
1-Proposisi Keakidahan
Ialah hukum yang disebut dengan dasar agama, yang harus diyakini setiap manusia. Hukum ini berkenaan dengan tindakan-tindakan batiniah atau keyakinan hati. Di dalam agama terdapat perkara-perkara yang Allah perintahkan agar diyakini dan diimani. Sebagai contoh di antaranya, dikatakan bahwa Allah ada, simpel dan tidak tersusun; Allah Maha awal dan akhir; Muhammad (saw) utusan Allah; Allah akan membangkitkan semua yang di dalam kubur, dan lain sebagainya.
Semua proposisi tersebut merupakan bagian agama, yang disebut dengan proposisi keakidahan. Yakni, proposisi yang Allah perintahkan agar diyakini oleh manusia dan diimaninya. Proposisi keyakinan ini juga disebut dengan keimanan.
2-Hukum Praktis
Ialah hukum yang disebut dengan cabang-cabang agama. Ada dua macam bagi hukum ini:
Yang pertama, ialah yang berkaitan dengan tindakan-tindakan lahiriah manusia, bukan batiniahnya atau keyakinan hati yang merupakan keyakinan. Misalnya, agama mengatakan: “Dirikanlah shalat!”, bahwa kewajiban shalat berkaitan dengan perbuatan manusia. Yakni, dengan jisimnya, anggota-anggota badannya ia berdiri, menghadap kiblat, lalu bertakbir, membaca Fatihah dan surat, ruku dan sujud, dan seterusnya. Seperti ibadah haji, bayar khumus dan amal-amal lainnya.
Yang kedua, ialah hukum praktis yang berkaitan dengan tindakan-tindakan batiniah (hati), tapi yang bukan merupakan keyakinan. Misalnya, kewajiban cinta kepada Allah, Rasululah dan Ahlulbaitnya; mencintai kedua orangtua dan guru, mengasihi sesama manusia; menyayangi yang muslim; tidak boleh membenci, dan sebagainya, yang terkait dengan tindakan-tindakan batiniah.
Kewajiban cinta tersebut tidak terkait dengan tindakan-tindakan lahiriyah seperti dengan tangan atau kaki atau mata atau lisan manusia. Tetapi juga bukan tindakan hati seperti keyakinan. Adalah jelas mencintai dan membenci merupakan perasaan, bukan keyakinan. Mana di antara keduanya yang diperintahkan maka harus diadakan, dan yang dilarang harus ditiadakan di dalam hati. Oleh karena itu, tindakan hati macam ini, digolongkan sebagai hukum praktis.
3-Ma’arif Islam
Ialah proposisi-proposisi yang selain bagian yang pertama maupun yang bagian kedua. Tidak berkaitan dengan tindakan batiniyah maupun tindakan lahiriyah; tidak untuk diyakini dan tidak pula untuk diamalkan; dan tidak ada kewajiban keyakinan maupun perbuatan di dalamnya. Tetapi merupakan kabar atau berita, baik tentang masa dahulu maupun tentang masa datang. Proposisi-proposisi ini disebut dengan ma’arif (ilmu pengetahuan Islam). Misalnya, dikabarkan bahwa ibu nabi Isa bernama Maryam; atau dikisahkan bahwa ibu nabi Musa melepas putranya di sungai, dan lain sebagainya.
Tidak ada kewajiban terkait proposisi-proposisi tersebut untuk diyakini atau diamalkan. Pada hari kiamat, kita tidak akan ditanya, siapa nama ibu nabi Isa as, atau nama ibu Musa, yang melepaskan putranya di sungai. Tetapi yang dipertanyakan adalah tentang kewajiban meyakini, seperti “Siapa Tuhanmu? Nabimu? dan seterusnya? Dan tentang kewajiban mengamalkan, seperti terkait dengan shalat, puasa, dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Jangan Didustakan!
Lantas, apa yang wajib terkait bagian ketiga ini yang menjadi proposisi-proposisi keagamaan? Ulama mengatakan: “Satu kewajiban, yaitu jangan didustakan!”, bahwa apa yang dikatakan Alquran atau yang dikabarkan oleh Nabi (saw) adalah benar. Mendustakannya, berarti tidak meyakini kenabian Rasulullah saw, dan tidak meyakini kenabian beliau adalah kufur. Karena, makna kenabian (di antaranya) adalah bahwa beliau orang jujur yang menyampaikan kabar dari Allah swt.