Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Bagaimana Menjadikan Dunia Hanya Sebagai Sarana, Bukan Tujuan?

Ada hal yang lebih berbahaya dari musuh yang menyerang dari luar. Ia tidak berwujud, tidak berbicara, namun diam-diam menguasai hati dan menjinakkan nurani. Bahayanya bukan karena kekuatannya, tapi karena kita bersedia tunduk padanya: cinta dunia.

Dalam ceramah kelima belasnya dalam buku Spiritual Discourses, Ayatullah Murtadha Muthahhari mengangkat tema yang mendalam sekaligus relevan sepanjang zaman—bagaimana cinta terhadap dunia, jika tidak terkendali, akan menimbulkan kerusakan psikologis dan spiritual dalam diri manusia. Bukan hanya ia akan tersesat dari jalan Ilahi, tetapi jiwanya sendiri akan terseret oleh ketamakan, kecemasan, dan kehilangan arah.

Dunia: Wahana atau Penjara?

Dunia, sebagaimana dijelaskan dalam ceramah ini, bukanlah sesuatu yang buruk secara esensial. Ia bukan musuh yang harus dimusnahkan, melainkan sebuah ciptaan Allah yang memiliki peran dalam kehidupan manusia. Ia adalah tempat manusia bekerja, belajar, dan menempuh ujian. Namun masalah muncul ketika dunia yang seharusnya menjadi sarana, justru dijadikan sebagai tujuan.

Inilah titik awal kegagalan manusia: saat ia lupa bahwa hidup ini hanya sementara, dan menjadikan dunia sebagai pusat eksistensinya. Dunia yang semestinya menjadi kendaraan menuju akhirat berubah menjadi berhala yang dicintai sepenuh hati. Dunia menampakkan dirinya seolah kekal, padahal ia fana. Ia menawarkan kenikmatan semu, padahal di dalamnya mengandung jebakan dan tipu daya.

Dalam posisi inilah manusia mulai kehilangan kejelasan tentang makna hidupnya. Ia tidak lagi bertanya, “Untuk apa aku diciptakan?”, melainkan sibuk dengan pertanyaan, “Bagaimana aku bisa mendapatkan lebih banyak?”. Saat cinta terhadap dunia menempati ruang terdalam hati, maka nilai-nilai luhur perlahan tergeser.

Dampak Psikologis: Dari Cinta Menjadi Beban

Ayatullah Muthahhari menyingkap dimensi psikologis dari cinta dunia. Manusia yang terjerat oleh cinta ini tidak lagi hidup tenang. Ia hidup dalam ilusi, dan dari ilusi itu lahir ketakutan-ketakutan yang menggerogoti jiwa.

Pertama-tama adalah kecemasan. Orang yang mencintai dunia selalu dibayang-bayangi ketakutan akan kehilangan. Harta, jabatan, reputasi—semuanya menjadi beban yang harus dijaga mati-matian. Ketenangan hidupnya bergantung pada keberadaan hal-hal eksternal yang bisa hilang kapan saja.

Lalu muncul ketidakpuasan. Jiwa yang mencintai dunia tidak pernah merasa cukup. Apa yang dimiliki hari ini, esok terasa kurang. Keinginan tumbuh seperti benalu—ia terus meminta, terus menuntut, dan tidak pernah memberi ruang bagi rasa syukur. Dari sini lahir kebencian terhadap orang lain yang dianggap lebih berhasil, lebih kaya, atau lebih terkenal.

Selanjutnya adalah keretakan spiritual. Ketika dunia mendominasi hati, manusia mulai mengabaikan kewajiban-kewajiban ruhani. Hubungan dengan Allah melemah. Salat menjadi rutinitas kosong, doa kehilangan maknanya. Dunia merampas waktu, perhatian, dan bahkan ibadah manusia. Akibatnya, hati menjadi kering, cahaya iman memudar.

Cinta yang Salah, Jalan yang Melenceng

Tidak semua cinta menumbuhkan kehidupan. Ada cinta yang justru membunuh keikhlasan, menumpulkan akal sehat, dan menjerumuskan manusia ke jurang kesesatan. Cinta dunia termasuk di dalamnya. Ia seperti api yang tampak hangat namun membakar perlahan. Manusia yang tenggelam di dalamnya kehilangan arah dan orientasi.

Dalam masyarakat, dampaknya lebih luas. Ketika cinta dunia menjadi budaya kolektif, maka nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan solidaritas menjadi luntur. Masyarakat berubah menjadi medan persaingan tak sehat. Keberhasilan diukur dengan materi, bukan kebaikan. Bahkan agama pun bisa dijadikan alat untuk meraih dunia, bukan sebaliknya.

Kondisi ini menciptakan krisis spiritual. Orang-orang tampak religius secara lahiriah, tetapi kosong secara batiniah. Amal baik dilakukan demi pengakuan, bukan karena cinta kepada Allah. Semua nilai dikorbankan demi ambisi pribadi.

Jalan Kesembuhan: Menyadari dan Melepas

Namun ceramah ini tidak hanya menggambarkan penyakit. Ia juga memberi resep penyembuhan. Muthahhari tidak menyeru pada pelarian dari dunia, melainkan pada pemurnian sikap terhadap dunia. Dunia harus diposisikan sebagaimana mestinya: alat, bukan tujuan.

Langkah pertama dalam proses ini adalah kesadaran akan kefanaan dunia. Menyadari bahwa setiap hal yang kita miliki hari ini akan lenyap. Harta akan diwariskan, tubuh akan membusuk, bahkan nama pun akan dilupakan. Menyadari kefanaan ini tidak menjadikan manusia putus asa, tetapi justru membebaskannya dari keterikatan berlebihan.

Langkah kedua adalah menumbuhkan orientasi akhirat. Akhirat bukan sekadar ajaran, tetapi kenyataan yang akan dihadapi. Memikirkan akhirat menjadikan manusia lebih bijak dalam memilih, lebih selektif dalam mencintai, dan lebih jujur dalam beramal. Ketika akhirat menjadi fokus, dunia tidak lagi menjadi jebakan, melainkan ladang amal.

Langkah ketiga adalah memperkuat hubungan dengan Allah. Ibadah bukan lagi beban, tetapi kebutuhan. Doa bukan lagi permintaan, tetapi curahan hati. Dalam hubungan ini, manusia mendapatkan ketenangan sejati, yang tidak bisa ditukar oleh dunia.

Dunia Bukan Musuh, Tapi Ujian

Pada akhirnya, Muthahhari mengajarkan bahwa dunia bukanlah musuh. Ia hanyalah ujian. Yang membuatnya berbahaya adalah ketika manusia tidak mampu mengelolanya. Dunia bisa menjadi jalan menuju Tuhan jika digunakan dengan benar. Tapi ia juga bisa menjadi penghalang jika dijadikan tujuan utama.

Manusia diciptakan untuk mengenal dan mencintai Tuhan. Cinta dunia yang berlebihan adalah pengkhianatan terhadap tujuan ini. Maka setiap orang beriman harus berjuang membebaskan dirinya dari keterikatan batin terhadap dunia, tanpa harus meninggalkan tanggung jawab dunianya.

Itulah jihad besar yang harus dihadapi setiap jiwa. Dan hanya mereka yang mampu menyeimbangkan kehidupan dunia dengan orientasi akhirat yang akan meraih kemenangan sejati—kemenangan yang tidak terlihat di mata dunia, tetapi berkilau di sisi Allah.

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.