Dalam ajaran Islam, kecintaan kepada Allah tidak hanya diwujudkan melalui ibadah ritual, tetapi juga dalam sikap dan tindakan terhadap sesama manusia. Salah satu bentuk nyata kecintaan kepada Allah adalah mencintai dan bersahabat dengan kaum fakir. Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman kepadanya:
“Wahai Ahmad! Sesungguhnya kecintaan kepada-Ku adalah kecintaan kepada orang-orang fakir dan dekat dengan mereka.”
Ketika Rasulullah SAW bertanya siapa yang dimaksud sebagai orang-orang fakir, Allah SWT menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang ridha dengan sedikit, bersabar dalam lapar, bersyukur atas nikmat, tidak mengeluh, tidak berbohong, dan tidak marah kepada Allah atas takdir yang menimpanya.
Ciri Orang Fakir yang Dicintai Allah
Tidak semua orang fakir memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah. Ada ciri-ciri khusus yang membedakan mereka yang dicintai oleh-Nya:
- Ridha dengan yang Sedikit
Orang-orang fakir yang mulia adalah mereka yang tidak tamak dan menerima ketentuan Allah dengan ikhlas. Mereka tidak mengeluhkan kehidupan mereka dan tidak berusaha mengambil hak orang lain demi keuntungan pribadi. Mereka menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan dan tidak menginginkan lebih dari apa yang menjadi hak mereka. - Bersabar dalam Lapar dan Kesulitan
Ada kaum fakir yang mengeluh dan mempertanyakan keadilan Allah, tetapi ada juga yang bersabar dan tetap teguh dalam keimanan. Mereka memahami bahwa kefakiran adalah ujian dan bukan bentuk kehinaan di sisi Allah. Kesabaran mereka dalam menghadapi kesulitan adalah bentuk penghambaan sejati kepada Allah. - Bersyukur atas Kenikmatan
Ketika mendapatkan rezeki, mereka tidak lupa bersyukur kepada Allah. Mereka menyadari bahwa segala sesuatu datang dari-Nya dan tidak bersikap sombong dengan nikmat yang diberikan. Rasa syukur mereka menjadikan mereka semakin dekat dengan Allah dan menguatkan keimanan mereka. - Tidak Mengeluh dan Tidak Berbohong
Orang fakir yang dicintai Allah tidak berusaha menarik simpati orang lain dengan keluhan atau kebohongan. Mereka menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta dan tetap berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal. Kejujuran mereka menjadi salah satu ciri utama yang membedakan mereka dari orang-orang yang hanya berpura-pura miskin untuk mencari belas kasihan. - Tidak Marah kepada Allah
Mereka yang beriman dan memahami kehendak Allah tidak menyalahkan-Nya atas kondisi mereka. Mereka percaya bahwa segala sesuatu telah diatur oleh-Nya dengan penuh hikmah. Keimanan yang kuat ini menjadikan mereka tetap teguh dalam menghadapi kesulitan hidup tanpa kehilangan keyakinan kepada Allah. - Tidak Berlebihan dalam Kesenangan dan Kesedihan
Allah swt. berfirman:
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya.” (QS. Al-Hadid [57]: 23)
Orang-orang yang memiliki sifat ini tidak merasa terlalu gembira ketika mendapatkan sesuatu dan tidak terlalu bersedih ketika kehilangan. Mereka hidup dalam keseimbangan emosional yang membuat mereka tetap tenang dalam segala situasi.
Kekayaan dan Kefakiran: Ujian dari Allah
Baik kaya maupun miskin, semuanya adalah ujian dari Allah. Yang terpenting adalah bagaimana seseorang menyikapi keadaan tersebut. Orang kaya harus menggunakan hartanya untuk kebaikan, sementara orang miskin harus bersabar dan tidak putus asa. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fajr [89]: 15-16:
“Adapun manusia apabila Tuhan mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’.”
Pandangan ini menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidak ditentukan oleh harta, tetapi oleh ketakwaan dan kesabaran dalam menghadapi ujian hidup.
Bergaul dengan Kaum Fakir: Anjuran Ilahi
Dalam hadis Qudsi Allah SWT berfirman:
“Wahai Ahmad! Kecintaan-Ku adalah kecintaan kepada orang-orang fakir, maka duduklah bersama mereka dan dekatilah majelis mereka.”
“Bergaullah dengan orang-orang fakir dan dekatlah dengan majelis serta kumpulan mereka. Jika orang fakir dan orang kaya masuk ke dalam majelismu, maka dudukkanlah orang fakir di sisimu. Jangan jauhkan mereka, sehingga engkau bisa mencintainya. Hingga Aku menjadikan engkau semakin dekat kepada-Ku.”
Orang-orang fakir yang bebas dari keterikatan dunia adalah kekasih Allah SWT. Kecintaan kepada mereka adalah kecintaan kepada-Nya.
Mengapa Allah SWT Menekankan Kecintaan kepada Orang Fakir?
Mungkin timbul pertanyaan: Mengapa Allah SWT begitu menekankan kecintaan kepada orang fakir, padahal ada juga orang jahat di antara mereka? Dan di sisi lain, di antara orang kaya juga terdapat orang yang baik.
Jawabannya: Kecintaan ini bukanlah untuk setiap orang fakir, melainkan bagi mereka yang memiliki kecintaan kepada Allah SWT. Jika orang kaya memiliki sifat yang sama, maka kecintaan kepada mereka juga menjadi kecintaan kepada Allah SWT. Kekayaan atau kemiskinan bukanlah ukuran utama, melainkan sikap hati: bersyukur dalam kenikmatan dan bersabar dalam musibah.
Di antara para nabi, wali, dan kekasih Allah SWT, ada yang memiliki kekayaan banyak, tetapi mereka tidak menaruh hati pada harta tersebut. Mereka hanya menggunakannya di jalan yang benar. Maka, bukan berarti mencintai setiap orang fakir itu benar, atau membenci semua orang kaya itu wajib. Ukuran yang sesungguhnya adalah kebaikan, kedekatan, atau jauhnya seseorang dari Allah SWT.
Orang kaya lebih mudah terjerumus pada keburukan, penyimpangan, dan dosa. Mereka berisiko memiliki ketergantungan pada hartanya. Allah SWT berfirman:
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena ia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-Alaq [96]: 6-7)
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid [57]: 23)
Manusia, karena tabiat dan pandangan yang dangkal, sering menganggap kekayaan sebagai nilai yang tinggi. Mereka merendah di hadapan orang kaya dan menganggap diri mereka lebih rendah. Namun, hendaklah manusia membedakan antara keimanan dan kekayaan seseorang.
Cinta yang Tulus dan Hubungan dengan Allah SWT
Cintailah seseorang karena hubungannya dengan Allah SWT, bukan karena kekayaannya. Seorang fakir yang lebih beriman dan lebih dekat kepada Allah SWT hendaknya lebih dicintai.
Kecintaan kepada orang fakir didasarkan pada kedekatan mereka dengan Allah SWT. Sementara itu, persahabatan dengan orang kaya sering kali tidak murni, karena diiringi dengan tujuan materi. Allah SWT tidak akan menerima kecintaan yang tidak tulus.
Maka, mencintai orang fakir yang beriman adalah mencintai Allah SWT, sebab mereka tidak memiliki apa pun selain hubungan hati yang kuat dengan-Nya. Wallahu a’lam.
Sumber: Menjadi Manusia Ilahi – Ayatullah Taqi Misbah Yazdi