Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Peristiwa Ghadir Menurut Empat 4 Ideolog Revolusi Islam

Di tengah hamparan padang pasir Ghadir Khum, suara Nabi Muhammad saw menggema: “Barang siapa yang aku adalah mawlanya, maka Ali adalah mawlanya.” Kalimat ini bukan hanya deklarasi spiritual, tetapi juga pernyataan politik dan peradaban. Peristiwa Ghadir bukan sekadar episode sejarah yang usang, tetapi nadi yang terus berdenyut dalam tubuh umat Islam, khususnya dalam madrasah Ahlul Bait.

Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri makna dan pesan Ghadir melalui empat tokoh besar pemikir Syiah kontemporer: Syahid Murtadha Muthahhari, Dr. Ali Syariati, Imam Ruhullah Khomeini, dan Imam Ali Khamenei. Masing-masing memberi warna yang khas, membentangkan cakrawala Ghadir dari dimensi filosofis, sosiologis, ideologis, dan revolusioner.


Syahid Murtadha Muthahhari: Ghadir sebagai Pilar Rasional Kepemimpinan

Allamah Muthahhari, seorang filsuf dan murid kesayangan Imam Khomeini, melihat Ghadir sebagai peristiwa yang menegaskan dimensi rasional dalam kepemimpinan Islam. Dalam pandangannya, Islam bukan agama yang membiarkan umat berjalan tanpa arah setelah wafatnya Nabi. Oleh karena itu, penunjukan Imam Ali as di Ghadir Khum bukan keputusan emosional atau kekeluargaan, melainkan keniscayaan logis yang sesuai dengan sistem kenabian.

“Wilayah adalah kesinambungan kenabian dalam bentuk kepemimpinan spiritual dan sosial yang sempurna,” tulis Muthahhari dalam karyanya Wilayah.

Bagi Muthahhari, Ghadir adalah bukti bahwa Islam bukan hanya agama personal, tapi juga agama sosial-politik. Ia menolak dikotomi antara agama dan pemerintahan. Menurutnya, seperti wahyu yang tidak bisa diserahkan kepada suara mayoritas, kepemimpinan pun harus berasal dari penunjukan ilahi.


Dr. Ali Syariati: Ghadir sebagai Protes terhadap Status Quo

Berbeda dengan Muthahhari yang memaparkan argumen filosofis, Dr. Ali Syariati memandang Ghadir sebagai simbol revolusi sosial. Dalam berbagai kuliahnya, ia menjelaskan bahwa penunjukan Ali as adalah penolakan terhadap sistem klan, aristokrasi Quraisy, dan budaya pasca-jahiliyah yang ingin kembali setelah wafat Nabi.

“Ali bukan pilihan elite Quraisy, tetapi pilihan Tuhan. Karena itu, Ghadir adalah deklarasi keadilan,” tegas Syariati.

Syariati memandang bahwa Imam Ali as adalah representasi nilai Islam murni: kesetaraan, kejujuran, keberpihakan pada yang tertindas. Maka, Ghadir adalah momen puncak pertarungan antara Islam ideologis dan Islam tradisionalis. Penolakan terhadap Ghadir bukan sekadar persoalan teologis, tetapi juga sosial dan politis.

Dalam Ghadir, Syariati melihat pesan pembebasan: Islam harus berpihak pada nilai, bukan pada kelompok mayoritas atau elite kekuasaan.


Imam Ruhullah Khomeini: Ghadir sebagai Fondasi Wilayah Faqih

Imam Khomeini, arsitek Revolusi Islam Iran, menjadikan Ghadir sebagai landasan pemikiran politiknya. Bagi beliau, sistem Wilayat al-Faqih (kepemimpinan ulama) tidak muncul dari ruang hampa, melainkan dari akar-akar sejarah Islam yang tertanam di Ghadir Khum.

“Hari Ghadir bukan hanya hari penunjukan seseorang, tetapi penunjukan jalan,” ujar beliau dalam sebuah pidatonya.

Imam Khomeini menekankan bahwa penunjukan Imam Ali as menunjukkan bahwa pemerintahan dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas. Maka, dalam ketiadaan Imam Maksum, tanggung jawab kepemimpinan jatuh pada fuqaha adil yang memahami hukum dan memiliki keberanian politik.

Bagi Imam Khomeini, Ghadir adalah bukti bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan tersendiri, bukan tiruan sistem barat atau timur. Inilah sebabnya, Ghadir menjadi ruh konstitusi Republik Islam Iran.


Sayyid Ali Khamenei: Ghadir sebagai Jalan Persatuan dan Peradaban

Pemimpin tertinggi Iran saat ini, Imam Khamenei, dalam berbagai ceramahnya menggarisbawahi bahwa Ghadir bukan alat perpecahan, tetapi sarana persatuan. Ia mengajak umat Islam, baik Sunni maupun Syiah, untuk memandang Ghadir sebagai manifestasi cinta dan kepemimpinan ilahiah, bukan sebagai simbol sektarianisme.

“Ghadir harus menjadi inspirasi peradaban Islam, bukan bahan bakar permusuhan,” ujar beliau pada peringatan Ghadir beberapa tahun lalu.

Imam Khamenei menjelaskan bahwa pesan Ghadir adalah bahwa pemerintahan sejati harus dibangun atas dasar kebenaran, bukan mayoritas semu. Namun, beliau menolak penggunaan Ghadir sebagai alat propaganda sektarian. Justru Ghadir, kata beliau, mengajarkan kita bahwa kebenaran harus ditegakkan dengan hikmah, kesabaran, dan dialog.

Lebih dari itu, Khamenei menekankan bahwa misi Ghadir hari ini adalah membangkitkan umat, membangun ummah wahidah, dan melawan arogansi global. Maka, Ghadir bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga agenda strategis kebangkitan Islam.


Ghadir: Cermin Abadi Jalan Kebenaran

Keempat tokoh ini tersebut berbeda gaya dan pendekatan, namun semuanya menjadikan Ghadir sebagai simpul sentral pemikiran mereka. Dari rasionalitas filsafat, keberpihakan sosial, bangunan politik, hingga agenda peradaban, Ghadir adalah sumber air jernih yang terus mengalir dalam pikiran dan perjuangan mereka.

Ghadir bukan hanya perayaan; ia adalah perlawanan terhadap tirani. Bukan sekadar sejarah; ia adalah visi masa depan. Bukan hanya upacara; ia adalah deklarasi nilai.

Dan selama masih ada jiwa yang percaya pada kebenaran, keadilan, dan kepemimpinan ilahi, selama itu pula gema Ghadir akan terus hidup, menembus zaman, menyalakan harapan.


Catatan Kaki:

  1. Muthahhari, Murtadha. Wilayah: The Guardianship of the Islamic Jurist. (Tehran: Sadra Press)
  2. Syariati, Ali. Imam Ali: Voice of Human Justice. (Tehran: Institute for Research and Publishing)
  3. Khomeini, Ruhullah. Hukum Islam dan Wilayah Faqih. (Qom: Nashr-e Islam)
  4. Khamenei, Sayyid Ali. Pidato-pidato peringatan Ghadir (dapat diakses melalui: www.khamenei.ir)
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT