Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imam Sajjad dan Seni Doa sebagai Perlawanan

Setelah gemuruh Karbala reda, setelah debu mengendap dan darah para syuhada mengering di tanah, dunia seakan kembali tenang—tapi hati para pencinta kebenaran tidak. Di reruntuhan sejarah itulah, muncul seorang lelaki kurus, penuh luka, namun memiliki hati seluas samudra dan jiwa setegar pegunungan. Ia adalah Imam Ali bin Husain Zainal Abidin, yang kita kenal sebagai Imam Sajjad as.

Ia tidak mengangkat senjata, seperti kakeknya Imam Ali as atau ayahnya Imam Husain as. Tapi jangan salah—perlawanan Imam Sajjad as adalah salah satu bentuk jihad yang paling mendalam dan fundamental: perlawanan terhadap korupsi moral yang melanda umat. Bukan dengan pedang, tapi dengan doa.

Mengapa Doa?

Bagi sebagian orang, doa dianggap sebagai tindakan pasif. Namun, Imam Sajjad membalikkan persepsi ini. Dalam Sahifah Sajjadiyah, ia menunjukkan bahwa doa bisa menjadi alat pendidikan, instrumen revolusi akhlak, dan jalan perubahan sosial.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dalam sebuah pernyataannya menyebut:

“Sahifah Sajjadiyah bukan sekadar buku doa, tapi serangkaian pelajaran. Jika masyarakat Muslim memiliki akhlak Islam yang sejati, maka tragedi seperti Karbala tidak akan pernah terjadi.”

Kata-kata ini membawa kita pada pemahaman mendalam bahwa akar dari tragedi Karbala bukan sekadar persoalan politik, melainkan kerusakan akhlak umat. Jika masyarakat tidak dikuasai oleh ketamakan, kefasikan, dan kekejaman; maka tidak akan mungkin Yazid memiliki pasukan. Tidak akan ada Umar bin Sa’ad yang bersedia menjual nuraninya demi jabatan gubernur. Tidak akan ada rakyat Kufah yang mudah berbalik arah hanya karena takut dan tergoda dunia.

Imam Sajjad as menyadari bahwa umat telah rusak dari dalam. Dan ketika fondasi moral sebuah masyarakat runtuh, maka siapa pun bisa menjadi korban—bahkan cucu Rasulullah sekalipun.

Jalan Sunyi: Revolusi Lewat Pendidikan Ruhani

Di sinilah letak kejeniusan spiritual Imam Sajjad as. Ia memilih untuk tidak langsung menggoyang struktur kekuasaan yang represif secara fisik, tetapi membangun ulang struktur batin umat. Ia memulai dari titik paling dasar: kesadaran manusia.

Sahifah Sajjadiyah berisi 54 doa, tapi jangan dibayangkan seperti kumpulan permohonan biasa. Setiap doa ditulis dengan muatan makna yang mendalam, seperti dalam Doa Memohon Akhlak Mulia (Makārim al-Akhlāq), Imam berkata:

“Ya Allah, hiasi diriku dengan sifat orang-orang saleh: berikan padaku kesabaran menghadapi yang menyakitiku, lisan yang lembut kepada mereka yang kuperlakukan kasar, dan balas dendam yang berupa kebaikan terhadap mereka yang menyakitiku…”

Doa ini tidak sedang meminta sesuatu yang instan, melainkan mendidik jiwa agar tumbuh menjadi manusia luhur. Setiap kalimat adalah terapi jiwa. Setiap paragraf adalah lembaran kurikulum etika. Inilah universitas ruhani yang dibangun oleh Imam Sajjad as, yang dosennya adalah doa dan muridnya adalah hati yang tulus.

Sahifah Sajjadiyah: Buku Doa atau Manifesto Kemanusiaan?

Imam Sajjad tidak sekadar menyusun doa, ia menanamkan sistem nilai. Ia menunjukkan bahwa doa bukan hanya komunikasi vertikal, tapi juga perbaikan horizontal. Banyak doa dalam Sahifah Sajjadiyah berbicara tentang tanggung jawab sosial, keadilan, kepedulian pada orang miskin, dan kecaman terhadap ketidakadilan.

Ini bukan doa yang membenarkan ketundukan terhadap tirani. Ini adalah doa yang menggerakkan kesadaran dan membangkitkan nurani.

Ayatullah Khamenei menekankan bahwa para pemuda harus membaca Sahifah Sajjadiyah dengan perenungan, bukan hanya bacaan sambil lalu. Karena di dalamnya tersembunyi peta jalan bagi revolusi spiritual. Jika masyarakat ingin bebas dari kebobrokan moral, mereka harus belajar dari teks ini. Sebab, sebagaimana disampaikan Rahbar:

“Jika masyarakat tidak menjadi bengis, tidak terlalu mencintai dunia, dan tidak buta terhadap nilai-nilai, maka bahkan pemerintahan yang bejat atau kafir pun tidak akan mampu menciptakan tragedi sebesar Karbala.”

Ini peringatan keras bagi kita hari ini. Karbala bukan peristiwa masa lalu. Karbala bisa terjadi kapan saja, di negeri mana saja, jika masyarakat mengabaikan akhlak. Jika manusia menjadikan dunia sebagai tuhan, maka akan lahir kembali Yazid, Ibn Ziyad, dan Umar Sa’ad dalam bentuk baru.

Refleksi Kontemporer: Di Mana Kita Berdiri?

Di zaman ini, korupsi, kesenjangan sosial, kekerasan atas nama agama, dan kerakusan elit hanyalah gejala dari penyakit lama: kehancuran moral. Maka obatnya pun tetap sama: kembali pada pendidikan akhlak. Tapi bukan akhlak buatan Barat, bukan pula akhlak yang hanya sebatas sopan santun kosong. Kita butuh akhlak yang dibangun dari keimanan, dari hubungan dengan Allah, dari rasa takut kepada Hari Pembalasan. Akhlak seperti inilah yang ingin ditanamkan Imam Sajjad melalui Sahifah Sajjadiyah.

Ia tidak membangun sistem hukum baru, tapi membangun manusia yang lebih luhur. Dan dari manusia seperti inilah, perubahan sosial akan muncul. Revolusi Imam Khomeini, yang juga digerakkan oleh ruh para imam Ahlul Bait, adalah contoh nyata bagaimana spiritualitas yang sejati bisa membentuk kesadaran kolektif dan menjatuhkan rezim tirani.

Penutup: Mewarisi Jalan Imam Sajjad

Kini, tugas kita bukan hanya menangisi Karbala, tapi juga mencegah Karbala berikutnya. Sahifah Sajjadiyah adalah warisan abadi Imam Sajjad untuk kita semua—umat yang ingin bangkit dari keruntuhan moral. Ia bukan hanya teks suci, tetapi juga peta jalan, cermin diri, dan sarana penyembuhan.

Bacalah ia seperti orang haus membaca peta menuju mata air. Bacalah dengan hati yang ingin berubah. Sebab setiap doa di dalamnya bisa menjadi pelita yang membimbing kita keluar dari kegelapan zaman.

Seperti kata Imam Khamenei:

“Dengan perhatian yang cermat, Anda akan melihat bahwa setiap doa dalam Sahifah Sajjadiyah dan Makarimul Akhlak adalah pelajaran hidup dan akhlak.”

Dan kita semua adalah muridnya—jika kita mau belajar.


Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.