Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imam Ridha as: Syahid di Jalan Kebenaran, Hidup dalam Cinta Abadi

Hari kesyahidan Imam Ali bin Musa al-Ridha as (148–203 H) merupakan salah satu lembaran paling getir dalam sejarah Ahlulbait Nabi saw. Imam kedelapan yang dikenal dengan gelar Ridha—yang diridhai Allah dan Rasul-Nya—menjadi korban kezhaliman penguasa Abbasiyah, Khalifah al-Ma’mun. Di balik racun yang merenggut nyawanya, tersimpan kisah panjang perjuangan seorang imam suci dalam mempertahankan risalah Islam yang murni. [Al-Mufid, al-Irsyad, jilid 2]

Latar Sejarah dan Politik

Setelah menyingkirkan saudaranya, al-Amin, al-Ma’mun menghadapi krisis legitimasi. Banyak kaum Muslimin menolak pemerintahannya yang dianggap zalim. Untuk meredam gelombang protes, ia mengundang Imam Ridha as dari Madinah ke Marv (Khurasan) dan dengan penuh rekayasa politik menunjuknya sebagai putra mahkota (wali al-‘ahd). Namun, strategi ini berbalik arah. Kehadiran Imam justru menyingkap hakikat sejati kepemimpinan Ahlulbait, membuat rakyat semakin mencintai beliau, dan menjadikan al-Ma’mun kian resah. [Ya‘qubi, Tarikh al-Ya‘qubi, jilid 2, hlm. 479]

Imam Ridha as dikenal sebagai sosok berilmu yang unggul dalam perdebatan dengan para cendekia lintas agama. Ulama besar Yahudi, Kristen, Zoroaster, bahkan para filosof Yunani yang diundang ke istana tidak mampu menandingi argumentasinya. Sementara itu, sambutan hangat masyarakat terhadap Imam, termasuk pada peristiwa Salat Id di Merv, menambah kekhawatiran al-Ma’mun. [Shaykh al-Saduq, Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 2]

Riwayat Kesyahidan

Riwayat sejarah sepakat bahwa Imam Ridha as wafat karena diracun, meski detailnya beragam. Sebagian menyebut racun diberikan dalam buah delima, sebagian dalam anggur, bahkan ada yang menuturkan racun itu dicampurkan ke dalam makanan dengan rekayasa Abdullah bin Basyir atas perintah al-Ma’mun. [Al-Mufid, al-Irsyad, jilid 2, hlm. 270]

Sebagian riwayat menyebut hari hari kesyahidannya adalah pada hari Jumat atau Senin, dengan tanggal berbeda—namun mayoritas ulama menyebut akhir bulan Shafar tahun 203 H sebagai hari kesyahidan beliau pada usia 55 tahun. [al-Kulaini, al-Kafi; al-Mufid, al-Irsyad]

Tarikh Ya‘qubi meriwayatkan bahwa Imam wafat di Thus, sebuah wilayah dekat Khurasan, setelah menderita sakit singkat akibat racun. Syekh Mufid menuturkan al-Ma’mun dengan licik memerintahkan agar racun itu dimasukkan ke dalam minuman yang kemudian disuguhkan kepada Imam. Hanya berselang beberapa hari, cahaya kehidupan Imam yang penuh barakah itu padam. [Ya‘qubi, Tarikh al-Ya‘qubi, jilid 2; Al-Mufid, al-Irsyad]

Sejarawan Ibnu Hibban menulis, “Ali bin Musa al-Ridha wafat lantaran racun yang diberikan al-Ma’mun pada tahun 203 H.” [Ibnu Hibban, Kitab al-Thiqat, jilid 8] Bagi para pengikut Ahlulbait, tidak ada keraguan bahwa Imam Ridha as adalah syahid, seorang pejuang yang dibunuh oleh penguasa zalim karena kebenaran yang ia bela.

Akhlak dan Kehidupan Spiritual Imam

Meski digiring ke istana dan dijadikan “simbol politik,” Imam Ridha as tidak pernah tunduk kepada ambisi duniawi. Beliau tetap hidup sederhana, dekat dengan rakyat jelata, bahkan dikenal sering duduk dan makan bersama para budak. Ketika seorang lelaki di pemandian umum meminta beliau untuk memijat tubuhnya—tanpa tahu siapa beliau—Imam Ridha as menuruti permintaan itu. Setelah orang-orang mengabarkan bahwa yang memijat adalah putra Rasulullah, Imam justru menenangkan lelaki itu agar tidak malu. [Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Talib, jilid 4]

Dalam ibadah, beliau adalah teladan. Diriwayatkan bahwa beliau terbiasa salat seribu rakaat dalam semalam, dan setiap kali membaca Al-Qur’an, beliau menangis dengan penuh kekhusyukan. Pakaian yang dipakainya untuk ibadah seribu malam pernah beliau hadiahkan kepada penyair terkenal, Di‘bil al-Khuza‘i, dengan pesan agar dijaga baik-baik. [Shaykh al-Saduq, Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 2]

Perjuangan Ilmu dan Dakwah

Imam Ridha as membuka majelis ilmu baik di rumah maupun di masjid Marv. Para ulama, filosof, dan ahli agama dari berbagai latar mendatangi beliau untuk berdialog. Namun semakin berkembang majelis itu, semakin besar pula kecemasan al-Ma’mun. Majelis ilmu itu pun akhirnya ditutup paksa. [Ya‘qubi, Tarikh al-Ya‘qubi, jilid 2]

Imam juga banyak berbicara tentang kesehatan, kebersihan, dan pengobatan. Risalah emas (al-Risalah al-Dzahabiyah) yang beliau tulis untuk al-Ma’mun berisi panduan hidup sehat dan masih dipelajari hingga kini. Imam tidak hanya menjadi teladan rohani, tetapi juga dokter jiwa dan raga umat. [Al-Risalah al-Dzahabiyah, ed. al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar]

Dalam soal imamah, Imam Ridha as tegas menolak ber-taqiyyah. Ia menegaskan di hadapan umat bahwa kepemimpinan sejati berada pada dirinya dan para imam dari keturunan Nabi saw. Sikap tegas ini menjadi cahaya yang membongkar kedok politik Abbasiyah. [Al-Mufid, al-Irsyad]

Maqam Suci Masyhad

Setelah syahid, Imam Ridha as dimakamkan di rumah Hamid bin Qahthabah di daerah Sanabad, dekat Thus. Dari tempat sederhana itu, lahirlah Haram Imam Ridha yang kini berdiri megah di kota suci Masyhad, Iran. Setiap tahun, jutaan peziarah dari seluruh dunia mendatanginya. Haram itu menjadi pusat spiritual, ilmu, dan perlawanan terhadap kezaliman, sekaligus simbol cinta abadi kaum Muslimin kepada Ahlulbait. [Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 49]

Peninggalan dan Warisan Imam

Selain Risalah Dzahabiyah, sejumlah karya disandarkan kepada Imam, seperti ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Shahifah al-Ridha, dan al-Fiqh al-Radhawi. Meski sebagian atribusinya diperdebatkan, riwayat-riwayat beliau tetap menjadi khazanah utama dalam ajaran Islam, mencakup akidah, fikih, etika, hingga kedokteran. [Agha Buzurg Tehrani, al-Dzari‘ah ila Tasanif al-Shi‘ah]

Refleksi untuk Umat

Kesyahidan Imam Ridha as adalah simbol benturan abadi antara kebenaran dan kekuasaan zalim. Imam tidak pernah mencari kekuasaan, tetapi kekuasaanlah yang takut pada cahaya kebenaran beliau. Al-Ma’mun, dengan segala kelicikan politiknya, berusaha menyingkirkan Imam. Namun sejarah membuktikan, nama Imam Ridha as tetap harum, sementara al-Ma’mun hanya dikenang sebagai penguasa yang menumpahkan darah suci Ahlulbait. [Sayyid Ja‘far Murtadha al-‘Amili, Shahadat al-Imam al-Ridha]

Hari ini, umat Syiah menziarahi makam Imam Ridha as di Masyhad bukan hanya untuk meratap, melainkan untuk memperbarui janji setia: setia pada kebenaran, menolak kezaliman, dan menjaga ajaran Islam sebagaimana diwariskan Rasulullah saw melalui Ahlulbaitnya

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.