Oleh: Zeinab Nadali (Jurnalis) — Diterjemahkan dan disusun ulang untuk Safinah.id
Mereka berjalan tertatih keluar dari kegelapan perang, menyeret tubuh yang nyaris tak bernyawa, menuju rumah-rumah yang telah hancur menjadi debu. Tetapi kali ini, langkah mereka bukan langkah pengungsian, melainkan langkah kemenangan. Kali ini, merekalah perwujudan dari perlawanan yang hidup di atas puing-puing Gaza.
Jalan sempit di tepi pantai, Al-Rasheed Road, kembali dipadati manusia. Mereka berjalan dalam diam, membawa karung-karung putih berisi sisa hidup yang masih bisa diselamatkan. Wajah-wajah itu kelelahan, tetapi matanya menyala oleh sesuatu yang lebih kuat daripada putus asa — harapan untuk kembali.
Selama dua tahun terakhir, Gaza telah menjadi ladang perpindahan tanpa henti: dari Jabalia ke Khan Yunis, dari Rafah ke Nuseirat, dari kamp ke kamp. Mereka terusir, lalu pulang, lalu terusir lagi. Sebuah lingkaran penderitaan yang seolah tak berujung. Namun, kali ini mereka kembali bukan karena terpaksa — mereka pulang karena menang. Mereka sendiri adalah kemenangan yang berjalan di atas tanah yang terbakar.
Sehari setelah gencatan senjata, Nuseirat menjadi sepi. Setengah juta orang yang selamat dari genosida besar-besaran berjalan kaki ke utara dan tengah Gaza. Mereka tahu di sana tak ada lagi rumah, bahwa setiap langkah bisa berarti maut. Tapi mereka tetap melangkah, karena suara kehidupan lebih keras daripada ketakutan.
Kehidupan yang Tak Bisa Dimatikan
Gaza adalah tanah yang mustahil dimatikan. Sekalipun seluruh kotanya berubah menjadi kuburan, kehidupan di sana tetap tumbuh, menembus debu dan darah. Seolah-olah Allah sendiri menanamkan kehidupan di dada setiap warganya.
Saleh al-Ja‘farawi, jurnalis Gaza yang gugur syahid, pernah berkata menjelang ajalnya:
“Demi Allah, butuh sejuta tahun untuk mematahkan tekad bangsa ini — dan kalian tetap takkan mampu.”
Sejak hari kedua gencatan senjata, buldoser datang membersihkan puing. Tapi rakyat tak menunggu. Dengan tangan kosong, mereka menyingkirkan reruntuhan, memperbaiki dinding yang tersisa, dan membangun kembali kehidupan dari abu. Di antara mereka terdengar takbir: Allahu Akbar, wahai bangsa yang agung! Demi Allah, kami pantas untuk hidup.
Tanah dan Kehormatan
Bagi rakyat Gaza, tak ada yang lebih berharga daripada tanah air dan martabat. Selama bumi ini masih ada, mereka akan membangun rumah di atasnya seribu kali. Karena itu, jangan heran jika di tengah kehancuran, wajah-wajah mereka tetap tersenyum dan tangan mereka terangkat dalam tanda kemenangan.
Inilah bukan sekadar gencatan senjata — ini adalah kemenangan yang nyata. Selama dua tahun, mesin perang Israel menurunkan 70.000 ton bom dan miliaran dolar untuk memusnahkan satu bangsa. Mereka ingin rakyat Gaza menyerah, meninggalkan tanahnya, melupakan akarnya. Namun kini, yang terjadi justru kebalikannya: rakyat Gaza pulang, berjalan di atas puing, dan membangun lagi dari awal.
Padang Batu yang Bernyawa
Gaza adalah mukjizat yang berdiri di atas kehancuran. Rumah-rumah yang mereka rindukan tak lagi ada — hanya sisa-sisa beton dan besi yang mereka sebut “Padang Batu.” Tak ada air, listrik, atau makanan. Namun di atas tanah yang retak itu, mereka bersujud dan berucap: “Alhamdulillah, kami pulang.”
Itulah warisan abadi mereka: hak untuk kembali. Sejak 1948, kunci-kunci rumah tetap tergantung di saku para kakek dan di ujung kerudung para nenek. Dua tahun perang tak mampu mencabut akar yang tertanam dalam di dada mereka. Israel telah menggali tanah Gaza hingga ke pori-porinya, tapi tetap tak sampai pada akar jiwa bangsa ini.
Kini setengah juta orang itu benar-benar pulang. Meski di sepanjang jalan mereka melihat tubuh-tubuh yang membusuk dan mencium bau kematian yang belum sirna, langkah mereka tak gentar. Mereka pulang untuk hidup, untuk membangun kembali apa yang telah dihancurkan.
Istana di Atas Puing
Lebih dari 90 persen rumah di Gaza hancur. Tapi rakyatnya menolak menyerah. Seperti Suheir al-Absi, seorang ibu berusia lima puluh tahun dari Sheikh Radwan, yang kembali ke kampungnya dan tak lagi tahu mana reruntuhan rumahnya sendiri. Ia hanya melihat hamparan beton, seperti bekas ledakan nuklir. Namun ia berkata dengan tenang:
“Aku akan tinggal di sini, di reruntuhan tempat aku dibesarkan. Seseorang hanya bisa merasa damai di tanah kelahirannya.”
Bersama para tetangga, Suheir mendirikan tenda di atas puing, menegakkan peneduh dari kain sisa perang. Itulah istana kecil mereka, tempat mereka memulai hidup baru.
Rakyat yang tidak gentar saat seluruh keluarganya gugur syahid tentu tidak akan menangis karena kehilangan batu dan besi. Kalimat Hasbiyallāh wa ni‘mal Wakīl (Cukuplah Allah sebagai penolong kami) kini bersanding dengan tekad Rah ne‘id nibni — Kami akan membangun lagi.
Mukjizat Kesabaran
Kesabaran rakyat Palestina adalah mukjizat di zaman modern. Lihatlah Mu‘ayyad, pemuda Gaza yang kembali pada Januari 2025. Rumahnya hanya tinggal tumpukan batu, namun dengan senyum ia berkata: “Kami akan membangunnya lagi.”
Kisah seperti ini bukan satu-dua. Di setiap jalan Gaza, orang-orang mendirikan tenda di atas reruntuhan, membersihkan debu, dan menghidupkan kembali ruang kecil yang masih bisa disebut “rumah.”
Dan di tengah semua itu, para perempuan Gaza kembali memikul beban kehidupan. Seperti ibu-ibu yang tak pernah menyerah, mereka mengais sisa-sisa yang terselamatkan: sebotol parfum, pakaian yang masih utuh, panci retak yang masih bisa digunakan memasak maqlubeh. Mereka mengecat dinding tersisa dengan warna cerah, seolah roket tak pernah menyentuh rumah itu.
Ratapan di Antara Batu
Namun bagi sebagian, kepulangan justru menjadi luka yang tak tertahankan. Lina, gadis muda yang kehilangan seluruh keluarganya, setiap hari duduk di atas timbunan beton bekas rumahnya. Ia memanggil satu per satu nama mereka yang terkubur di bawah puing: “Ibu, Mina, Dua, Abdu…” Suaranya lalu tenggelam dalam tangis yang panjang.
Siapa di Gaza hari ini yang tidak punya keluarga di bawah reruntuhan? Setiap rumah menyimpan kisah kehilangan. Bahkan ketika seseorang menemukan potongan tubuh ibunya di sudut ruangan, atau melihat daging anaknya menempel di batu, mereka tetap melanjutkan hidup. Mereka menyalakan api, merebus air, dan menyeduh teh.
Teh Kemenangan
Ya, mereka menyeduh teh. Di tengah kuburan besar ini, mereka meneguknya perlahan, sambil mengucap Alhamdulillah. Karena mereka tahu — di jalan kebenaran, tidak ada kematian. Yang ada hanyalah kehidupan.
Bagi mereka, setiap teguk teh adalah pernyataan iman: bahwa kehidupan tidak tunduk pada kehancuran, bahwa kesyahidan tidak berarti akhir, dan bahwa Gaza akan selalu hidup karena di dadanya menyala cahaya keyakinan.
Maka, ketika dunia menatap Gaza dan hanya melihat puing dan abu, rakyat Gaza justru melihat kebangkitan. Mereka adalah bangsa yang tak bisa dikalahkan, karena darah para syuhada telah menyatu dengan tanah mereka.
Gaza bukan sekadar tempat — ia adalah lambang kehidupan yang abadi. Seperti firman Allah:
“Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya mereka hidup, di sisi Tuhannya, diberi rezeki.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 169)
Dan selama darah itu masih hangat di bumi Palestina, Gaza akan tetap menjadi negeri di mana teh terasa seperti kemenangan, dan aroma perlawanan tidak akan pernah hilang.
Sumber: Khamenei.ir