Zahrasadat Sheykholeslam – Peneliti Kajian Perempuan
Khamenei.ir – Dunia hari ini menyaksikan gambar-gambar memilukan dari Gaza: anak-anak yang terluka dan ketakutan, para ayah yang mendekap jenazah putra-putri mereka, dan para ibu yang menitikkan air mata di hadapan bayi-bayi yang kini hanya tinggal kain kafan. Derita Gaza terasa nyaris tak tertanggungkan, namun kesabaran dan keteguhan rakyatnya menyingkapkan keajaiban spiritual yang jarang disaksikan zaman modern.
Sebagai seorang perempuan dan ibu, hati saya hancur menyaksikan penderitaan mereka. Namun di saat yang sama, saya juga tergetar oleh kekuatan para perempuan Gaza. Di tengah dentuman bom dan reruntuhan rumah, mereka masih menyalakan bara kehidupan: memberi makan keluarga, merawat anak-anak, menenangkan suami, dan menyebarkan semangat keteguhan kepada sesamanya.
Ironisnya, media Barat selama ini kerap melukiskan perempuan Muslim sebagai sosok lemah, pasif, dan tertindas. Tetapi gambar dari Gaza memukul telak citra palsu itu. Dunia kini melihat sendiri: perempuan Muslim adalah simbol keberanian dan kehormatan. Keteguhan, kesabaran, kebijaksanaan, dan rasa malu (iffah) mereka membuat banyak perempuan Barat mulai meninjau ulang nilai-nilai yang mereka agung-agungkan.
Banyak perempuan non-Muslim kini bertanya-tanya: dari mana datangnya kekuatan batin yang luar biasa itu? Apa yang membuat mereka mampu tersenyum di tengah kehancuran, dan tetap mengucap syukur kepada Tuhan di saat kehilangan segalanya? Pertanyaan itu menggiring mereka untuk menatap ke dalam Islam—ke iman yang melahirkan perempuan-perempuan seperti itu.
Bagi kami umat Islam, keteguhan perempuan Gaza bukanlah hal yang asing. Kami telah mengenal teladan-teladan perempuan tangguh sepanjang sejarah Islam—perempuan yang dengan imannya mengguncang tirani dan menghidupkan kembali ruh kemanusiaan. Salah satu di antara mereka, dan yang paling agung, adalah Sayidah Zainab binti Ali sa, cucu Rasulullah saw.
Zainab sa: Cahaya yang Tak Padam di Tengah Kegelapan
Sayidah Zainab adalah teladan abadi tentang bagaimana kekuatan feminin berakar dari iman, bukan dari rivalitas dengan laki-laki. Ia menyingkapkan kapasitas intelektual dan spiritual perempuan jauh melampaui yang pernah dibayangkan manusia. Dalam sejarah Islam, ia dikenal sebagai Aqilah Bani Hasyim—perempuan paling bijak di antara suku paling mulia, Bani Hasyim.
Para sahabat menggambarkan Zainab sebagai sosok yang memancarkan wibawa ilmu dan kebijaksanaan. Siapa pun yang bertemu dengannya akan merasa kecil di hadapan keluasan jiwanya. Ia bukan hanya perempuan mulia karena nasabnya, tetapi karena pikirannya yang cemerlang dan jiwanya yang tenang dalam penghambaan kepada Allah.
Seluruh hidupnya dapat disimpulkan dalam satu kalimat: ia selalu melakukan hal yang benar, di waktu yang tepat, dan di tempat yang semestinya. Semua langkahnya dilandasi niat untuk berkhidmat kepada Allah, bukan mencari perhatian manusia.
Dari Pengajar hingga Pemimpin Revolusi
Sebelum tragedi Karbala, peran utama Sayidah Zainab adalah sebagai pendidik dan pengajar. Ia mengajarkan Al-Qur’an, fikih dan hadis kepada masyarakat, dan menjadi sumber ilmu bagi banyak perempuan dan lelaki di Madinah. Para ulama menyebutnya sebagai “alimah ghayru mu‘allamah”—seorang yang berilmu tanpa pernah diajari, karena ilmunya bersumber dari kesucian Ahlulbait as.
Namun, setelah saudaranya, Imam Husain as, gugur di Karbala, peran Sayidah Zainab berubah total. Dalam sekejap, ia menjadi pemimpin politik dan sosial yang mengubah arah sejarah. Ia tidak hanya merawat anak-anak yatim dan perempuan yang ditawan, tetapi juga menjaga nyala pesan Karbala agar tidak padam di tengah istana kekuasaan Yazid.
Ketika pasukan tiran membawa para tawanan dari keluarga Husain ke istana Yazid di Syam, Zainab berdiri tegak di hadapan penguasa yang haus darah itu. Yazid berusaha menulis ulang sejarah dengan menuduh Imam Husain as sebagai pemberontak. Tetapi Sayidah Zainab, dengan satu khotbah yang menggetarkan, meruntuhkan seluruh propaganda itu.
Di hadapan khalayak besar dan di bawah tatapan tiran, Sayidah Zainab berbicara dengan ketenangan ilahiah. Ucapannya bukan sekadar pidato politik; ia adalah wahyu moral yang menghidupkan kembali nur kebenaran. Dengan bahasa yang fasih, logika yang tajam, dan keanggunan seorang putri Rasulullah, ia menyingkap wajah sejati Yazid: seorang pembunuh cucu Nabi yang berusaha menutupi kejahatannya dengan dusta.
Para sejarawan menyebutkan bahwa saat ia berbicara, suasana majelis berubah. Orang-orang lupa bahwa perempuan di hadapan mereka adalah tawanan; mereka merasa seolah Sayidah Zainab-lah yang berkuasa, sementara Yazid hanyalah pesakitan di kursinya sendiri. Setelah khotbah itu, Yazid ketakutan dan bahkan menyangkal keterlibatannya dalam pembantaian Karbala, menyalahkan Ibnu Ziyad sebagai pelaku utama.
Sebelum dibawa ke Syam, para tawanan melewati kota Kufah—kota yang dulu berjanji akan menolong Imam Husain, namun kemudian mengkhianatinya. Di hadapan penduduk Kufah yang menyaksikan iring-iringan tawanan, Sayidah Zainab kembali berkhotbah.
Nada suaranya lembut tapi mengguncang. Ia menegur umat yang diam di hadapan kebatilan dan mengingatkan mereka akan janji yang telah diingkari. Kata-katanya menembus hati penduduk Kufah hingga mereka menyesali dosa mereka. Khotbah inilah yang kemudian melahirkan Gerakan Tawwabin—kelompok orang yang bertaubat dan bersumpah menuntut bela atas darah Imam Husain. Dari sanalah gelombang kesadaran Islam sejati kembali tumbuh, menjalar hingga melahirkan semangat revolusioner yang tak pernah padam dalam sejarah Syiah.
Setelah masa penawanan berakhir, Zainab bersama Imam Ali Zainal Abidin as menziarahi Karbala tepat empat puluh hari setelah tragedi itu. Ziarah itu menjadi cikal bakal ziarah Arba’in, tradisi yang kini setiap tahun menggerakkan jutaan manusia berjalan menuju Karbala untuk meneguhkan kesetiaan kepada kebenaran dan menolak kezaliman.
Dengan langkah-langkah penuh air mata dan cinta, Zainab menanamkan pada dunia bahwa ingatan terhadap para syahid adalah bentuk tertinggi dari perlawanan. Selama nama al-Husain as hidup, maka kezaliman tak akan pernah berkuasa mutlak.
Kekuatan Feminin dalam Cermin Iman
Zainab sa adalah potret perempuan dengan kepribadian multidimensional: seorang alimah, pengasuh, pendidik, pemimpin politik, dan pejuang spiritual. Namun ada satu rahasia yang tak boleh dilupakan: kekuatannya justru bersumber dari keperempuannya.
Ia tidak menolak kodratnya sebagai ibu dan saudari, justru menjadikannya sumber kasih dan keberanian. Dalam dirinya berpadu kelembutan dan ketegasan, kasih sayang dan keteguhan. Imam Ali Khamenei menafsirkan keagungannya dengan indah:
“Inilah keagungan seorang perempuan yang merupakan perpaduan antara kasih insani—yang tak ditemukan pada laki-laki mana pun—dengan keteguhan jiwa yang sanggup melangkah di atas bara penderitaan tanpa gentar.”
Perempuan seperti Zainab, dan seperti perempuan Gaza hari ini, menunjukkan bahwa kemuliaan bukanlah hasil kesetaraan dalam ukuran duniawi, melainkan buah dari keimanan dan kesadaran ilahiah. Mereka membuktikan bahwa ketika hati bersandar kepada Allah, bencana terbesar pun tampak kecil di hadapan kemuliaan jiwa.
Pelajaran dari Zainab untuk Dunia
Sayidah Zainab sa mengajarkan bahwa untuk mengubah sejarah, perempuan tidak harus meniru laki-laki. Cukuplah menjadi perempuan yang sadar, beriman, dan teguh pada nilai-nilai ilahi.
Ia tidak menggenggam pedang di Karbala, tetapi kata-katanya mengguncang lebih dahsyat daripada senjata. Ia tidak berperang di medan fisik, namun memenangkan pertempuran narasi melawan kekuasaan tiran. Melalui dirinya, Islam menunjukkan bahwa kekuatan sejati perempuan bukanlah pada tubuhnya, melainkan pada keteguhan ruhnya.
Hari ini, ketika kita menyaksikan Gaza yang terbakar, kita melihat pantulan Zainab dalam setiap ibu Palestina yang tetap berdiri di antara reruntuhan. Zainab adalah jiwa yang hidup di dada mereka—jiwa yang percaya bahwa kebenaran, meski terluka, tak akan pernah mati.
Pandangan dalam artikel ini sepenuhnya milik penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan resmi Khamenei.ir